Mu’tazilah adalah sebuah aliran dalam Islam yang lahir pada akhir dinasti Umawiyah dan berkembang pada masa dinasti Abbasiyah yang berpijak kepada akal murni dalam memahami akidah Islam karena terpengaruh oleh sebagian pemikiran filsafat impor yang membuatnya menyimpang dari akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Mu’tazilah lahir sebagai buah dari perdebatan di bidang akidah diniyah dan nash-nash syar’i akibat penggunaan metodologi filsafat terhadap akidah dan nash-nash tersebut, karena sebelum Mu’tazilah lahir sebagai sebuah aliran pemikiran di tangan Washil bin Atha`, telah terjadi polemik keagamaan seputar persoalan-persoalan yang pada akhirnya menjadi dasar pertama bagi pemikiran Mu’tazilah.

Di mulai dengan Ma’bad al-Juhani yang berkata, manusia menciptakan perbuatannya sendiri, dia bebas, pemilik keinginan secara mutlak, tidak sedikit pun ada campur tangan dari Khalik, nasib Ma’bad tragis, dia mati di tangan Hajjaj bin Yusuf tahun 80 H. Pikiran Ma’bad ini disuarakan pula oleh Ghilan ad-Dimisyqi pada masa Umar bin Abdul Aziz, nasib Ghilan sama dengan sohibnya, mati oleh Hisyam bin Abdul Malik.

Setelah itu lahir pemikiran menafikan sifat-sifat Allah dan bahwa al-Qur`an adalah makhluk yang didengungkan oleh al-Jahm bin Shafwan yang dibunuh oleh Salim bin Ahwaz di Marwu tahun 128 H. Pemikiran ini disuarakan pula oleh al-Jaad bin Dirham yang dibunuh oleh Khalid bin Abdullah al-Qasari, gubernur Kufah.
Kemudian Mu’tazilah lahir sebagai sebuah aliran pemikiran di tangan Washi bin Atha` al-Ghazal (80 – 131 H), murid al-Hasan al-Bashri, di mana selanjutnya Washil i’tazala majlis gurunya tersebut akibat perbedaan pandang seputar muslim pelaku dosa besar, al-Hasan berpandangan, dia tetap muslim, sementara Washil menghadirkan pandangan baru, dia berkata, dia berada di manzilah baina manzilatain, tidak mukmin dan tidak kafir, walaupun begitu jika dia tidak bertaubat maka dia kekal di dalam neraka.

Karena perkara ini Mu’tazilah diberi nama Mu’tazilah, yakni karena mereka i’tazalu, menyimpang atau menyendiri, dari barisan kaum muslimin dengan membawa paham manzilah baina manzilatain terkait dengan pelaku dosa besar. Karena perkara ini pula Washil bin Atha` i’tazala halaqah gurunya al-Hasan dengan membuat halaqah sendiri, maka al-Hasan berkata, “I’tazalana Washil.” Dari sini selanjutnya mereka di kenal dengan Mu’tazilah.

Mu’tazilah meraih masa jaya pada masa dinasti Abbasiyah pada masa al-Makmun yang memeluk pemikiran i’tizal akibat pengaruh dari Bisyr al-Mirrisi, Tsumamah bin Asyras dan Ahmad bin Abu Duad, yang terakhir ini merupakan dedengkot Mu’tazilah dan biang fitnah khalq al-Qur`an dalam kapasitasnya sebagai qadhi qudhat (hakim agung) pada masa al-Mu’tashim.

Dalam fitnah tersebut Imam sunnah Ahmad bin Hanbal yang menolak keyakinan bahwa al-Qur`an adalah makhluk mengalami ujian yang tidak ringan dari para pengusung keyakinan ini termasuk khalifah yang berkuasa, Ahmad bin Hanbal disiksa, dicambuk dan dipenjara karena keteguhannya mempertahankan keyakinan bahwa al-Qur`an bukan makhluk, beliau sempat mendekam selama dua tahun lebih di dalam penjara, walaupun akhirnya hal tersebut berakhir dengan naiknya al-Mutawakkil ke kursi khilafah dan dia meyakini kebenaran pemikiran Ahlus Sunnah, al-Mutawakkil memuliakan Imam Ahmad dan mengakhiri dominasi Mu’tazilah melalui jalur kekuatan kekuasaan.

Di antara tokoh-tokoh Mu’tazilah setelah Washil adalah:
Abu Hudzail Hamdan bin Hudzail al-Allaf (135 – 226 H), syaikh Mu’tazilah dan pembelanya, belajar pikiran-pikiran Mu’tazilah dari gurunya, Usman bin Khalid ath-Thawil, murid Washil, Abu Hudzail ini banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani seperti Aristo, di antara perkataannya, “Allah alim (mengetahui) dengan ilmu dan IlmuNya adalah dzatNya, Allah qadir (mampu) dengan kodrat dan kodratNya adalah dzatNya…”

Ibrahim bin Yasar an-Nazhzham, wafat 231 H, sebelumnya dia beragama Brahmana, sama dengan Mu’tazilah yang lain, dia banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani. Di antara perkataannya, “Sesuatu yang lahir termasuk perbuatan Allah.”

Bisyr bin Mu’tamir al-Mirrisi, wafat 226 H, salah seorang ulama Mu’tazilah, dia hadir membawa paham tawallud, katanya, “Segala yang lahir termasuk perbuatan manusia, manusia membuat warna, rasa, penglihatan dan bau.”

Tsumamah bin Asyras an-Numairi, wafat 213, mu’tazili beragama minim dan berjiwa rendah, walaupun begitu dia berkeyakinan bahwa orang fasik kekal di neraka jika dia mati tanpa bertaubat, orang ini adalah pemimpin Qadariyah pada masa al-Makmun dan al-Mu’tashim serta al-Watsiq, dialah yang mempengaruhi al-Makmun sehingga menjadi seorang Mu’tazili.

Amru bin Bahr al-Jahizh, wafat 256 H, seorang penulis Mu’tazilah, penelaah buku-buku filsafat, ahli dalam tulis-menulis, dengan keahliannya ini dia mampu menyisipkan pemikiran Mu’tazilah melalui tulisan-tulisannya seperti menyisipkan racun ke dalam mentega sebagaimana dalam bukunya al-Bayan wa at-Tabyin.

Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad al-Hamadani, wafat 414 H, dia adalah seorang Hakim di kota Ray dan sekitarnya, syaikh Mu’tazilah terbesar di zamannya, dia menyusun sejarah Mu’tazilah dan mengkonsep dasar-dasar akidah dan pemikirannya.