TANYA:
Sebagian guru ada yang memberi fatwa kepada murid-muridnya mengenai masalah syari’at tanpa berdasarkan ilmu. Bagaimana hukumnya?

JAWAB:
Kami tujukan jawaban ini kepada para peminta dan pemberi fatwa. Untuk para peminta fatwa; Tidak boleh meminta fatwa, baik kepada perempuan maupun laki-laki, kecuali yang diduga berkompeten untuk memberi fatwa, yaitu yang dikenal keilmuannya, karena ini adalah perkara agama, dan agama itu harus dijaga. Jika seseorang ingin bepergian ke suatu negara, hendaknya tidak menanyakan jalannya kepada sembarang orang, tapi mencari orang yang bisa menunjukkan, yaitu yang mengetahuinya. Demikian juga jalan menuju Allah, yaitu syari’atNya, hendaknya tidak meminta fatwa dalam perkara syari’at kecuali kepada orang yang diketahuinya atau diduganya berkompeten untuk memberikan fatwa.

Kemudian untuk para pemberi fatwa; Tidak boleh memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu. Allah Subhanahu WaTa’ala telah berfirman, artinya,
“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33).

Allah menyebutkan perbuatan mempersekutukan Allah pada pembicaraan dalam hal ini yang tidak didasari ilmu. Dalam ayat lain disebutkan,
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-An’am: 144).

Dan telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, bahwa beliau bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النّاَرِ

“Barangsiapa yang berdusta dengan mengatasnamakan diriku, maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka.” ( HR. Al-Bukhari dalam Al-‘Ilm (110), Muslim dalam Al-Muqaddimah (3) dari hadits Abu Hurairah. Diriwayatkan pula selain ini lebih dari seorang sahabat)

Maka hendaklah orang yang ditanya tidak begitu saja memberikan jawabannya kecuali berdasarkan ilmu, yaitu mengetahui masalahnya, baik itu dari dirinya sendiri, jika ia memang mampu mengkaji dan menimbang dalil-dalilnya, atau dari orang alim yang dipercayainya. Karena ini adalah perkara agama. Pemberi fatwa itu adalah yang memberi tahu tentang agama Allah dan tentang hukum Allah serta syari’at-syari’atNya, maka hendaknya ia sangat berhati-hati.
(SUMBER: Dalilut Thalibah Al-Mu’minah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 38. LIHAT: FATWA-FATWA TERKINI, PENERBIT DARUL HAQ)