Dari al-Qur`an

Allah SWT berfirman, “Dan bacalah al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS.al-Muzzammil:4)

Tartil artinya membaca al-Qur`an secara tidak terburu-buru, tenang, perlahan dan Tadabbur (perenungan), dengan menjaga kaidah-kaidah Tajwid, baik berupa Madd (memanjangkan), Izhhar (menampakkan bacaan secara jelas), dan lainnya.

Amr (perintah) dalam ayat ini mengindikasikan Wajib, sebagaimana hukum asal al-Amr, kecuali terdapat Qarinah (dalil penguat) yang mengalihkan dari Wajib kepada Nadb (sunnah/dianjurkan) atau Mubah (boleh), sementara dalam realitasnya tidak ada Qarinah di sini, sehingga yang berlaku adalah hukum asalnya, yaitu Wajib. Allah swt tidak sebatas pada Amr (perintah) dengan perbuatan, bahkan menguatkannya dengan Ism Mashdar (kata benda; Tartila) sebagai bentuk perhatian atasnya, pengagungan akan posisinya dan sugesti pemberian pahalanya. (Nihayah al-Qaul al-Mufid, hal 7)

Dari as-Sunnah

Di antaranya hadits yang valid dari Musa bin Yazid al-Kindi RA, ia berkata, “Ibn Mas’ud RA pernah meminta seorang laki-laki membaca di hadapannya, lalu orang itu membaca ayat (artinya), ‘Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin’ (QS.at-Taubah:60) dengan cara Irsal yakni pendek. Maka Ibn Mas’ud berkata, ‘Bukan begini caranya Rasulullah membacakannya kepadaku.’ Lalu orang itu berkata, ‘Lantas bagaimana beliau membacakannya kepadamu, wahai Abu Abdirrahman.?’ Ia menjawab, ‘Beliau membacakannya kepadaku begini, firmanNya (artinya), ‘Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin’ (QS.at-Taubah:60) dengan memanjangkannya (Madd).’” (Ibn al-Jauzi menyebutkannya di dalam kitabnya an-Nasyr dan berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabarani di dalam al-Mu’jam al-Kabir di mana para perawi sanadnya Tsiqat)

Ini adalah dalil bahwa membacanya merupakan Sunnah Muttaba’ah (tradisi yang terus diikuti) di mana generasi terakhir mengambilnya dari generasi pertama. Demikian pula, Ibn Mas’ud menolak bacaan dengan Qashr (pendek), sebab Nabi saw membacakan kepadanya dengan Madd (panjang). Hal itu menunjukkan wajibnya membaca al-Qur`an dengan bacaan yang benar, sesuai dengan hukum-hukum Tajwid.

Dari Ijma’ (Konsensus Ulama)

Umat yang Ma’shum ini bersepakat atas wajibnya Tajwid. Dan hal itu telah dimulai dari zaman Nabi saw hingga zaman kita saat ini, tidak seorang pun dari mereka berselisih mengenainya. Ini merupakan hujjah paling kuat. (Ghayah al-Murid, hal 35)

Mengenai hal ini, Ibn al-Jazari (Ahli Qiraat-red) merangkai bait:
Berpegang dengan Tajwid merupakan kewajiban lagi keharusan
Siapa yang tidak menajwidkan al-Qur`an, maka ia berdosa
Karena dengannya Ilah (Tuhan) menurunkannya
Demikian pula, dariNya ia sampai ke tangan kita