Pernakah Anda mengalami saat-saat yang sangat sulit dalam hidup, di mana bekal uang Anda hanya tinggal satu-satunya sementara Anda dihadapkan kepada dua kebutuhan yang sama-sama penting, jika kebutuhan pertama ditunaikan maka kebutuhan kedua harus direlakan, sebaliknya jika kebutuhan yang kedua dutunaikan maka yang pertama harus dilupakan? Tidak sampai pada batas ini saja, bekal yang sudah pas-pasan itu, yang sejatinya bisa menutupi salah satu dari kedua hajat penting itu, justru hilang oleh kekonyolan diri sendiri.

Inilah yang dialami oleh seorang Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, seorang hafizh muhaddits, lahir di Baitul Maqdis tahun 448 H dan wafat tahun 507 H, di negeri orang demi menuntut ilmu dengan bekal minim dan hidup serba kekurangan, namun lezatnya ilmu dan manisnya hadits mengalahkan semua itu, sampai suatu ketika bekalnya benar-benar pamungkas, tinggal satu koin dirham, jumlah yang hanya cukup untuk makan atau membeli kertas untuk menulis ilmu, pilihan yang sama-sama bukan pilihan, makan berarti kertas tidak terbeli, kertas berarti lapar terus mendera. Namun calaka, dalam kondisi menimbang dengan diliputi sedikit kebingungan inilah, malah jutsru koin satu-satunya itu tertelan, lenyaplah kesempatan untuk makan atau membeli kertas. Tetapi tidak, karena Allah memiliki banyak pintu rizki, satu pintu boleh tertutup tetapi tidak dengan pintu-pintu yang lain.

Biarkan Muhammad bin Thahir berkisah, dia berkata, aku kencing darah demi mencari hadits dua kali, sekali di Baghdad dan sekali di Makkah, hal itu karena aku berjalan tanpa alas kaki di bawah terik matahari yang sangat, maka hal itu menimpaku, aku tidak pernah mengendarai hewan tunggangan demi mencari hadits kecuali hanya sekali, aku memanggul kitab-kitabku di atas punggungku, sampai aku bermukim di suatu kota, selama aku mencari hadits aku tidak meminta kepada seorang pun, aku hidup dari apa yang aku dapatkan tanpa meminta.

Aku melakukan perjalanan dari Thus ke Ashbahan demi hadits Abu Zur’ah ar-Razi yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih, sebagian ahli hadits mengingatkanku kepadanya di malam hari, ketika pagi tiba, aku menyiapkan kendaraanku dan aku pergi ke Ashbahan, aku tidak melepasnya sampai aku masuk kepada Syaikh Abu Amru, maka aku membacanya atasnya dari bapaknya dari Abu Bakar al-Qatthan dari Abu Zur’ah, Abu Amru memberiku tiga potong roti dan dua biji jambu, pada malam itu aku memang tidak mempunyai makan, hanya itu makananku, kemudian aku mendampinginya sampai aku mendapatkan apa yang aku inginkan, kemudian aku berangkat ke Baghdad, ketika aku kembali ke Ashbahan, dia telah meninggal semoga Allah merahmatinya.

Suatu hari aku membaca sebuah juz pada Abu Ishaq al-Jabbal di Mesir, lalu seorang laki-laki yang berasal dari kotaku datang kepadaku dari Baitul Maqdis, dia berkata kepadaku secara rahasia, “Saudaramu telah tiba dari di Syam.” Dan hal itu setelah orang-orang Turki masuk ke Baitul Maqdis dan membunuh orang-orang di sana. Aku terus membaca, tetapi aku tidak bisa berkonsentrasi, aku tidak bisa membaca dengan benar, maka Abu Ishaq berkata kepadaku, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab, “Baik.” Dia berkata, “Kamu harus mengatakan kepadaku apa yang dikatakan kepadamu oleh laki-laki itu.” Maka aku berterus terang kepadanya, dia bertanya, “Berapa lama kamu tidak bertemu dengan saudaramu?” Aku menjawab, “Bertahun-tahun.” Dia bertanya, “Lalu mengapa kamu tidak pergi kepadanya?” Aku menjawab, “Sampai aku menyelesaikan juz ini.” Dia berkata, “Betapa besar kesungguhan kalian wahai ashabul hadits, majlis telah selesai, shalawat dari Allah kepada Muhammad.” Dan dia pergi.

Aku bermukim di Tunis beberapa waktu lamaya, menumpang di rumah Abu Muhammad bin al-Haddad dan kawan-kawannya, aku ditimpa kesulitan hidup, uangku tidak ada yang tersisa selain satu dirham, pada hari itu aku butuh roti dan kertas untuk menulis, aku bingung, jika aku belikan roti maka aku tidak membeli kertas, jika aku belikan kertas maka aku tidak membeli roti, tiga hari tiga malam berlalu dalam kondisi demikian tanpa makan apa pun.

Di waktu pagi hari keempat, aku berkata kepada diriku, ‘Kalau aku mempunyai kertas, aku tidak akan bisa menulis apa pun, karena aku lapar.’ Aku meletakkan dirham di dalam mulutku, aku keluar untuk membeli roti, koin dirham itu tertelan olehku, aku tertawa, menertawakan diriku sendiri, tiba-tiba aku bertemu dengan Abu Thahir bin Khatthab ash-Shaigh al-Mawaqiti di Tunis pada saat aku tertawa, dia bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa?” Aku menjawab, “Baik.” Tetapi dia mendesakku dan aku tetap menolak tidak mengatakan kepadanya, maka dia bersumpah dengan talak, “Katakanlah dengan jujur, mengapa kamu tertawa?” Maka aku mengatakan kepadanya, lalu dia menggandengku dan membawaku ke rumahnya, dia menjamin makananku pada hari itu.

Di waktu Zhuhur, aku keluar untuk shalat Zhuhur bersamanya, dia dikerumuni oleh para pembantu seorang pembesar di Tunis bernama Ibnu Qadus, maka pembesar itu bertanya kepadanya tentangku, dia menjawab, “Ini dia.” Dia berkata, “Tuanku –yakni Amir Tunis- memerintahkanku untuk memberinya sepuluh keping dirham yang nilainya seperempat dinar perhari, tetapi aku lupa.” Maka dia mengambil darinya tiga ratus dirham dan dia datang kepadaku, dia berkata, “Allah telah memudahkan rizki yang tidak terduga.” Dia menceritakan kisahnya, aku berkata, “Simpan uang itu padamu, kita tetap berkumpul sampai saatnya aku harus pergi, aku sendirian, tidak ada orang yang mengurusi urusanku.” Maka dia melakukannya, setelah itu dia memberiku jumlah tersebut sampai aku berangkat ke Syam. Walillahi fi khalqihi syu`un.
(Izzudin Karimi)