“Sungguh Abu Muslim telah mati-matian dalam beribadah sehingga ia berkata, “Kalau aku melihat surga atau neraka dengan mata kepala, maka aku tidak memiliki bekal” (Utsman ibn Abi ‘Aatikah)

Telah tersebar berita di jazirah Arab bahwa Rasulullah SAW sakit parah setelah kepulangannya dari haji wada’.

Maka, syaitan memperdaya al-Aswab al-‘Ansi untuk kembali kepada kekufuran setelah sebelumnya beriman…dan mengadakan kebohongan atas nama Allah, ia mendakwakan dirinya sebagai nabi yang diutus dari sisi Allah bagi kaumnya di Yaman.

Adalah al-Aswad al-‘Ansi seorang yang begitu kuat, bertubuh kekar, berkulit hitam dan banyak kejahatannya.

Di masa Jahiliyah ia adalah seorang yang mumpuni dalam perdukunan, mahir dalam melakukan sihir atas manusia.

Di samping itu pula ia adalah orang yang fasih lisannya, mengagumkan penjelasannya, pengkaui, mampu mempermainkan akal orang-orang awam dengan kebathilan-kebathilannya dan mampu menarik loyalitas orang-orang khusus dengan hibah dan pemberiannya.

Ia tidak pernah muncul di hadapan manusia kecuali dengan menutup muka dengan cadar berwarna hitam untuk meliputi dirinya dengan sifat ditakuti karena tersembunyi dan berwibawa.

Dakwah al-Aswad al-‘Ansi telah tersebar di Yaman sebagimana menjalarnya api pada tanaman yang kering, dan kabilahnya dari Bani Madzhij yang megikutinya telah membantunya dalam meyebarkan dakwahnya.

Pada saat itu, ia adalah kabilah Yaman yang paling banyak jumlah penduduknya, paling luas kawasannya dan paling kuat bala tentaranya.

Sebagaimana telah membantunya dalam menyebarkan dakwahnya, yaitu kemampuannya untuk menciptakan kedustaan dan menghiasi perkataannya, serta permintaan bantuannya kepada orang-orang pengkaui yang menjadi pengikutnya.

Ia mendakwakan kepada manusia bahwa malaikat turun kepadanya dengan membawa wahyu serta memberitakan hal-hal ghaib kepadanya.

Untuk meyakinkan manusia atas kebenaran dakwaanya, ia telah menempuh banyak cara.

(Di antaranya) ia menyebarkan mata-matanya di setiap tempat, untuk mengetahui urusan-urusan manusia dan musykilah mereka serta menyibak rahasia-rahasia dan berita-berita mereka, serta menembus apa yang terhimpun dalam lubuk hati mereka dari angan-angan dan kesusahan.

Dan mereka di waktu yang sama merayu dan menipu mereka agar merujuk kepadanya (al-Aswad) dan meminta pertolongan darinya.

Dan apabila mereka mendatanginya, ia menghadapi setiap orang yang punya hajat dengan hajatnya dan memulai setiap orang yang punya permasalahan dengan (menyelesaikan) permasalahannya.

Dengan begitu seakan-akan ia memperlihatkan kepada mereka bahwa ia (mengetahui) rahasia-rahasia yang tersembunyi pada mereka dan menemukan apa yang tersembunyi dalam lubuk hati mereka.

Ia mendatangkan hal-hal ajaib dan aneh yang mampu mencengangkan akal dan membingungkan pikiran.

Tidaklah berselang lama hingga urusannya menjadi besar…
Tersebarlah popularitasnya…
Bertambah banyak pengikutnya…

Bersama mereka ia menguasai Shan’a, dan dari Shan’a menguasai daerah-daerah lainnya, hingga negeri-negeri yang terletak antara “Hadlramaut” dan “Thaif” tunduk kepadanya, juga negeri-negeri yang terletak antara “al-Bahrain” dan “’Adan.”..

Setelah urusan menjadi mapan untuk al-Aswad al-‘Ansi serta negeri-negeri dan manusia tunduk kepadanya. Ia segera mengawasi para penentangnya dan orang-orang yang Allah berikan kepada mereka keimanan yang dalam terhadap agamanya yang lurus…

Dan keyakinan yang mantap terhadap nabi-Nya yang mulia SAW…

Serta loyalitas (ketaatan) yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya…

Juga menyuarakan al-haq dengan keras dan menantang kebathilan…

Bersama mereka ia mulai menyerang dalam kekuatan besar dan menimpakan adzab yang pedih.

Adalah di barisan terdepan mereka (yang diperangi oleh al-Aswad) ada “Abdullah ibn Tsuwab” yang diberi kunyah “Abu Muslim al-Khaulani.”

Abu Muslim al-Khaulani adalah seorang yang kokoh dalam agamanya…Kuat imannya…Keras kepala untuk menyuarakan al-haq dengan lantang…

Ia telah mengikhlaskan dirinya untuk Allah, sehingga ia berpaling dari dunia dan perhiasannya…Zuhud terhadap keelokan hidup dan perdagangannya…

Ia telah menadzarkan hidupnya untuk taat kepada Allah dan berdakwah kepada-Nya…

Ia telah menjual dunia yang fana dengan akhirat yang kekal dengan penjualan yang murah…

Sehingga orang-orang menempatkannya pada kedudukan yang tinggi dalam jiwa mereka. Mereka melihatnya seorang yang bersih jiwanya dan erat hubungannya dengan Allah dan doanya mustajab di sisi-Nya.

Al-Aswad al-‘Ansi berkeinginan untuk menyerang Abu Muslim dengan penyerangan besar…

(Penyerangan) yang menghembuskan rasa takut dan gentar ke dalam hati para penentang dakwahnya secara sembunyi dan terang-terangan dan mengalahkan mereka dengan sebenar-benarnya (menjadikan para penentangnya kalang kabut).

Ia menyuruh untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di tanah lapang di Shan’a lalu dinyalakan dengan api…

Ia mengundang manusia untuk menyaksikan istitabah*nya faqih (ahli fikih) Yaman dan ‘abid (ahli ibadah) nya yaitu Abu Muslim al-Khaulani dan pengakuan terhadap kenabiannya.

Pada waktu yang sudah ditentukan, al-Aswad al-‘Ansi mendatangi tanah lapang yang penuh sesak dengan manusia.

Para thaghutnya dan pembesar pengikutnya mengelilinginya, juga para penjaga dan panglima pasukannya.

Ia lalu duduk di atas kursinya yang besar yang telah diletakkan untuknya menghadap ke arah api.

“Abu Muslim al-Khaulani” diseret kehadapannya di bawah tatapan manusia dan pendengaran mereka…

Saat ia (Abu Muslim) sampai di hadapannya, orang yang sombong dan pendusta ini memengkaung kepadanya dengan penuh takabbur…

Ia lalu memengkaung ke arah api yang berkobar-kobar di hadapannya dengan keras.

Kemudian ia menoleh kepadanya dan berkata, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?”

Abu Muslim menjawab, “Ya, aku bersaksi bahwa ia hamba Allah dan utusan-Nya…dan ia adalah pemimpin para rasul dan juga penutup para nabi.”

Al-Aswad al-‘Ansi mengerutkan dahinya dan mengangkat alisnya, ia berkata, “Dan kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”

Ia menjawab, “Telingaku tuli, aku tidak mendengar apa yang kamu katakan.”

Al-Aswad berkata, “Kalau demikian, aku akan melemparmu ke dalam api ini.”

Abu Muslim berkata, “Apabila kamu melakukannya, berarti aku berlindung dengan api yang bahan bakarnya kayu bakar dari api yang bahan bakarnya manusia dan bebatuan, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Al-Aswad berkata, “Aku tidak akan terburu-buru terhadapmu, akan aku berikan kesempatan lain kepadamu untuk mengembalikan akalmu.”

Ia lalu mengulangi pertanyaan kepadanya, ia berkata, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?”

Abu Muslim menjawab, “Ya, aku bersaksi bahwa ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Allah telah mengutusnya dengan agama petunjuk dan haq dan Dia menutup segala risalah dengan risalahnya.”

Maka al-Aswad bertambah murka dan berkata, “Dan kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?.”

Abu Muslim menjawab, “Bukankah sudah aku beritahukan kepadamu bahwa telingaku tuli, sehingga aku tidak mendengar perkataanmu ini?!.”

Al-Aswad al-‘Ansi terbakar kemarahan akibat keberaniannya dalam menjawab, ketentraman jiwanya dan ketenangan anggota badannya…

Ia berkehendak untuk menyuruh seseorang, dan melemparkannya ke dalam api.

Di saat itu, salah satu pembesar thaghutnya maju kepadanya dan membisikkan ke telinganya, ia berkata, “Sesungguhnya orang ini –sebagaimana yang kamu tahu- adalah bersih jiwanya, terkabulkan doanya…Dan sesungguhnya Allah tidak akan menghinakan seorang mukmin yang tidak menghinakan-Nya di saat-saat genting…

Dan sesungguhnya kamu, apabila melemparkannya ke dalam api lalu Allah menyelamatkannya, maka berarti kamu telah menghancurkan seluruh apa yang telah kamu bangun dalam sesaat. Dan kamu mendorong manusia untuk kufur terhadap kenabianmu…

Dan bila api membakarnya, niscaya orang-orang akan bertambah kagum terhadapnya dan tambah membesarkannya, dan mereka akan mengangkatnya ke dalam barisan para syuhada.

Maka berilah kebaikan kepadanya dengan membebaskannya, dan buanglah ia dari negerimu, kamu akan terbebas darinya dan merasa tenang.”

Al-Aswad lalu menerima pendapat thaghutnya dan memerintahkan Abu Muslim untuk meninggalkan negeri saat itu juga**.
Abu Muslim al-Khaulani melangkahkan kakinya pergi ke arah Madinah.

Ia mengangan-angankan dirinya untuk bisa bertemu Rasulullah SAW. Ia telah beriman kepadanya sebelum kedua matanya merasakan kenikmatan memengkaungnya, dan jiwanya bergembira menjadi sahabatnya.

Akan tetapi hampir saja ia sampai di ujung “Yatsrib (Madinah)” sehingga berita kematian Nabi SAW sampai ke telinganya, juga berita Abu Bakar yang menjabat sebagai khalifah kaum Muslimin setelahnya.

Kesedihan yang sangat menggelayuti lubuk hatinya atas wafatnya Nabi yang mulia.

Abu Muslim sampai di Madinah dan menuju ke masjid Rasulullah SAW.

Saat ia menghampiri masjid, ia mengikat untanya dekat dengan pintu masjid, ia masuk ke al-haram an-nabawi (masjid nabawi) yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW.

Ia berdiri di salah satu pilar dari pilar-pilar masjid dan mulai shalat…

Saat ia selesai dari shalatnya, Umar ibn al-Khaththab berjalan ke arahnya, hingga sampai di depannya. Ia berkata, “Dari mana kamu?” Ia menjawab, “Dari Yaman.”

Umar berkata, “Apa yang telah Allah perbuat dengan sahabat kami yang mana musuh Allah telah membakarnya dengan api, lalu Allah menyelamatkannya darinya?”

Ia menjawab, “Ia dalam kebaikan dan penuh nikmat dari Allah….”

Umar berkata, “Aku menyumpahmu dengan nama Allah, bukankah kamu adalah dia?”

“Ya” jawabnya.
Umar lalu mencium keningnya dan berkata, “Tahukah kamu apa yang Allah perbuat kepada musuh Allah dan musuhmu?”

Ia berkata, “Sekali-kali tidak, beritanya telah terputus dariku semenjak aku meninggalkan Yaman.”

Umar menjawab, “Allah telah membunuhnya melalui tangan-tangan orang-orang yang tersisa dari kalangan kaum Mukminin yang benar dan Dia melenyapkan kerajaannya serta mengembalikan para pengikutnya kepada agama Allah….”

Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang belum mengeluarkan aku dari dunia sehingga mataku bergembira dengan kematiannya dan kembalinya orang-orang yang terperdaya dari penduduk Yaman ke dalam pangkuan Islam.”

Umar berkata kepadanya, “Dan aku memuji Allah yang telah memperlihatkan kepadaku dalam umat Muhammad seseorang yang diperlakukan sebagaimana yang diperlakukan kepada khalilurrahman bapak kita Ibrahim AS.

Kemudian ia (Umar) menggandeng tangannya dan berjalan bersamanya menuju kepada Abu Bakar. Saat ia masuk menemuinya, ia mengucapkan salam dengan panggilan khalifah dan mambaiatnya.

Ash-Shiddiq lalu mendudukkannya antara dia dan Umar.
Mulailah dua syaikh (Yaitu Abu Bakar dan Umar) tersebut meminta Abu Muslim untuk menceritakan kembali kisahnya bersama al-Aswad al-‘Ansi.

Abu Muslim al-Khaulani tinggal beberapa waktu di Madinah Munawwarah dan di sela-sela itu ia selalu menetapi masjid Rasulullah SAW…

Ia shalat sebanyak apa yang Allah kehendaki untuk shalat di Raudlah yang suci, ia juga menimba ilmu dari pembesar sahabat seperti Abu Ubaidah ibn al-Jarrah, Abu Dzarr al-Ghifaari, Ubadah ibn ash-Shaamit, Mu’adz ibn Jabal dan ’Auf ibn Malik al-Asyja’i.

Kemudian terbesitlah dalam hati Abu Muslim al-Khaulani untuk pergi ke negeri Syam dan menjadikannya sebagai tempat tinggal.

Tujuan kepindahannya adalah agar ia menjadi dekat dengan perbatasan Syam untuk ikut serta dengan pasukan muslimin dalam memerangi Romawi dan beruntung dengan mendapatkan pahala murabathah (menjaga perbatasan) di jalan Allah.

Ketika khilafah berpindah kepada amirul mukminin “Muawiyah ibn Abi Sufyan” RA, ia banyak bolak-balik menemuinya dan menghadiri majlis-majlisnya. Ia memiliki beberapa kejadian yang diingat-ingat dan masyhur yang menjadi saksi atas tingginya kedudukan kedua orang tersebut…dan memberitahukan tentang apa yang keduanya berhias dengannya dari ketinggian sifat…

Di antaranya, bahwa Abu Muslim masuk menemui Muawiyah RA, maka ia melihatnya duduk di bagian depan majlisnya yang ramai.

Para pejabat negeri telah mengelilinginya, juga panglima pasukan dan para tokoh kaumnya…

Ia melihat orang-orang berlebih-lebihan dalam mengagungkannya dan memuliakannya, sehingga ia merasa khawatir terhadapnya dengan kekhawatiran yang sangat. Ia mengatakan, “Assalamu’alaika ya Ajiirul (pelayan) mukminin.”

Orang-orang menoleh kepadanya dan berkata, “Amirul mukminin…wahai Abu Muslim….”

Ia tidak menggubris mereka dan berkata, “Assalamu’alaika ya ajiirul mukminin.”

Orang-orang berkata, “Amirul Mukminin wahai Abu Muslim.”

Ia tidak mendengarkan perkataan mereka dan tidak menoleh kepada mereka dan ia berkata, “Assalamu’alaika ya ajiirul mukminin.”

Saat orang-orang berkehendak untuk mengulanginya, Muawiyah menoleh kepada mereka dan berkata, “Biarkan Abu Muslim, ia lebih tahu dengan apa yang ia katakan.”

Abu Muslim mendekat kepada Muawiyah dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya permisalanmu –setelah Allah mengangkatmu sebagai wali bagi urusan manusia- sebagaimana permisalannya orang yang menyewa seseorang atau mewakilkan kepadanya urusan dombanya. Ia memberikan upah kepadanya untuk mengurusi gembalanya, menjaga badannya dan memperbanyak woolnya dan susunya…

Apabila ia mengerjakan apa yang menjadi kesepakatan dengannya sehingga domba yang kecil tumbuh menjadi besar, yang kurus menjadi gemuk dan yang sakit menjadi sehat…ia memberikan upahnya dan melebihkannya.

Sebaiknya jika tidak becus dalam mengurus gembalanya dan lalai darinya hingga yang kurus menjadi binasa, yang gemuk menjadi kurus dan hilang wool-woolnya dan susu-susunya…maka ia menahan upahnya dan memarahinya serta menghukumnya.

Maka pilihlah untuk dirimu apa yang ada kebaikan dan pahalanya untukmu.”

Muawiyah mengangkat kepalanya yang sebelumnya tertunduk ke tanah, ia berkata, “Semoga Allah membalasimu dengan kebaikan atas kami dan atas rakyat wahai Abu Muslim, kami tidak mengetahuimu kecuali seorang yang memberikan nasehat kepada Allah dan Rasul-Nya dan juga kepada kaum muslimin pada umumnya.”

Abu Muslim menghadiri shalat Jum’at di masjid jami’ di Damaskus. Dan adalah amirul mukminin Muawiyah yang berkhutbah di hadapan manusia, ia mengingatkan kepada mereka perintahnya untuk menggali sungai “Baradaa” sehingga airnya menjadi jernih.

Abu Muslim lalu memanggilnya di antara kelompok manusia dan berkata, “Ingatlah wahai Muawiyah, bahwa kamu akan mati entah hari ini atau besok, dan bahwa tempat tinggalmu adalah kuburan…apabila kamu mendatanginya dengan membawa sesuatu, maka kamu akan mendapatkan sesuatu padanya. Dan bila kamu mendatanginya dengan tangan hampa, maka kamu akan mendapatkannya kosong dan rata.

Dan sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada Allah untukmu wahai Muawiyah, agar kamu tidak beranggapan bahwa khilafah hanya sekedar menggali sungai…mengumpulkan harta…Akan tetapi khilafah adalah beramal dengan al-haq…berkata adil…dan mengajak manusia kepada keridlaan Allah…

Wahai Muawiyah, sesungguhnya kami tidak peduli dengan keruhnya sungai apabila mata kepala kami jernih dan sesungguhnya engkau adalah mata kepala kami, maka berijtihadlah agar engkau senantiasa jernih.

Wahai Muawiyah, sesungguhnya engkau apabila berbuat dzalim kepada satu orang, maka kadzalimanmu akan menghilangkan keadilanmu.

Maka hati-hatilah kamu dari berbuat dzalim…
Karena sesungguhnya kedzaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.”

Setelah Abu Muslim selesai dari perkataannya, Muawiyah turun dari mimbar dan menghampirinya. Ia berkata, “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Muslim dan membalasimu dengan sebaik-baik balasan atas kami.”

Pada kali yang lain, Muawiyah naik mimbar dan memulai khutbahnya. Sementara ia telah menahan pemberiannya kepada orang-orang selama dua bulan.

Maka Abu Muslim memanggilnya dan berkata, “Wahai Muawiyah, sesungguhnya harta ini bukanlah hartamu, tidak pula harta ayah dan ibumu…dengan hak apa kamu menahannya dari manusia?!.”

Nampaklah kemarahan pada wajah Muawiyah, dan orang-orang mulai menanti apa yang akan terjadi.

Tidak ada yang ia lakukan kecuali ia mengisyaratkan kepada orang-orang agar tetap tinggal di tempat mereka dan tidak meninggalkannya.

Ia turun dari mimbar dan berwudlu dan menyiramkan sedikit air kebadannya. Kemudian ia naik mimbar, lalu memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dengan sanjungn yang sesuai dengan-Nya dan berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah menyebutkan bahwa harta ini bukanlah hartaku, bukan pula harta ayah dan ibuku…

Dan sungguh Abu Muslim telah benar atas apa yang ia katakan…
Dan sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Kemarahan itu dari syaithan…dan syaithan (diciptakan) dari api…dan air memadamkan api. Maka apabila salah seorang dari kamu marah hendaklah ia mandi.”

Wahai manusia, bergegaslah untuk mengambil hak-hak kalian atas berkah Allah AWJ.”
Semoga Allah membalasi Abu Muslim al-Khaulani dengan sebaik-baik balasan. Ia adalah seorang permisalan yang langka dalam menyuarakan kalimatul haq.

Semoga Allah meridlai Muawiyah ibn Abi Sufyan dan memperbanyak keridlaan-Nya. Ia merupakan tauladan yang mengagumkan dalam rujuk (kembali) kepada kalimatul haq.

Alangkah indahnya perkataan seseorang:
Sedikitkanlah dalam mencela mereka
Semoga tidak ada ayah untuk ayah kalian
Tempatilah tempat mereka
Dan lakukanlah apa yang mereka kerjakan

CATATAN:
* Istitabah adalah ajakan atau seruan untuk bertaubat
** Sebagian besar referensi yang ada pada kami menunjukkan bahwa ia dilempar ke dalam api, dan api itu terasa dingin dan menyelamatkan sebagaimana yang terjadi pada Ibrahim, wallahu a’lam

RUJUKAN:
Sebagai tambahan tentang kisah Abu Muslim al-Khaulani, lihatlah:
Thabaqat Ibn Sa’d: 7/448
Tarikh al-Bukhari: 5/58
Al-Ma’rifah wat Tarikh: 2/308, 382
Al-Istii’ab: 1479
Tarikh Ibn Asakir: 9/12
Usdul Ghaabah: 3/129
Al-Lubaab: 1/395
Tadzkiratul Huffadz: 1/49
Al-Bidayah wan Nihayah: 8/146
Al-Ishaabah: 6302
Syadzaratudz Dzahab: 1/70