Senyum itu milik bersama, bukan monopoli orang berpunya sehingga orang papa tidak kebagian jatah, bukan kekhususan orang berharta sehingga orang miskin tidak mendapatkannya, bukan keistimewaan orang berpangkat sehingga orang rendah dilarang meluapkannya, siapa pun bisa tersenyum, senyum karena kelucuan orang lain atau kekonyolannya atau senyum karena menertawakan diri sendiri.

Senyum itu sehat, siapa yang memungkiri manfaat senyum, siapa yang menafikan dampat positifnya dan siapa yang menutup mata dari kemaslahatannya, senyum menurunkan ketegangan saraf otak, senyum melemaskan otot tubuh yang kaku dan senyum membuat wajah terlihat ramah, bahkan terkadang senyum merupakan sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan atau respon dari sebuah kejadian. Namun demikian tidak berarti bahwa Anda bisa tersenyum sendiri, karena dalam kondisi ini Anda bisa dikira kurang waras atau pandir.

Yang unik, ketika seseorang tersenyum sendiri, dia bisa disangka bahlul, pandir, dungu dan semacamnya, namun terkadang justru kita bisa dibuat tersenyum oleh kepandiran atau kedunguan, coba Anda baca yang berikut.

Seorang bapak yang pandir berkata kepada anaknya yang juga pandiri, “Apakah kamu masih ingat hari apa kita Shalat Jum’at di masjid al-Furqan?” Anaknya menjawab, “Aku lupa wahai ayah, namun sepertinya hari Selasa.” Maka bapak berkata, “Kamu benar anakku, aku juga masih ingat bahwa hari itu adalah hari Selasa.”

Seorang laki-laki pandir membeli sepuluh ekor unta, pulang dari pasar dia mengendarai satu dari sepuluh unta tersebut dan dia berjalan di depan, di tengah jalan dia berhenti, dia menoleh ke belakang, dia menghitung jumlah unta, ternyata cuma sembilan ekor, lalu dia turun dari unta yang dia kendarai dan menghitung ulang, ternyata jumlahnya sepuluh, maka dia berkata, “Lebih baik aku berjalan kaki sehingga untaku tidak hilang satu.”

Seorang laki-laki pandiri mempunyai bagian setengah rumah, dia berkata, “Aku akan menjual bagian setengahku sehingga aku bisa membeli setengah yang lain dan aku pun mempunyai rumah utuh.”

Kabilah Rasib berselisih dengan Kabilah Thafawah karena memperebutkan seorang laki-laki, masing-masing kedua kabilah itu mengklaim bahwa laki-laki itu berasal darinya, kemudian mereka sepakat untuk berhakim kepada seorang laki-laki pertama yang datang kepada mereka, ternyata yang datang adalah laki-laki pandir, setelah mereka menyampaikan persoalan, laki-laki yang mereka jadikan sebagai hakim ini berkata, “Lemparkan laki-laki yang kalian perebutkan itu ke laut, jika dia tenggelam maka dia dari kabilah Rasib, namun jika dia terapung maka dia dari kabilah Thafawah.” -Rasib dalam bahasa Arab berarti tenggelam dan Thawafah berarti terapung- Lalu laki-laki yang diperebutkan itu kabur sambil berkata, “Aku tidak mau menjadi anggota dua kabilah itu.”

Seorang laki-laki mempekerjakan seekor keledai untuk memutar sebuah penggilingan, dia meletakkan lonceng di leher keledai itu, seorang temannya datang menghampiri, dia bertanya, “Mengapa aku melihat lonceng di leher keledaimu?” Laki-laki itu menjawab, “Terkadang aku malas mengawasi keledai ini dan terkadang aku pun mengantuk, ketika aku tidak mendengar gemerincing lonceng maka aku tahu bahwa keledai itu berhenti, aku pun berteriak atau mencambukkanya sehingga dia kembali berjalan.” Temannya berkata, “Bagaimana kalau keledaimu itu berhenti ketika kamu sedang malas mengawasi atau mengantuk dan ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja?” Maka laki-laki itu berkata, “Kalau keledai itu sampai melakukan itu maka dia bukan keledai.”

Seorang laki-laki pandiri meronce kalung dari tulang dan biji-bijian, lalu dia mengalungkannya di lehernya, dia ditanya mengapa melakukan itu, maka dia menjawab, “Dengan kalung ini aku bisa mengenali diriku. Dengan kalung ini aku mengetahui diriku.” Suatu hari laki-laki ini tertidur, saudaranya menghampirinya dan mengambil kalung itu lalu memakainya. Ketika pemiliknya bangun, dia mencari-cari kalungnya dan menemukannya di leher saudaranya, maka dia berkata, “Wahai saudaraku, kamu adalah aku, lalu siapa aku?”
(Izzudin Karimi)