Usaha mengintegrasikan umat Islam ke dalam masyarakat AS ternyata seama ini selalu terganjal empat mitos yang berkembang di negara tersebut. Keempat mitos tersebut adalah Muslim AS adalah imigran, secara politik, etnis dan kultural Muslim AS sama, Muslim AS memperlakukan wanita secara tidak hormat dan Muslim AS merupakan tuan rumah pertumbuhan terorisme.

Keempat mitos itu selalu menjadi sasaran serangan pihak-pihak tertentu di AS yang menghendaki kesenjangan itu tetap mengangga. Solusinya, perlu kerja keras untuk menjembatani kesenjangan itu. Salah satunya mendekatkan Islam dengan AS melalui pembangunan Cordoba House di bekas reruntuhan bangunan menara kembar WTC, Manhattan, New York. Demikian pemaparan Iman Faisal Abdul Rauf dalam petikan wawancara bersama Washington Post seperti dilansir statesman.com akhir pekan.

Rauf menjelaskan mitos Muslim AS adalah selalu imigran merupakan kesalahan yang perlu diluruskan. Muslim AS, tegasnya tidak semuanya imigran. Mereka, ungkap Rauf, tiba di AS berkat perdagangan manusia yang diberlakukan di masa lalu.

Sejarah mencatat, kata Rauf, lebih dari 30 persen budak berkulit hitam merupakan Muslim. Pangeran Afrika Barat, Abdul Rahman dibebaskan oleh Presiden John Quincy Adams pada tahun 1828 setelah 40 tahun di penjara. “Dia merupakan satu dari banyak Muslim Afrika diculik dan dijual pasar perbudakan di Dunia Baru,” kata dia.

Di masa awal AS, papar Rauf, nama Islam dapat ditemukan dalam laporan budak pelarian maupun diantara daftar nama tentara dalam Perang Revolusi. Muslim AS telah berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Amerika dalam Perang tahun 1812 dan Perang Saudara Perang Saudara.

Satu abad kemudian, ribuan orang Amerika Afrika, termasuk Cassius Clay dan Malcolm Little, masuk Islam. “Saat ini, ada dua Muslim anggota Kongres dan ribuan Muslim aktif bertugas di angkatan bersenjata. Tentu beberapa pasukan Muslim mungkin telah lahir di tempat lain, tetapi jika anda mengenakan seragam Amerika Serikat dan bersedia mati untuk negara ini, apakah anda merupakan orang asing?,” kata dia.

Soal mitos kedua, Rauf menjelaskan komunitas Muslim AS merupakan komunitas paling beragam di dunia. Muslim AS memiliki cara pandang keyakinan berbeda. Menurut Rauf, bila dianalogikan secara politik Muslim AS bisa terbagi menjadi tiga kubu, yakni 63 persen Muslim AS memilih Demokrat, 11 persen Republik dan 26 persen Independent.

Dari segi etnis, mayoritas Muslim AS bukan berasal dari Timur Tengah. Seperempat diantaranya merupakan Afro-Amerika. “Muslim AS juga terbagi menjadi sejumlah sekte. Entah mereka Sunni hingga Syiah. Moderat hingga sekular,” kata dia.

Berbicara mitos minimnya penghargaan Muslim AS terhadap kaum Hawa, Rauf menjelaskan studi Gallup tahun 2009 menyebutkan Muslimah AS lebih berpendidikan ketimbang perempuan Muslim di Eropa Barat.

Mereka, menurut Rauf, mengisi posisi penting sejumlah organisasi keagamaan dan sipil seperti Pusat Dukungan Keluarga Arab-Amerika, majalah Azizah, Karamah, Turning Point, Kelompok Jaringan Islam dan American Society for Muslim Advancement. “Tentu saja, tantangan untuk keadilan gender tetap terjadi di seluruh dunia. Pada tahun 2009 Gap World Economic Forum Gender Index, Muslim AS menempati peringkat 18 dari 25 negara,” kata dia.

Tetapi, tambah Rauf, seperti yang didokumentasikan oleh Perempuan Islam Inisiatif, organisasi yang mewadahi Muslimah AS, dalam hal spiritualitas dan kesetaraan, Muslimah AS memimpin di bidang perjuangan untuk perubahan melalui program beasiswa mereka, keterlibatan masyarakat, pendidikan, advokasi dan aktivisme di seluruh dunia.

Lalu ihwal Muslim AS sebagai tuan rumah pertumbuhan terorisme, Rauf menyatakan lebih banyak non Muslim yang terlibat dari masalah terorisme. Hanya saja, kata Rauf, hal itu tidak dipublikasikan.(rpblk).