Kondisi hidup sedang sulit, keadaan ekonomi sedang sempit, tidak sedikit keluarga mengeluh, tidak sedikit rumah tangga sambat, harga-harga naik pasti, sebaliknya nilai uang turun pasti, peluang kerja dan pekerjaan demikian sempit sesempit lubang jarum, sulit sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami, langka selangka hujan di musim kemarau. Inilah gambaran kehidupan Indonesia, tidak ada yang selamat darinya kecuali segelintir orang yang berkantong tebal atau yang berkursi empuk.

Keadaan di atas juga dienyam dan dirasakan oleh keluarga muslim yang rata-rata berstrata menengah ke bawah bahkan tidak berlebihan kalau penulis katakan berstrata bawah bukan menengah. Tidak ada jalan lain setelah mengadu dan pasrah kepada Allah sebagai penjamin rizki dan hidup selain mencari cara bijak dan sikap kreatif dalam menghadapi keadaan dan kondisi seperti ini. Hanya ini yang bisa dilakukan, berharap kepada pemimpin untuk menstabilkan harga dan membuka peluang kerja sehingga hidup terasa mudah bagaikan seekor katak berharap rembulan, jauh panggang dari api, para pemimpin seolah-olah tidak ada, mereka di mana dan rakyat di mana, tidak bertemu. Tapi sudahlah, yang penting adalah mengurusi diri sendiri di samping bertawakal kepada Allah agar asap dapur tetap bisa mengepul, anak-anak bisa mendapatkan haknya dalam bentuk pendidikan dan gizi yang seimbang, istri tetap bisa tersenyum bahagia karena mampu mengatasi sisi finansial yang serba cekak dengan bijak.

Secara umum keluarga menghadapi kondisi seperti ini dengan dua cara. Pertama, meningkatkan pendapatan keluarga. Kedua, menekan pengeluaran keluarga. Masing-masing cara mempunyai resiko dan konsekuensi. Jika cara pertama yang Anda pilih maka Anda harus bekerja lebih keras, memberikan waktu lebih banyak di mana hal ini sedikit banyak mengorbankan hak keluarga, memang setiap pilihan beresiko, sendainya pilihan ini yang Anda pilih maka tidak buruk, yang penting hasilnya berimbang dengan ongkos dan beanya. Tetapi penulis melihat cara ini rada-rada sulit di tengah kondisi yang memang pada dasarnya sudah sulit.

Cara kedua, inilah yang penulis maksud dengan rizki pasif, yakni rizki yang tidak berwujud uang atau penghasilan tetapi rizki yang didapat dari sebuah manfaat yang tidak mengeluarkan uang, seandainya ia diuangkan maka akan terjumlah bilangan yang lumayan. Sisi ini kalau kita perhatikan ternyata bisa menghemat banyak dan ia lebih mudah karena kendalinya ada di tangan kita, tergantung mampu tidaknya mengerem kendali tersebut, tentu hal ini tidak berarti kita harus mengencangkan ikat pinggang sampai perut melilit-lilit, tidak berarti kita terjatuh ke dalam sikap taqtir kikir kepada diri sendiri, kalau kepada diri sendiri saja kikir lalu bagaimana kepada orang lain? Tidak demikian, akan tetapi dengan tetap memperhatikan sisi qawama tanpa israf. Sebab jika kita merenung dan berpikir jernih ternyata banyak sisi-sisi hidup di mana kita bisa mengais rizki pasif darinya, hanya saja selama ini kita kurang care kepadanya di samping tradisi israf yang dibenci Allah ini memang terkadang menjadi trend sebagian dari kita.

Penulis melihat ada beberapa sisi dalam dan dari rumah di mana kita mungkin mendapatkan rizki pasif ini, di antaranya:

1- Urusan Belakang

Urusan belakang mencakup dapur yakni memasak, mencuci pakaian keluarga dan menyetrikanya, bersih-bersih rumah yakni menyapu dan mengepel. Urusan belakang ini selalu dan pasti ada di semua keluarga tanpa mengenal kasta. Sebagain keluarga menyerahkan urusan belakang ini kepada seseorang, kalau pendapatan memadahi tidak masalah, hitung-hitung membantu memberi rizki kepada orang lain, tetapi jika tiang rumah tangga tidak besar alias pas-pasan, maka penulis melihat kurang bijak kalau urusan ini diserahkan kepada seseorang, lebih bijak kalau ditangani sendiri sebab ongkos yang semestinya untuk orang lain itu bisa dialokasikan atau disimpan untuk keperluan yang tidak terduga, sakit misalnya atau safar pulang kampung, atau menunjang pendidikan anak dan sebagainya.

Keputusan ini tentu dengan resiko, Anda harus siap sedikit repot, akan tetapi berdasarkan pengalaman penulis, persoalannya hanya terletak pada cara memenej dengan sedikit tambahan waktu, kalau memenej penulis yakin Anda mampu, masalahnya dari mana waktu tambah ini diambilkan? Hanya ada satu, karena dari waktu bekerja tidak mungkin, dari waktu ibadah tidak mungkin, dari waktu dakwah juga tidak mungkin, hanya satu yaitu waktu istirahat Anda, benar Anda harus mengurangi tidur dengan menunda tidur atau mempercepat bangun. Di samping itu untuk apa berlama-lama tidur, banyak hal yang terlewatkan oleh orang tidur, kalau mau tidur lama sekali tunggu saja nanti di alam kubur. Jika Anda biasa tidur jam sembilan malam, tunda setengah jam, manfaatkan untuk mencuci, mengepel dan sebagainya. Jika Anda biasa bangun pada saat adzan Subuh, majukan setengah jam sebelumnya, Anda bisa gunakan untuk mempersiapakan makan hari itu.

Seandainya urusan belakang ini Anda serahkan kepada orang lain, tentu ada bea yang harus Anda tanggung, kalau Anda urusi sendiri maka bea tersebut tetap tersimpan dalam kantong, besarnya lumayan bukan? Lebih-lebih jika dikalikan.

2- Pendidikan Anak

Bagi keluarga yang belum beranak atau beranak tetapi belum sekolah, belum merasakan beban pendidikan anak yang tidak ringan, berbeda dengan keluarga dengan anak-anak yang sudah sekolah, keluarga ini merasakan beratnya menyekolahkan anak-anak, sekolah umum berkualitas tidak murah, lebih-lebih sekolah plus, pondok pesantren yang bagus juga tidak murah, maklum pondok juga memerlukan uang buat membayar gaji ustadnya dan karyawannya, belum lagi rata-rata orang tua menginginkan kualitas yang baik, sehingga terkadang anak-anak diberi les ekstra di luar pelajaran sekolah. Kalau ada uang, kalau tidak?

Penulis melihat ada sedikit cela dalam perkara ini yaitu dengan memberdayakan diri, suami dan istri sebagai penunjang pendidikan anak. Misalnya, anak sekolah di sekolah umum di mana pelajaran agamanya kurang, maka suami atau istri yang mengkaver kekurangan ini di waktu yang senggang, suami atau istri sebagai guru les bagi anak di bidang agama, tanpa ini pun sebenarnya pendidikan agama sudah menjadi kewajiban bapak ibu bukan? Atau ada mata pelajaran tertentu di mana anak perlu bimbingan, tidak perlu masuk ke bimbel, cukup dibimbing sendiri saja, masak pelajaran anak sekolah kita tidak menguasainya? Kalau tidak, suruh kakak untuk membimbing adiknya. Hemat bukan? Perkaranya kembali lagi kepada waktu dan pengaturan.

3- Rumah

Setiap keluarga menempati sebuah rumah, mungkin rumah sendiri, mungkin kontrakan, mungkin rumah mertua atau orang tua. Rumah yang kita tinggali memerlukan perawatan, pada saat tertentu gentengnya pecah sehingga bocor, pada saat yang lain kran air rusak sehingga air terus menetes tidak tertampung, pada saat yang lain listrik di salah satu kamar mati sehingga harus diganti atau diperbaiki. Rizki pasif dari semua ini adalah dengan mengerjakannya sendiri. Masalah-masalah di atas dan yang sepertinya termasuk masalah-masalah yang sering terjadi di rumah dan ia termasuk masalah dasar di mana ilmunya merata di semua kalangan, tidak perlu keahlian khusus, kalaupun Anda belum menguasainya, Anda tetap bisa menguasainya hanya dengan melihat semata atau bertanya. Apakah untuk genteng yang bocor Anda harus memanggil orang untuk menggantinya? Sementara Anda tinggal mengambil tangga atau meminjamnya dari tetangga lalu memanjat dan beres. Anda tidak takut ketinggian bukan? Begitulah urusan-urusan rumah yang lain. Jika setiap urusan kecil harus dikerjakan oleh orang lain, resikonya Anda harus mengalokasikan dana untuk itu, padahal itu tidak harus, kerjakan sendiri sementara dananya untuk membeli susu buat anak-anak saja.

Apa yang penulis katakan ini hanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman, tidak ada ayat dan haditsnya, pengalaman murni. Silakan ambil yang sekiranya baik dan sesuai. Mudah-mudahan bermanfaat.
(Izzudin Karimi)