Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1432 Hijriyah jatuh pada Senin (1/8). Demikian disampaikan Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas dalam jumpa pers di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Kamis (14/7).

Penetapan itu berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid. Disebutkan bahwa ijtima’ menjelang Ramadhan 1432 H terjadi pada Ahad (31/7) pukul 01:41:00 WIB.

Adapun tinggi hilal pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta yakni plus 06 derajat 30 menit 03 detik atau hilal sudah wujud. ‘’Dan di seluruh Indonesia pada saat Matahari terbenam hilal sudah diatas ufuk,’’ papar Yunahar.

Sementara untuk Idul Fitri 1432 H, sambung dia, PP Muhammadiyah menetapkan jatuh pada Selasa (30/8). Dijelaskan, bahwa ijtima’ menjelang Syawal 1432 H terjadi pada Senin (29/8) pukul 10:05:16 WIB.

Tinggi hilal pada saat Matahari terbenam di Yogyakarta min02 derajat 08 menit dan 16 detik (hilal sudah wujud). ‘’Jadi, untuk Ramadhan tahun ini, akan dilaksanakan selama 29 hari,’’ ujar Yunahar, yang didampingi Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Oman Fathurahman.

Di samping itu, ditetapkan pula 1 Dzulhijah yang jatuh pada Jumat (28/10). Ijtimak menjelang Dzulhijah 1432 H terjadi pada Kamis (27/10) pukul 02:57:10 WIB. Tinggi hilal saat Matahari terbenam di Yogyakarta adalah plus06 derajat 28 menit dan 53 detik (hilal sudah wujud) di seluruh wilayah Indonesia saat Matahari terbenam hilal sudah di atas ufuk.

Lebih jauh dikatakan, pihaknya tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan penetapan 1 Ramdhan, Syawal, dan Dzulhijah dengan pihak lain. ‘’Kemungkinan itu ada, terlebih bila metode yang dipakai berbeda semisal rukyat,’’ tandasnya.

Oleh karena itu, kata Yunahar, PP Muhammadiyah mengimbau kepada segenap warga Muhammadiyah untuk memahami, menghargai dan menghormati perbedaan itu dengan menjunjung tinggi ukhuwah.

[Sumber: www.republika.co.id]

Catatan:

Namun demikian, proses rukyah untuk melihat Hilal di akhir Sya’ban tetap harus dilakukan sebagai kepastian penetapan awal Ramadhan 1432 H.

Karena pada asalnya yang dijadikan patokan dalam menetapkan masuknya bulan Ramadhan adalah melihat bulan sabit (hilal) atau menggenapkan Sya’ban tiga puluh hari dikala tidak bisa dilihat. Hal ini yang sesuai dengan petunjuk sunnah yang shahih. Dan para ulama’ juga telah sepakat (ijma’).

Telah diriwayatkan oleh Bukhori, 1909 dan Muslim, 1081 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallalahu’alaihi wa sallam bersabda:

( صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ ) وفي رواية (فإن غمِّي عليكم) .

“Berpuasalah kamu semua ketika melihatnya (bulan sabit) dan berbukalah (untuk hari raya) kamu semua ketika melihatnya (bulan sabit). Kalau kamu semua terhalangi (dari melihat bulan sabit), maka sempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh (hari). Dalam redaksi lain ‘Kalau kamu semua tertutupi (dari melihat bulan sabit)’.

Dan yang dijadikan patokan tidak hanya sekedar dengan memakai hisab (perhitungan) falak, karena asal dalam melihat adalah dengan mata telanjang, baik dengan memakai peralatan modern atau tidak.

Sementara terkait bagaimana (bisa) dilihat dengan mata telanjang sementara tidak (dapat) dilihat dengan teropong dan peralatan (modern)? Hal ini berpulang kepada perbedaan tempat melihat dan waktunya.

Yang penting adalah hukum tergantung terhadap penglihatan bulan sabit. Dikala telah ada seorang atau dua orang tsiqah (terpercaya) diantara umat Islam, maka harus dilaksanakan (berdasarkan) penglihatan ini.

Dan untuk mendapatkan penjelasan lebih lengkap silakan klik link berikut: Penentuan Awal & Akhir Ramadhan. [Redaksi]