Kebahagiaan rumah tangga adalah idaman setiap pemuda dan gadis yang memasuki usia pernikahan, tidak hanya itu, kebahagiaan rumah tangga juga merupakan impian laki-laki dan wanita yang berumah tangga, bahkan para orang tua untuk anak-anaknya di kemudian hari, tetapi ada satu yang sangat disayangkan yaitu neraca atau tolok ukur yang mereka gunakan dalam menimbang kebahagiaan secara umum masih berpijak kepada materi, asumsi bahwa yang berduit, yang berkantong tebal, yang berpekerjaan mapan, lebih-lebih jika berposisi basah, yang sudah punya rumah pribadi, yang sudah punya ini dan yang sudah punya itu dan seterusnya adalah yang bisa membahagiakan, yang lain tidak, masih sedemikian mengakar kuat dalam benak banyak orang, terutama para wanita berikut orang tua wanita.

Realitanya pada saat ada pemuda yang berhasrat menikahi anak perempuannya maka sederet pertanyaan mereka cecarkan kepada si peminat, atau dia sudah menanamkan dalam benak anak perempuannya kriteria-kriteria bagi calon suami pendamping hidup ideal, di mana ujung atau muara dari pertanyaan dan kriteria itu adalah duit alis fulus, walaupun dikemas dan disampul dengan bahasa, “Apa pekerjaannya? Kerja di mana? Statusnya pegawai tetap atau honorer? Berapa penghasilannya? Dia punya apa?” dan sederet bahasa lainnya yang kental dengan aroma uang di baliknya. Tidak heran jika jawaban dari pertanyaan ini kurang memuaskan, tentu dari sisi finansial, maka si peminat akan masuk dalam daftar nomor kesekian puluh, sebaliknya sebaliknya.

Penulis tidak memungkiri bahwa uang memiliki peran besar dalam kehidupan rumah tangga, syarat mampu menafkahi yang diletakkan oleh Rasulullah saw bagi para pemuda yang hendak menikah sudah cukup membuktikan bahwa rumah tidak tegak tanpa uang, akan tetapi ini tidak berarti uang harus melimpah atau mengalir seperti air dari kran, tidak perlu demikian hanya untuk sekedar menegakkan rumah tangga, karena dengan yang kurang bahkan jauh lebih kurang dari itu rumah tangga tetap bisa tegak. Penulis tidak memungkiri bahwa uang punya andil dalam batas-batas tertentu dalam memberikan kebahagiaan, akan tetapi ia bukan satu-satunya dan juga bukan nomor satu, kalau uang adalah satu-satunya dan nomor satu sebagai pemberi kebahagiaan, betapa tidak adilnya Allah yang membagi kebahagiaan sesuai dengan uang yang tidak dimiliki oleh semua orang, padahal sebenarnya dia juga berhak mendapatkan kebahagiaan. Belum lagi kenyataan yang membantah asumsi ini, karena kenyataan membuktikan bahwa tidak semua yang beruang berbahagia dan tidak semua yang berbahagia beruang.

Penulis sepakat dengan penyair ini,

وَلَسْتُ أَرَى السَعَادَةَ جَمْعَ مَالٍ
وَلَكِنَّ التَقِيَّ هُوَ السَّعِيدُ

Aku tidak melihat kebahagiaan dengan mengumpulkan harta
Akan tetapi orang yang bertakwa adalah orang yang berbahagia.

Agar para wanita atau para orang tua tidak melulu menomorwahidkan harta sebagai syarat bagi pendamping hidup dan untuk membuktikan bahwa tanpa uang mengucur pun hidup berbahagia tetap diraih, agar mereka juga menyadari bahwa dorongan Nabi saw agar memilih pendamping hidup yang memiliki agama bukan hanya tertuju kepada para pemuda, akan tetapi juga kepada para pemudi, maka berikut ini penulis tampilkan potret istri yang berbahagia bahkan kebahagiaannya tidak tertandingi justru pada saat mereka tidak meletakkan pertimbangan harta dalam skala utama.

Khadijah, radhiyallahu anha

Khadijah binti Khuwailid, seorang wanita bangsawan dan kaya raya, status janda, nasabnya terhormat, wanita paling cerdas di kalangan kaumnya, walaupun berstatus janda, para peminat untuk menikahinya tidak datang dari kalangan sembarangan, akan tetapi datang dari para kepala suku dan pemuka kabilah dengan kedudukan terhormat pula, akan tetapi semua itu Khadijah abaikan, tidak ada nyangkut dalam hatinya, dia melihat bahwa mereka yang datang melamarnya tidak menjanjikan sesuatu yang istimewa, sehingga dia perlu mempertimbangkan mereka.

Tetapi ada seorang pemuda, khadijah telah mendengar tentang kejujurannya, amanahnya dan akhlaknya yang luhur, dan setelah dia membuktikannya sendiri melalui kerja sama dagang yang dia jalin dengan pemuda ini, diperkuat oleh kesaksian pembantunya, Maisarah, yang menceritakan bagaimana budi pekerti pemuda ini yang mulia, pemikirannya yang tajam, cara berbicara yang jujur dan gaya hidup yang penuh dengan amanat, Maisarah ini menceritakan berdasarkan apa yang dia lihat pada saat menemani pemuda ini berangkat ke Syam dengan dagangan Khadijah.

Pada saat itulah Khadijah merasa menemukan apa yang dia idam-idamkan selama ini, bahwa para pembesar yang datang melamarnya bukan apa-apa di depan pemuda idamannya ini, padahal apalah arti pemuda ini dibanding mereka, dia hanya seorang pemuda yang dulunya adalah yatim piatu, tumbuh dalam asuhan kakeknya dan pamannya tanpa merasakan kasih sayang bapak, dan kasih sayang ibu hanya dia dapatkan dalam waktu yang tergolong singkat bagi seorang anak. Pemuda ini bukan pula tergolong pemuda kaya, atau ketururnan orang tua yang berharta, bukan. Bahkan setelah menikah dengannya Khadijah harus banyak berkorban demi mendukung dakwah suami, mendampinginya menghadapi fase-fase awal perjuangan suami yang sangat berat. Tetapi pemuda ini di mata Khadijah memiliki apa yang tidak mereka miliki dan itu jauh dan jauh mengungguli apa yang mereka miliki.

Pilihan telah dijatuhkan oleh Khadijah, tanpa maju-mundur, tanpa keraguan, akan tetapi dengan keyakinan, dengan kemantapan, dan ternyata pilihannya yang tidak dia dasarkan sama sekali kepada pertimbangan harta dan kedudukan, akan tetapi dia dasarkan kepada pertimbangan akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur, adalah pilihan paling tepat. Penulis memastikan bahwa tidak ada pilihan dalam berumah tangga di dunia ini yang lebih tepat daripada pilihan Khadijah kepada Muhammad dan sebaliknya.

Setelah menikah dengan pemuda ini, Khadijah mengenyam kebahagiaan sebagai istri yang penulis yakin tidak tertandingi oleh kebahagiaan istri mana pun, sebagai wanita pertama pendamping seorang rasul terbaik sekaligus wanita pertama yang beriman kepada ajakannya, jasa-jasanya kepada perjuangan suami di awal-awal fase dakwah tidak dimiliki oleh siapa pun, satu-satunya istri yang mampu melahirkan untuk suaminya pada saat istri-istri suaminya setelahnya tidak ada yang melahirkan untuknya, enam orang putra shalih dan shalihah, al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah dan Abdullah ath-Thayyib dan ath-Thahir.

Sebagai seorang istri yang mendapatkan curahan cinta kasih dari suami sepenuhnya tanpa terbagi dengan yang lain, karena semasa Khadijah hidup sang suami tidak menikah dengan istri kedua, benar, Muhammad tidak memadu Khadijah, Muhammad memberikan seluruhnya kepada Khadijah. Maka penulis bisa katakan, Muhammad menikah sebagai seorang pemuda atau sebagai seorang laki-laki adalah pada saat dia menikah dengan Khadijah, karena pada saat itu usia beliau adalah dua puluh lima tahun, lima belas tahun sebelum beliau diangkat menjadi nabi dan rasul, selebihnya pernikahan Muhammad merupakan tuntutan risalah.

Jangan heran kalau cinta Muhammad kepada Khadijah tidak pernah mati ditelan masa, penulis berani berkata, cinta Romeo dan Juliet yang oleh banyak orang dijadikan sebagai ikon cinta, tetapi bagi penulis ikon cinta haram, hanyalah seperti kuku hitam dengan kuku putih jika dibandingkan dengan cinta Muhammad kepada Khadijah dan cinta Khadijah kepada Muhammad, walaupun Khadijah telah bersemayam di alam kubur, Muhammad tetap selalu mengingatnya dan mengenangnya. Sampai-sampai istri Nabi saw yang mengetahui dirinya paling beliau cintai, Aisyah binti Abu Bakar berkata, “Aku tidak cemburu kepada istri-istri Nabi saw melebihi Khadijah, aku tidak melihatnya, akan tetapi Nabi saw sering menyebut-nyebut namanya, terkadang beliau menyembelih kambing lalu memotong-motongnya kemudian membagi-bagikannya kepada teman-teman Khadijah, sampai aku berkata, ‘Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah.’ Maka beliau bersabda, “Dia adalah.. dia adalah.. dan aku mempunyai anak darinya.”

Tunjukkan kepada penulis istri yang berbahagia seperti Khadijah yang menentukan pilihan terhadap suami tidak dengan pertimbangan harta. Bagaimana dengan Anda ukhti muslimah?
(Izzudin Karimi)