Salah satu faktor penunjang kebahagiaan dan ketenteraman rumah tangga adalah ketepatan memilih pasangan hidup, bagi laki-laki memilih istri yang tepat sedangkan bagi wanita memilih suami yang tepat. Menilai tepat tidaknya sebuah pilihan menuntut sebuah acuan dan pijakan, termasuk tepat tidaknya pilihan terhadap pasangan. Acuan dan pijakan ini mesti bersifat pasti dan general, tidak mengambang dan parsial. Jika acuan dalam memilih pasangan adalah ketampanan dan kecantikan maka perkara ini nisbi dan subyektif. Jika acuannya adalah derajat dan kedudukan maka perkara ini hanya sebatas pandangan manusia. Jika acuannya adalah harta dan kekayaan maka perkara ini bukan merupakan jaminan kebahagiaan. Jika tampang bukan, derajat bukan, harta pun bukan, lalu apa? Tidak ada yang tersisa selain ad-din wal khuluq(agama dan akhlak). Acuan inilah yang bersifat pasti, obyektif, jaminan dan general.

Kata-kata penulis bukan isapan jempol belaka, setidaknya pembuktian dari hal ini bisa pembaca simak pada pribadi-pribadi wanita ini.

Fatimah binti Muhammad saw

Putri termuda Rasulullah saw dan bagian dari beliau dari ibu yang mulia wanita shalihah Khadijah binti Khuwailid, bersuamikan Ali bin Abu Thalib yang menikahinya dalam rentang waktu antara perang Badar dan Uhud tepatnya di bulan Ramadhan tahun kedua hijriyah, seorang pahlawan mujahid sepupu Rasulullah, orang pertama yang masuk Islam dari kalangan pemuda, seorang laki-laki yang menyintai Allah dan rasulNya dan dicintai oleh Allah dan rasulNya, Allah memberi kemenangan melaluinya, Amirul Mukminin salah seorang khulafa` rasyidin yang dijamin surga oleh mertuanya. Inilah sebagian dari keutamaan suami pilihan Fatimah putri Rasulullah saw yang menjadi acuan baginya dalam memilihnya menjadi suaminya.

Ali bin Abu Thalib hidup sejak kecil dalam kafalah Rasulullah saw, beliau melakukan ini sebagai ungkapan terima kasih kepada bapaknya Abu Thalib yang juga paman beliau atas pengasuhannya terhadap beliau sejak kecil dan pembelaannya terhadap beliau ketika dewasa di samping untuk meringankan Abu Thalib yang berharta minim tetapi berkeluarga besar. Dengan latar belakang demikian maka bisa dikatakan bahwa Ali bukan laki-laki berharta pada saat dia menikah dengan Fatimah, demi membayar maskawin kepada istrinya dia menyerahkan baju perang yang merupakan harta satu-satunya sekaligus senjatanya dalam menerjuni berbagai macam peperangan.

Imam Abu Dawud dan an-Nasa`i meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Berikanlah sesuatu kepadanya.” –Maksud beliau sebagai mahar pernikahan- Ali menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi saw bertanya, “Lalu di mana baju perang huthamiyah milikmu.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Yang dimaksud baju perang huthamiyah adalah penisbatan kepada Huthamah bin Muharib, salah satu marga dalam Bani Abdul Qais pembuat baju perang. Ada yang berkata, baju perang disebut dengan huthamiyah karena ia tuhatthimu (mematahkan atau menghancurkan) pedang karena kekuatannya.

Selanjutnya bagaimana kehidupan pasangan suami istri ini? Imam al-Bukhari memaparkan dalam shahihnya sepenggal kisah dari kehidupan Ali dengan Fatimah. Silakan pembaca menilai dan menyimpulkan setelah membacanya.

Dari Ali bin Abu Thalib bahwa Fatimah mengadukan beratnya penggilingan kepada Rasulullah saw yang meninggalkan bekas padanya, pada saat itu Rasulullah saw sedang mendapatkan tawanan perang, Fatimah pergi kepada Rasulullah saw tetapi dia tidak bertemu dengan beliau, dia bertemu Aisyah, Fatimah mengatakan hajatnya kepada Aisyah, ketika Rasulullah saw pulang Aisyah mengabarkan kedatangan Fatimah kepada beliau. Ali berkata, “Nabi saw datang kepada kami sementara kami sedang bersiap-siap untuk tidur, aku hendak berdiri, tetapi beliau bersabda, “Tetaplah kalian berdua di tempat.” Lalu beliau duduk di antara kami, sampai aku merasakan dinginnya kedua kaki beliau di dadaku, beliau bersabda, “Maukah kalian berdua aku ajari apa yang lebih baik dari apa yang kalian berdua minta kepadaku, jika kalian berdua hendak tidur, bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertasbihlah tiga puluh tiga kali dan bertahmidlah tiga puluh tiga kali, ia lebih baik bagi kalian berdua daripada pembantu.”

Penulis menyimpulkan bahwa pilihan Fatimah menikah dengan Ali adalah tepat dengan mengacu kepada tiga perkara:

Pertama, kesetiaan yang diberikan oleh Ali kepada Fatimah, faktanya selama hidup Fatimah, Ali hanya beristrikan dia seorang.
Kedua, fadha`il (keutamaan-keutamaan) yang dimiliki Ali, istri shalihah mana yang tidak berbahagia dan berbangga dengan suami yang mempunyai fadha`il seperti yang dimiliki oleh Ali.
Ketiga, output (hasil) pernikahan dua orang mulia ini, empat anak shalih dan shalihah: Hasan, Husain, Zaenab dan Ummu Kultsum. Dua anak yang pertama adalah dua orang sayid para pemuda penduduk surga, dari keduanya lahir orang-orang mulia, para imam teladan.

Apakah setelah ini rumah tangga Fatimah dan Ali tidak layak dikatakan sebagai rumah tangga yang berbahagia? Jika demikian maka ia merupakan jawaban dengan merem.
(Izzudin Karimi)