الحمد لله الذي هدانا للإسلام وما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله
الحمد الله الذي يبسط الرزق لمن يشاء من عباده ويقدر، ويحيط علما بما يظهره العبد وما يضمر، الكريم الرحمن الذي يقبل التوبة عن عباده فيمحو الزلل ويغفر، نحمده سبحانه ونشكره، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له……………………………….
وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله بلغ الرساله وأدى الأمانة ونصح للأمة وجاهد في الله حق جهاده.

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ …

فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.

Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Shalat Jum’ah Rahimakumullah

Marilah kita selalu menumbuhkan dan menjaga rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas segala nikmat dan karunia yang telah Dia anugerahkan kepada kita, sehingga kita bisa menunaikan rangkaian ibadah shalat Jum’at dengan berjama’ah. Dan marilah kita juga senantiasa meningkatkan mutu keimanan dan kwalitas ketaqwaan kita, yaitu ketaqwaan yang dibangun atas dasar mengharap keridhaan Allah Ta’ala dan bukan keridhaan manusia, ketaqwaan yang dilandasi karena ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, dan ketaqwaan yang dibuktikan dengan amal perbuatan dengan cara menjalankan setiap perintah Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mengharap rahmat Allah Ta’ala dan berusaha semaksimal mungkin menjauhi dan meninggalkan setiap bentuk larangan Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam karena takut terhadap adzab dan siksa Allah Ta’ala.
Thalq bin Habib rahimahullah, seorang tabi’in pernah menuturkan:

التقوي: أن تعمل بطاعة الله على نور من الله، ترجو رحمة الله، وأن تترك معصية الله على نور من الله، تخاف عذاب الله.

Beliau menggambarkan bahwa, ”Taqwa adalah engkau mengamalkan ketaatan di atas cahaya dari Allah, engkau mengharapkan rahmat-Nya. Engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, di atas cahaya Allah, engkau takut terhadap siksa-Nya.”
Demikianlah ketaqwaan ini harus tumbuh dalam jiwa setiap muslim, sehingga akan lahir dan muncul pribadi-pribadi muslim yang istiqamah dan komitmen terhadap agamanya, serta dapat membentuk satu keluarga dan komunitas masyarakat yang Islamy, yaitu masyarakat yang terbina dan berjalan di atas manhaj dan jalan yang lurus dan benar.

Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Shalat Jum’ah Rahimakumullah

Terhadap golongan yang demikian Allah Ta’ala telah memberikan khabar gembira dan janji yang agung. Sebagaimana yang termaktub di dalam surat an-Nahl ayat 97, Allah Ta’ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya:”Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia). dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (di akhirat kelak)” (Q.S an-Nahl: 97).
Ibnu Abbas, Ali bin Abi Thalhah, Ikrimah dan Wahab bin Munabbih dan selainnya dari kalangan Shahabat radhiyallahu ‘anhum pernah menuturkan sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ketika memberikan penjelasan terhadap ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik di dunia adalah Allah akan memberikan rizki yang halal dan baik, timbulnya rasa qana’ah (perasaan cukup) dengan apa yang telah Allah anugerahkan dan karuniakan, serta mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan di dalamnya.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah memberikan penegasan sebagaimana yang termaktub dalam hadits riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن الله لايظلم مؤمنا حسنة يعطى بها في الدنيا، ويجزى بها في الآخرة. وأما الكافر فيطعم بحسنات ما عمل لله تعالى في الدنيا حتي إذا أفضى إلى الآخرة لم يكن له حسنة يجزى بها

”Sesungguhnya Allah tidak akan mendhalimi kebaikan seorang mukmin, dengan kebaikan itu ia akan diberi rizki di dunia dan diberi balasan diakhirat. Adapun orang kafir maka dengan kebaikan-kebaikan amal yang ia kerjakan karena Allah, ia diberi rizki di dunia, sehingga ketika ia memasuki akhirat ia tidak memiliki satu kebaikan yang harus dibalasnya karenanya.” (HR. Muslim).
Dengan demikian seorang mukmin yang senantiasa berada di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam dia akan mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat yang abadi. Sebaliknya bagi orang kafir dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka, meskipun di dunia juga Allah berikan kenikmatan, namun di akherat kelak ia akan mendapatkan kehidupan yang sempit. Sebagaimana firman-Nya,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

”Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. 20:124)

Demikianlah janji-janji Allah Ta’ala dan bentuk ancaman dan peringatan-Nya, agar kita selalu hati-hati dan mawas diri sehingga Allah tidak murka dan menimpahkan segala bentuk cobaan dan musibah karena disebabkan perbuatan kita sendiri.

Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Shalat Jum’ah Rahimakumullah

Berkaitan dengan permalahan rizki yang telah Allah Ta’ala tentukan dan anugerahkan kepada setiap hamba-Nya, maka ada beberapa hal yang harus menjadi keyakinan seorang muslim, diantaranya:
Manakala aqidah ahlus sunnah wal jama’ah telah menyakini bahwa diantara sifat fi’liyah yang dimiliki Allah Subhaanahu wa ta’ala dan menujukkan kesempurnaan rububiyah-Nya adalah Allah Ta’ala sebagai Dzat satu-satunya Pemberi Rizki kepada setiap makhluk, Dia sendiri yang telah menentukannya sesuai dengan kadar masing-masing sejak 50 ribu tahun sebelum bumi diciptakan, kemudian ketentuan ini ditulis oleh malaikat sejak manusia berada di dalam kandungan ibunya pada 40 hari ke 4, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh sebuah hadit riwayat Imam Muslim, maka termasuk konsekwensi iman terhadap qadha dan qadar Allah Ta’ala bagi setiap muslim dalam masalah ini adalah, dia harus menyakini bahwa segala bentuk rizki, baik yang datang dari langit maupun buminya, dalam bentuk harta dan anak, rumah, perkebunan, sehat dan tentram telah Allah tentukan bagi setiap hamba-Nya, bahkan kepada binatang melata pun telah Allah Ta’ala berikan bagiannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَامِن دَآبَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. 11:6)
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إن نفسا لن تموت حتي تستكمل رزقها ، فاتقوا الله وأجملوا في الطلب

“Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal dunia sampai ia sudah meraih seluruh bagian rizkinya, maka bertaqwalah kepada Allah dan lakukan cara yang baik dalam mencari rizki.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani)

Dengan demikian setiap kebaikan dan setiap bentuk dan kadar rizki setiap makhluk telah Allah tentukan, tidak ada seorang pun yang memiliki kewenangan untuk menolak dan menahannya, sebagaimana tak ada seorangpun yang dapat merubah ketentuan tersebut. Sebagaiman yang demikian telah merusak keyakinan sebagian kaum muslimin, sehingga mereka terjerumus dalam sekian bentuk kesyirikan, mereka mendatangi tukang ramal, mencari hari baik dan mujur, mengarahkan bangunan rumah-rumah mereka ke arah tertentu bahkan melakukan dan mengadakan ritual-ritual tertentu dengan keyakinan agar mendapatkan rizki yang banyak. Na’udzubillahi min dzalik.

Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Shalat Jum’ah Rahimakumullah

Di antara keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap muslim dalam masalah rizki juga, bahwa Allah Ta’ala telah membagi dan memberikan keutamaan sebagian orang terhadap lainnya berkaitan dengan rizki dan yang demikian tidak ada hubungannya sama sekali dengan nasab dan keturunan, warna kulit, kedudukan, kehormatan, kepandaian, bahkan keta’atan dan kemaksiatan seseorang. Namun Allah Ta’ala memberikan nikmatnya kepada seluruh makhluknya untuk suatu hikmah dan tujuan yang Allah ketahui dan kehendaki.
Sehingga dengan demikian ada sebagian di antara manusia yang mendapatkan harta yang cukup atau bahkan melimpah ruah dan sebagian yang lain justru sebaliknya, serba kekurangan dan menghadapi kesulitan hidup.
Dalam hal Allah Ta’ala telah menegaskan sebagaimana firman-Nya,

وَاللهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَآدِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَآءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللهِ يَجْحَدُونَ

”Dan Allah telah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.” (QS. 16:71)

Namun yang terjadi, betapa banyak orang yang telah Allah Ta’ala karuniakan rizki yang melimpah, kedudukan yang berada, keluarga terhormat dan terpandang di masyarakat, namun mereka tidak mendapatkan dan merasakan sedikitpun nilai suatu kebahagian hidup di dunia sama sekali apalagi di akhirat karena mereka telah jauh dari tuntunan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya betapa banyak orang yang berkehidupan serba kekurangan dan pas-pasan, namun mereka justru dapat merasakan kebahagiaan dengan keadaan yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala terhadapnya karena ketaqwaan, kesabaran, rasa tawakkal, dan qana’ah yang mereka miliki serta khusnudhan mereka terhadap Allah Ta’ala.
Mereka merasa telah mendapatkan kebaikan yang banyak. Dan ini semua merupakan sebab-sebab mereka mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Apa yang menjadi rahasia di balik ini semua ma’asyiral muslimin….?? Sesungguhnya rizki yang haqiqiy adalah hati yang terhiasi dengan keimanan dan perasaan cukup dengan apa yang telah AllahTa’alaanugerahkan. Sehingga seseorang merasa mendapat kebaikan dan merasakan kebahagiaan di dunia sebelum akhiratnya. Oleh karena itulah suatu ketika Umar bin Khathab pernah menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, dan beliau mengatakan kepadanya,

واقنع برزقك من الدنيا فإن الرحمن فضل بعض عباده على بعض بالرزق

“Merasa cukuplah dengan rizkimu di dunia, sesungguhnya Allah Ta’ala telah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki”

Maka manakala Allah Ta’ala menginginkan terhadap hamba-Nya satu kebaikan dan kebahagiaan, maka Allah Ta’ala akan memberikan keberkahan dan mencatat baginya kebaikan dalam menggunakan segala bentuk kenikmatan dan mendapatkan keberkahan pada hartanya, keberkahan dalam keluarganya, dan keberkahan dalam setiap keadaan dan urusannya. Kalau sudah demikian tidak ada seorangpun yang dapat menutup segala keberkahan tersebut. Sebaliknya jika Allah Ta’ala menghendaki sebaliknya maka tak akan ada seorangpun yang dapat memberikan keberkahan. Maka yang menjadi ukurannya adalah keberkahan dan inilah rizki yang hakiki. Bagaimana Allah Ta’ala dengan kekuasaan-Nya menjadikan yang sedikit menjadi banyak, dan yang kecil menjadi besar. Dan jika Allah Ta’ala menghendaki demikian, maka Allah Ta’ala akan membukakan dan memudahkan kepada seseorang mendapatkan sebab dan jalan pintu-pintu keberkahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَّايَفْتَحِ اللهُ لِلنَّاسِ مِن رَّحْمَةٍ فَلاَ مُمْسِكَ لَهَا وَمَايُمْسِكْ فَلاَ مُرْسِلَ لَهُ مِن بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu.Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 35: 2)

Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Shalat Jum’ah Rahimakumullah

Keyakinan berikutnya adalah, bahwa rizki yang telah Allah Ta’ala anugerahkan kepada kita seharusnya kita jadikan sebagai washilah dan sarana untuk mendekatkan diri dan menjaga ketaatan kita kepada Allah Ta’ala dan bukan justru sebaliknya.
Syaikhul Islam Taqiyuddin rahimahullah pernah menuturkan,

إنما خلق الله الخلق ليعبدوه، وإنما خلق الرزق لهم ليستعينوا على عبادته،

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mencipatakan manusia hanyalah agar mereka beribadah kepada-Nya, dan menciptkakan rikzi untuk mereka hanyalah agar dengannya dapat membantu mereka dalam beribadah kepada-Nya.”

Dengan demikian pada hakekatnya, apa yang telah Allah Ta’ala anugerahkan bukan untuk kesenangan dan permainan yang telah diharamkan oleh Allah Ta’ala Rasul-Nya sehingga dapat melalaikan akherat. Bagaimana mereka akan mempertanggungjawabkan ketika Allah Ta’ala meminta pertanggungjawaban harta tersebut di hari kiamat kelak..? wallahu musta’an.
Banyak kita temukan ayat-ayat al-Qur’an yang yang menunjukkan bahwa maksud terpenting Allah Ta’ala menganugerahkan rizki kepada setiap hamba-Nya adalah agar denga sarana rizki tersebut seorang hamba dapat beribadah kepada Allah Ta’ala.

Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Shalat Jum’ah Rahimakumullah

Adapun syubhat perasaan yang sering terlintas dalam benak mayoritas kaum Muslimin adalah bahwa Allah Ta’ala telah banyak memberikan kemudahan dan kelapangan rizki kepada orang-orang yang pada hakekatnya jauh dari tuntunan Allah dan Rasul-Nya, pelaku maksiat, bahkan orang-orang dari kalangan non muslim, dan sebaliknya kaum Muslimin justru dalam keadaan serba kekurangan, kelaparan, menderita dan lain sebagainya.
Maka sikap seorang muslim yang benar, dia harus meyakini bahwa ini semua adalah merupakan bentuk ujian dan cobaan dari Allah subhaanahu wa Ta’ala bagi orang-orang yang masih memiliki rasa keimanan kepada-Nya!! Dan sesungguhnya ketika Allah Ta’ala memberikan rizki kepada setiap hamba-Nya, maka yang demikian tidaklah pasti menunjukkan kecintaan Allah Ta’ala dan ridha kepadanya.
Allah Ta’ala telah tegaskan dalam berfirman:

وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلىَ عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Dan kepada orang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. 2:126)

Maka terkadang Allah Ta’ala memberikan rikzi kepada orang-orang yang jahat lebih banyak daripada orang-orang yang baik. Dan memberikan rizki kepada orang-orang kafir berlipat ganda dan keadaan kaum Muslimin pada mayoritasnya justru sebaliknya. Allah Ta’ala berfirman,

وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُم مِّن قَرْنٍ هُمْ أَحْسَنُ أَثَاثًا وَرِءْيًا

“Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedang mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap dipandang mata.” (QS. 19:74)

Marilah kita renungkan sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bersumber dari ‘Uqbah bin Amir , Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا، وهو قائم على معصية الله فاليخذر فإنما هو استدراج

“Seandainya kamu melihat Allah ta’ala menganugerahkan nikmat dunia kepada seorang hamba, sementara dia pelaku maksiat, maka ketahuilah bahwa yang demikian hanyalah istidraj dari Allah”
Kemudian beliau membaca ayat:

فَلَمَّا نَسُوا مَاذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَآأُوتُوا أَخَذْنَاهُم بَغْتَةً فَإِذَا هُم مُّبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. 6:44)

فَأَمَّا اْلإِنسَانُ إِذَا مَاابْتَلاَهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ {15} وَأَمَّآ إِذَا مَاابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata:”Rabbku telah memuliakanku”. (QS. 89:15) Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata:”Rabbku menghinakanku”. (QS. 89:16)

Akhirnya marilah kita selalu berhusnuzh-zhan, berprasangka baik kepada Allah Ta’ala dalam situasi dan kondisi apapun, ketika kita mendapatkan nikmat kita bersyukur, sebaliknya ketika kita mendapatkan musibah dan cobaan kita-pun bersabar untuk tujuan yang lebih agung yaitu kebahagiaan di akhirat.
Sahabat Jabir bin Abdullah pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tiga hari sebelum beliau wafat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau bersabda,

لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل (رواه مسلم)

“Janganlah salah seorang diantara kalian meninggal, melainkan dia dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah Azza wa Jalla,” (HR. Muslim)

أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم ولجميع المسلمين من كل ذنب فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

Khutbah yang kedua

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وبعد,

Ma’asyiral Muslimin Jama’ah Shalat Jum’ah Rahimakumullah

Kendatipun rizeki seseorang telah ditetapkan semenjak manusia berada di dalam perut ibunya. Namun tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rizki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua tentu mengandung hikmah sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,

وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَاتَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia usahakan. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34)

Dengan demikian seorang muslim disyari’atkan dan dituntut selayaknya tetap mencari sebab-sebab sehingga AllahTa’ala akan memberikan rizki kepadanya, dengan cara berusaha secara maksimal untuk mencari rizki yang halal dan baik, dan menjahui hal-hal yang haram, sehingga keberkahan ada di dalamnya dengan senantiasa menumbuhkan perasaan syukur kepada Allah Ta’ala, sabar serta tawakkal terhadap segala ketentuan Allah Ta’ala, menjaga ketaqwaan kepada-Nya, membiasakan bersedekah, menyambung silaturrahim, dan senantiasa berdo’a dan meminta hanya kepada Allah Ta’ala serta menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan perbuatan dosa, karena kemaksiatan dapat menyempitkan dan mengurangi rizki seseorang dan keberkahannya. Sebagaimana hal ini banyak termaktub di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi di dalam banyak tempat.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين

(Oleh: Ust. Khusnul Yaqin)