Beberapa Syubhat dan Jawabannya

Setelah mengetahui dalil-dalil yang cukup jelas tentang isbal, kita akan mengupas syubhat (pengkaburan dari hal yang sebenarnya) pada sebagian orang yang berpendapat bahwa isbal itu hanya disyariatkan bagi orang-orang yang sombong, mereka berdalih dengan alasan yang sangat lemah yang tidak mampu manghadang dalil yang telah tetap tentang pengharaman isbal, di antara dalih yang sering mereka gemborkan ialah hadits Ibnu Umar ketika Abu Bakar berkata : wahai Rosululloh, sungguh kainku yang sebelah melorot (karena kendor) dan aku selalu berusaha menjaganya dari isbal, Rosululloh menjawab : “engkau bukanlah orang yang berbuat sombong”, dalam riwayat yang lain, Abu Bakar berkata : sungguh kainku terkadang melorot, Nabi menjawab : “engkau bukanlah dari mereka”
Dalam riwayat lain juga beliau berkata : sungguh sebelah kainku melorot dan aku selalu berusaha menjaganya dari isbal, Nabi bersabda : “engkau bukanlah orang yang berbuat demikian”

Syubhat Pertama :

Mereka mengatakan : sesungguhnya sabda Rosul kepada Abu Bakar “sesungguhnya engkau bukanlah yang berbuat demikian”, menunjukkan bahwa larangan di sini hanya apabila diniatkan sombong, dan apabila tidak diniatkan sombong, maka tidak termasuk dalam ancaman hadits tersebut.

Jawaban :
1. Sebagaimana sabda Nabi kepada Hudzaifah ketika beliau memegang tulang betisnya beliau berkata : “ini tempat (batas) kain, apabila engkau keberatan maka turunkan (sampai sebatas mata kaki), apabila masih keberatan maka tidak ada hak bagi kain di bawah mata kaki”

Kalau kembali membaca hadits ini, apa kira-kira yang engkau pahami ?, apakah engkau memahami apabila tidak diniati sombong boleh bagi seseorang untuk memanjangkan kain sekehendaknya ?, ataukah engkau memahami bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk menjadikan tempat (batas) kain seperti yang telah beliau tentukan pada awalnya (setengah betis) dan kemudian boleh menurunkan sampai sebatas mata kaki, lalu beliaupun mengancam kepada orang yang memanjangkan lebih dari mata kaki dengan sabdanya : “tidak ada hak bagi kain untuk melebihi mata kaki”.

Dan ini sungguh sangat jelas, karena dengan ini orang tidak memungkinkan untuk mengadakan syubhat akan bolehnya melakukan isbal dengan alasan apabila tidak sombong, diperjelas dengan sabda Nabi kepada Ibnu Umar Rodhiallohu anhuma ketika kelihatan kainnya menjulur (isbal) : wahai Abdulloh, angkatlah kainmu ! kemudian beliau berkata : angkatlah lagi ! dan hadits-hadits lainnya, yang tidak ada keterangan tentang bolehnya isbal jika tidak sombong !.

2. Sesungguhnya Abu bakar tidak mengatakan : “aku jadikan kainku panjang” atau “aku memakai pakaian panjang ” tetapi beliau berkata : “inna ahada syiqqoy izaari” (sesungguhnya kainku yang sebelah), dalam riwayat lain “inna syiqqi izaari” (sesungguhnya sebelah kainku), dalam riwayat yang lain lagi “inna ahada jaanibay izaari” (sesungguhnya kainku yang sebelah). Lafadz “assyiqqi” (dengan syin kasroh) dalam lisanul arob : assyiqqi dan assyiqqoh (dengan kasroh) berarti : “setengan dari pada sesuatu apabila dibelah”, dari sini diketahui bahwa yang dimaksud oleh Abu Bakar ialah setengan dari kainnya, adapun riwayat “inna izaari yastarkhii” (sesungguhnya kainku melorot), lalu berkata “ahyaanan” (kadang-kadang) . dan hampir di semua riwayat menyebutkan kalimat “yastarkhii”, dan dapat dipahami bahwa beliau tidak melakukannya dengan kesengajaan, karena kain beliau melorot dengan sendirinya, sebagaimana beliau katakan : “illa an ata’aahada dzalika minhu” atau “liata’aahada dzalika minhu” (tetapi aku selalu berusaha menjaga kain itu dari isbal).

Berkata Abu toyyib : “ta’aahuduhu” berasal dari kalimat “at ta’aahud” yang berarti menjaga dan memelihara, maksudnya ialah sebelah kainnya yang melorot ketika digerakkan atau berjalan tanpa beliau sengaja, apabila beliau terjaga kain itu tidak akan melorot, karena setiap mau melorot beliau menariknya” . (Aunul ma’bud 11/141)
Keadaan yang Abu Bakar ceritakan kepada Rosululloh ini dijawab oleh beliau Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “engkau bukanlah dari mereka (yang berbuat sombong) atau “engkau bukanlah orang yang berbuat sombong”, ini adalah sebuah kebenaran yang jelas, dan hendaknya setiap muslim berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam menjaga kainnya yaitu dengan menariknya apabila melorot bukanlah dari kesombongan sedikitpun, akan tetapi bagaimana mungkin perbuatan Abu Bakar dikiaskan (baca : disamakan) dengan orang yang menyengaja memakai pakaian panjang (isbal), lalu pergi ke tukang jahit dan mensyaratkan agar panjangnya sampai menyentuh tanah ?.

Begitu pula sebenarnya Abu Bakar tidak merelakan dirinya membiarkan kainnya melorot, untuk itu setiap kain itu melorot beliau langsung tarik, dengan dalih perkataan beliau : “inni la ata’aahadu dzalika minhu” (aku selalu berusaha menjaga kain dari isbal). Beliau “selalu” menjaga dan berikrar pada dirinya untuk terus menjaga dari isbal, karena kalimat “ata’aahadu” (seperti yang baliau ucapkan) adalah fi’il mudhori’ (kata kerja untuk menunjukkan kejadian pada masa sekarang dan yang akan datang)

3. Sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong maka Alloh tidak akan melihatnya pada hari kiamat” lalu Abu Bakar berkata : sesungguhnya kainku yang sebelah melorot, Rosul menjawab dengan sabdanya “engkau bukanlah termasuk dari mereka”, dari sini dapat dipahami bahwa Rosululloh tidak mencela pemahaman Abu Bakar, beliau pun Shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan perkataannya kepada Abu Bakar saja, dengan ini berarti Abu Bakar telah berikrar bahwa isbal itu adalah kesombongan, beliaupun membersihkan diri dari hal itu karena melorot pada kainnya bukanlah sesuatu yang beliau kehendaki.

4. Sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar : “engkau bukanlah dari mereka (yang berbuat sombong), artinya engkau wahai Abu Bakar (memakai taa’ul khitob), jika engkau berbuat demikian dengan selalu menjaga kainmu dari isbal niscaya akan mengeluarkanmu dari golongan (orang-orang sombong), sedang mereka itu sebenarnya telah berbuat sombong, karena mereka tidak mengangkat kain mereka, bagaimana mereka akan mengangkat sedang mereka menyengaja untuk itu, kalaupun seandainya diangkat lalu tampaklah mata kaki mereka niscaya mereka akan malu dari manusia !.

Syubhat ke-dua :

Syubhat yang selalu mereka gembar-gemborkan dalam menanggapi hadits Nabi : “Dan jauhkanlah dirimu dari berbuat isbal, karena isbal itu termasuk dari kesombongan” , mereka mengatakan : kata (min : dari) menunjukkan tab’idh (sebagian), untuk itu ada isbal karena sombong dan juga ada isbal yang tidak karena sombong.

Jawaban :
Aku katakan : bahwa ini adalah pemahaman yang salah terhadap hadits, walau (min) memang untuk tab’idh (menunjukkan makna sebagian), tetapi ma’nanya bukan seperti yang mereka pahami, itu justru menunjukkan bahwa lafadz (al makhilah : sombong) bersifat umum masuk didalamnya isbal kain dan yang selainnya dan ini menjadi jelas tanpa diragukan bahwa isbal adalah kesombongan, dan pengulangan konteks hadits di atas ditujukan kepada orang yang sombong, karena sombong itu lebih besar perkaranya dari pada isbal dan hukumannya lebih berat seperti sabdanya : “Alloh tidak akan melihatnya” , dan “berteriak di dalam bumi sampai hari kiamat” ,dan yang selainnya, Nabi pun mengkabarkan bahwa kesombongan adalah haram begitu pula hal-hal yang dapat menyampaikan ke arah sombong, dan contoh yang paling jelas ialah isbal pada kain, sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengancam dari isbal dengan sabdanya : “dan jauhkanlah dirimu dari isbal” . sebenarnya dengan hadits ini dan hadits-hadits yang lain sudah cukup untuk membatalkan dalih mereka, karena orang yang meyakini dengan syubhat ini ia hanya mengambil sebagian hadits lalu memahaminya dengan salah, dan mereka pun meninggalkan sebagian hadits yang lain, tidakkah Rosululloh menyuruh ia dengan sabdanya : “angkatlah kainmu sampai setengah betis” ?, sedangkan qorinah yang membatasinya hanya sampai pada mata kaki, adakah qorinah yang menyatakan untuk melebihkan dari mata kaki ?, tidakkah beliau memberi dua pilihan antara setengah betis dan di atas mata kaki dan mengancam yang melebihi darinya ?, kalau seandainya yang di fahami dari hadits tersebut memang seperti apa yang mereka yakini yaitu boleh memanjangkan kain apabila tidak sombong, maka apa tujuan Nabi menyebutkan setengah betis dan sebatas mata kaki ?, kenapa manusia tidak berfikir sebentar dan berkata dalam hatinya “kalau memang diperbolehkan isbal bagi orang yang tidak sombong itu adalah dasar dalam berpakaian, mengapa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sampai menjelaskan dan berwasiat dengan segala wasiatnya dan mengancam dengan segala ancamannya, sampai-sampai beliau berlari mengejar seseorang dari Tsaqif ketika beliau melihatnya menjulurkan kainnya melebihi mata kaki ” ? . kemudian pada saat yang lain Nabi pun tidak menyebut kesombongan sebagai sebuah alasan dilarangnya isbal, padahal laki-laki tersebut sedang menutupi aib pada kakinya (seperti apa yang ia harapkan), tidakkah telah berlalu sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam : “kainnya seorang muslim itu sebatas setengah betis”. Telitilah dirimu !, kalau seandainya memanjangkan kain itu diperbolehkan dengan syarat tanpa kesombongan, lalu apa faedah dari hadits-hadits di atas ? apakah seseorang yang bodoh lebih-lebih yang berakal berprasangka bahwa apa yang dikatakan Nabi itu sia-sia belaka ?, lalu dimana firman Alloh : “Dan tidaklah Muhammad berkata deengan hawa nafsunya” (Surat An najm 3). Dan di mana sabda Nabi kepada Abdulloh ibnu Umar ketika beliau Shollallohu alaihi wa Sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke arah mulutnya, lalu beliau berkata : “tulislah !, demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, tidaklah keluar dari mulut ini kecuali haq (kebenaran)” (.HR. Abu Daud (3646), Ahmad 2/162, 192, Ad darimi dalam muqoddimahnya)

Lihat lagi hadits Ibnu Umar !, ketika beliau Shollallohu alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk mengangkat kain, dan menegaskan agar mengangkatkannya lag sampai setengah betis. Begitu pula hadits Hudzaifah seperti yang belum jauh kami sebutkan. Dan hadits-hadits lainnya yang menerangkan tentang keharusan seorang muslim dalam menyikapi pakaiannya, dimana hadits-hadits tersebut tidaklah mensyaratkan kesombongan.

Syubhat ke-Tiga :

Ada beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi keluar dalam keadaan isbal :
Hadits Pertama:
Artinya:
“dari Abu Bakaroh berkata : ketika terjadi gerhana matahari, kami sedang bersama Nabi Shollallohu alaihi wa Sallam, beliapun berdiri dengan kainnya yang terjulur karena terburu-buru sampai beliau datang ke masjid dan manusia sedang berkumpul disana lalu sholat dua roka’at”(.HR. Bukhori 2/526, 547, 10/255, Nasa’I 3/127, 146, 152)

Hadits Kedua:
Artinya:
“Dari An nu’man bin Basyir berkata : terjadi gerhana matahari di zaman Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam , lalu beliaupun keluar dengan kainnya yang terjulur karena takut, sampai beliau mendatangi masjid dan sholat bersama kami sampai hilang (gerhananya)” (. HR. Abu Daud (1193), An nasa’i 3/141, Ibnu Majah (1262) dan sanadnya shohih)

Hadist Ketiga:
Artinya:
“Dari Abu Said Al khudzriy berkata : aku keluar bersama Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam pada hari senin ke Quba’, sampai ketika kami melewati Bani Salim, Rosulullah berdiri di pintu rumah ‘Itban, beliaupun meneriakinya lalu ia keluar dengan kainnya yang terjulur, Nabipun berkata : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” . (HR.Muslim: 80, 343.)

Hadits Keempat:
Artinya:
“Dari ‘Imron bin Hushoin bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat ashar dan mengucapkan salam pada roka’at ke tiga, kemudian beliau masuk ke rumahnya, berdirilah seorang laki-laki bernama Al khorbaq, ia memakai kain dengan lengan yang terlalu panjang (isbal), lalu berkata : wahai Rosululloh, (ia pun menyebutkan apa yang dilakukan oleh Rosululloh), kemudian Rosululloh keluar dalam keadaan marah dengan sorban yang terjulur, setelah sampai kepada khalayak ramai, beliau berkata : “benarkah yang dikatakan orang tadi ?”( . HR.Muslim (101), (574), Abu Daud (1018), An nasa’i 3/26, Ibnu Majah (1215)

Jawaban :
Ya, memang telah disebutkan dalam riwayat bahwa beliau keluar dalam keadaan kain yang terjulur, tapi bukan berarti ini bisa dijadikan dalih bagi orang yang mengatakan bolehnya isbal apabila tidak disertai sombong, itu disebabkan karena hadits-hadits di atas menyebutkan tentang keadaan isbalnya kain dalam keadaan tertentu, seperti terburu-buru, takut atau marah, dan ini jelas menunjukkan ketergesaan serta tidak adanya maksud memakai dalam bentuk seperti itu, seseorang tersebut tergesa-gesa dan terjulur kainnya, karena ia tidak pelan-pelan dalam memakainya, dan makna seperti ini sungguh sangat jelas dalam hadits-hadits yang menyebutkan tentang menjulurnya kain dengan alasan-alasan tertentu saperti kasus di atas.

Berkata Imam Nawawi : (arti dari menjulurkan sorban dalam hadits diatas) ialah dikarenakan Rosululloh terlalu sibuk dengan urusan sholat, sehingga beliau keluar dengan tanpa menyadari bahwa sorbannya terjulur, dan itu karena beliau tidak pelan-pelan ketika memakainya. (Dalam Ta’liq shohih Muslim hal. 405, 5/70 dengan syarah Imam Nawawi)

Begitu pula sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam tentang ‘Itban, ketika ia keluar dengan kain yang terjulur : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” yaitu, (kami telah membuatnya tergesa-gesa ketika ia baru saja menyelesaikan keperluannya dengan istrinya, dan belum memungkinkan untuk memakai pakaiannya), yaitu (kalau seandainya saja kami pelan-pelan dan tidak membuatnya tergesa, maka ia tidak akan keluar dengan kainnya yang terjulur), dan kalaupun perkaranya tidak seperti itu, kenapa Rosululloh sampai berkata : “kami telah membuatnya tergesa-gesa” ?, serta perbuatan beliau ketika sorbannya terjulur karena terburu-buru, hal seperti ini telah keluar dari kategori isbal, karena memang ada perbedaan besar antara orang yang menyengaja mamakainya isbal, dengan orang yang sebenarnya kainnya pendek tetapi terjulur karena suatu sebab, berkata Ibnu Hajar : “dalam hadits ini kalau seandainya isbal itu disebabkan oleh ketergesaan, maka tidak masuk dalam kategori larangan, seolah-olah larangan itu ditujukan kepada yang sombong (ketika memakainya), sebagaimana (hadits di atas) tidak bisa dijadikan dalih bagi orang yang menganggap bahwa larangan tersebut untuk selain yang meniatkan sombong, sehingga ia membolehkan (bagi dirinya) untuk memakai pakaian yang panjangnya menjulur sampai ke tanah” ( Fathul baari 10/255)

Sebelum selesai aku menasehatkan kepada saudaraku sesama muslim, hendaknya menjadikan para Salaf sebagai qudwah dan menjadikan Nabi sebagai uswah, seperti firman Alloh Subhanahu wa ta’ala :

“ Sungguh terdapat pada diri Rosululloh bagi kalian uswatun hasanah, bagi orang-orang yang mengharap Alloh dan hari akhir dan banyak berdzikir kepada Allah “( QS. Al ahzab :21)

orang yang selalu berharap dari Alloh untuk memperoleh rizki yang baik di dunia, dan tempat yang baik di akhirat, maka seharusnya ia berqudwah dengan Rosululloh Shollallahu alaihi wa Sallam dalam perkara kecil lebih-lebih yang besar sebisa mungkin, karena beliau tidak pernah memandang remeh perkara ini, bahkan beliau menganggapnya besar dan penting,untuk itu kita dapati beliau Shollallohu alaihi wa Sallam mengejar seorang yang kainnya terlihat terjulur panjang, beliaupun menaruh tangannya di kening beliau tawadhu’ kepada Alloh ketika melihat seseorang yang kainnya panjang terjulur, dan begitulah beliau Shollallohu alaihi wa Sallam menganggap perkara ini sebagai dosa besar, begitupun sahabat-sahabat beliau Radhiallohu ‘anhum mereka tidak memakai kain kecuali di atas mata kaki, dan mayoritas mereka memakainya sebatas setengah betis, sebagai bukti ketaatan mereka kepada Rosululloh dan mempraktekkan perintahnya, tidak seperti halnya yang diyakini oleh “sebagian orang yang tidak tahu”, mereka mengatakan bahwa kain pada waktu itu sangat sedikit dan para sahabat kebanyakan miskin tidak mempunyai harta untuk membeli pakaian mereka, dan mungkin ungkapan-ungkapan lain yang mereka lontarkan, kalau seandainya mereka mau meneliti kembali teks-teks yang kami telah sebutkan sebagiannya niscaya mereka akan mengetahui bahwa mereka telah mengatakan dengan sembarangan pada apa-apa yang mereka tidak tahu, dan mereka mengatakan dengan tanpa ilmu padahal sebenarnya tidak seperti apa yang mereka sangka, bahkan mereka para sahabat lebih memilih untuk ittiba’ kepada Nabi sebagaimana itu sudah menjadi keinginan hati mereka.

Dengan kemudahan dari Alloh inilah yang dapat saya rangkum dan kumpulkan tentang permasalahan isbal, seandainya ada kebenaran ,maka itu datang dari Alloh dan apabila ada kesalahan itu datang dari diri saya, dan saya memohon kepada Alloh agar menjadikannya bermanfaat.

Maha suci bagi Alloh dan sekalian pujian hanya untuk-Nya, aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq selain Engkau, aku memohon ampum dan bertaubat padaMu, dan akhir dari do’a kami Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin.

[Sumber: Dinukil dari Kitab berbahasa Arab]