Ensiklopedia Dzikir dan Do’a

Dalam kajian kita kali ini, Insya Allah akan mengetengahkan buku yang di tulis oleh al-Imam an-Nawawi yang berjudul ‘al-Adzkar an-Nawawiyah’ (baca: ‘ensiklopedia dzikir dan do’a al-Imam an-Nawawi’, terjemahan Pustaka Sahifa).

Muqaddimah

Tidak ada kebaikan kecuali dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam di antaranya adalah dalam berdo’a dan berdzikir yang merupakan inti ibadah (mukhul ibadah) kepada Allah Ta’ala al-Ma’bud bil Haq. Karena beliaulah seorang hamba yang lebih fashih dan faham dengan bahasa dan ungkapan apakah yang layak nan indah untuk dilayangkan dan dipanjatkan kepada Sang ‘Mujiibud du’a’. Dan beliaulah yang lebih mengerti etika dan metode terbaik untuk dipersembahkan kepada Sang ‘Mujiibus Sa’illin’. Sehingga doa dan dzikir kita layak diterima dan dikabulkan, serta betul-betul mendapatkan keutamaan-keutamaannya.

Pada kajian ini, bukan saja akan dimuat doa’ dan dzikir yang terdapat di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahihah, tetapi akan dimuat dan dijelaskan pula doa dan dzikir yang bersumber dari hadits-hadits dhaif (lemah) dan lain sebagainya yang sebagiannya populer dan diamalkan oleh masyarakat muslim. Hal ini dilakukan semata-semata untuk wawasan dan informasi bagi mereka yang belum mengetahui dari sumber-sumber manakah doa dan dzikir yang mereka amalkan selama ini. Dan seperti apa yang tertulis dalam kalimat pertama dari tulisan ini tidak ada kebaikan dan kesempurnaa kecuali dengan mengikuti sunnah dan petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, sudah barang tentu kaum muslimin yang cerdas akan memilih dan mengambil doa dan dzikir yang jelas ada tuntunannya (Red: bersumber dari al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih), serta telah diamalkan oleh Nabinya yang mulia, suri tauladan umat manusia.

Adapun do’a dan dzikir yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhain (Imam al-bukhari dan Imam Muslim), maka menurut hemat kami, tidak perlu lagi dikomentari (ditakhrij), karena telah disepakati keshahihannya oleh jumhur ‘ulama.
Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat kepada kita semua dengan kajian ini. Amin..

Bab Dzikir-dzikir yang Disyariatkan pada Dua Hari Raya

Pendahuluan

Tidak lama lagi kaum muslimin akan menghadapi hari yang sangat berbahagia dan sekaligus hari yang sangat menyedihkan. Bahagia, karena pada hari ini, mereka memperingati hari raya besar umat Islam ‘Idul Fithri.

Berkumpul dan saling mengunjungi sesama kerabat kerap dilakukan pada hari ini, suasana indah yang tidak mereka temukan pada hari lainnya. Bahkan hari ini adalah moment yang sangat tepat, ajang mahal dan sangat berharga untuk menyambung silaturrahim dengan handai taulan yang selama ini sempat terputus, baik dalam kurun waktu yang relatif singkat ataupun lama.

Terlebih khusus, bagi mereka yang hidup di negri rantau, tentu kesempatan ini tak akan mereka sia-siakan untuk pulang kampung, melepas kerinduan dengan orang-orang tercinta yang telah lama ditinggalkan, sekalipun harus membayarnya dengan harga yang mahal. Misalnya harus berebutan dan berdesakkan di dalam sebuah angkutan yang membawa mereka ke tempat tujuan, harus sabar dengan macetnya lalu lintas yang dilalui hingga sampai ke tanah kelahiran dan masih banyak lagi tantangan yang mereka hadapi saat dalam perjalanan pulang, sama sekali tidak membuat semangat mereka menjadi surut bahkan sebagian mereka tampak sangat menikmati perjalanan tersebut.

Sedih, karena hari ini pertanda berakhirnya bulan ramadhan yang penuh berkah dan limpahan pahala dari Allah Ta’ala yang tidak kita dapatkan pada bulan-bulan yang lainnya. Semoga Allah Ta’ala terus mempertemukan kita dengannya pada masa yang akan datang.

Pembahasan
Pada malam hari raya ini, banyak para ulama menganjurkan kaum muslimin untuk menghidupkannya dengan dzikir, shalat dan ketaatan-ketaatan lainnya, berdasarkan pada hadits yang mensinyalir hal itu,

من أحيا ليلتي العيد, لم يمت قلبه يوم تموت القلوب.

“Barangsiapa yang menghidupkan dua malam ‘Id, maka hatinya tidak mati pada saat hati (orang-orang) mati.”
Diriwayatkan juga,

من قام ليلتي العيدين لله محتسبا, لم يمت قلبه حين تموت القلوب.

“Barangsiapa yang beribadah pada dua malam Idul Fitri dan Idul Adha karena Allah dan mengharap pahala, maka hatinya tidak mati ketika hati-hati(orang-orang) mati.”
Demikian disebutkan dalam riwayat asy-Syafi’I dan Ibnu Majah, namun hadits ini dhaif sekali. Hadits ini diriwayatkan dari riwayat Abu Umamah secara marfu’ dan mauquf , dan keduanya dhaif.

Penjelasan Tentang riwayat hadits
Hadits ini diriwayatkan dari lima sahabat:

  • Apa yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, no. 159: dari jalur Jarir bin Abdul Hamid, dari Umar bin Harun, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma’dan, dari Ubadah bin ash-Shamit dengan hadits tersebut secara marfu’. Al-Haitsami 2/201 mengatakan, “Di dalamnya terdapat Umar bain Harun al-Balkhi, dan secara umum ia lemah. Ibnu Mahdi dan selainnya memujinya, tapi mayoritas melemahkannya. Syaikh Amir bin Ali Yasin (pentahqiq kitab yang menjadi tema kajian ini ‘al-Adzkar an-Nawawiyah’) berkata, “Aku katakan, ia matruk dan dituduh dusta oleh mayoritas, termasuk Ibnu al-Mahdi sendiri. Kemudian riwayat khalid dari Ubadah ini munqathi”. Kemudian dalam hadits terdapat idhthirab (keraguan).
  • Apa yang diriwayatkan oleh al-Ashbahani dalam at-Targhib, no.336: dari jalur al-Balkhi, dari Tsaur, dari Khalid, dari Abu Umamah dengan hadits tersebut secara marfu’. Ini lemah juga, sebagaimana telah disebutkan tentang keadaan al-Balkhi. Benar, Ibnu Majah meriwayatkan dalam Kitab ash-Shiyam, Bab Man Qama Fi Lailatilatai al-Id, 1/567, no. 1782: dari jalur Baqiyyah bin al-Walid, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Umamah dengan hadits tersebut secara marfu’. Tetapi ini lemah juga. Al-Bushri mengatakan, “Dhaif, karena tadlis yang dilakukan Baqiyyah. “Al-Albani mengemukakan dalam adh-Dhaifah, no. 521 bahwa Baqiyyah menerimanya dari Umar bin Harun sendiri, kemudian ia melakukan tadlis bahkan tadlis taswiyah. Ini jelas sekali. Apalagi ath-Thabrani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Tsaur kecuali Umar bin Harun.” Ada jalur ketiga dari Ibnu Syahin 4/235-Futuhat, tetapai al-Asqalani mengatakan, “Dalam sanadnya ada dhaif dan majhul.”
  • Apa yang diriwayatkan oleh asy-Syafi’I dalam al-Um 1/231; al-Baihaqi 3/319; dari jalur Ibrahim bin Muhammad, ia mengatakan: Tsaur bin Yazid menuturkan dari Khalid bin Ma’dan, dari Abu Darda dengan hadits tersebut secara marfu’. Ini ada banyak kegelapan: Ibrahim ini matruk dan tertuduh dusta, dan tampaknya ada keterputusan antara dia dengan Tsaur. Kemudian keterputusan lainnya antara khalid dengan Abu Darda’, kemudian ini adalah mauquf.
  • Apa yang diriwayatkan oleh al-Hasan bin Sufyan, Abdan al-Marwazi, Ibnu Syahin dan Ali bin Said dalam ash-Shahabah 3/290-al-Ishabah dari jalur Marwan bin Salim, dari Ibnu Kurdus, dari ayahnya secara marfu’. Adz-Dzahabi berkata, “I ni munkar lagi mursal.” Al-Asqalani mengatakan, “Marwan ini matruk dan tertuduh dusta..”
  • Diriwayatkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam Juz’ min al-Amali, no. 552- adh-Dhaifah dan ash-Bahani dalam at-Targhib, no. 367: dari jalur Abdurrahim bin Zaid al-Ammi, dari ayahnya, dari Wahb bin Munabbih, dari Mu’adz yang senada dengannya secara marfu’. Al-Asqalani berkata, “Gharib dan dalam sanadnya ada perawi yang matruk.” Syaikh Amir bin Ali Yasin berkata, “ Yaitu al-Ammi ini.

Secara umum, keadaan matan ini yang terbaik ialah dhaif sekali, karena sanadnya tidak sunyi dari tuduhan yang parah. Oleh karena itu para ulama melemahkan riwayat-riwayat ini, seperti al-Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi, Ibnu al-Qayyim, al-Haitsami, al-Iraqi, al-Asqalani, al-Manawi dan al-Albani.

(dikutip dari buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam an-Nawawi”, tentang Bab Dzikir-dzikir yang Disyariatkan pada Dua Hari Raya, Penerbit: Pustaka Sahifa. Dengan pengurangan dan penambahan. Oleh: Abu Nabiel)

(bersambung)