Di antara prinsip aliran ini adalah berpijak kepada akal secara total dalam menetapkan akidah-akidah aliran dan dalam mengetahui hakikat segala sesuatu, menurut aliran ini baik dan buruknya sesuatu adalah berdasarkan akal. Aliran ini berprinsip demikian karena ia pengagum filsafat Yunani dan mantiq Aristo yang berkembang pada masa itu.

Prinsip ini sepintas bagus, orang cenderung menerima jika diajak kepada akal, maka tidak heran jika pemikiran aliran ini mendapat respon baik dari kalangan yang –katanya- menomorsatukan akal, dari kalangan akademisi dan cendekiawan, dengan slogan dan semboyan ‘logika atau logis’.

Padahal jika dicermati dan diteliti dengan seksama maka akan terlihat dan terungkap dengan jelas suatu sifat akal yang tidak dipungkiri oleh orang yang berakal karena ia merupakan sebuah aksioma yang tidak diperdebatkan oleh dua orang, yaitu bahwa akal bersifat relatif dan terbatas. Tidak seorang pun –kecuali orang yang membuang akalnya- yang mengakui kebenaran absolut akal, bukti paling kuat adalah bahwa satu masalah bisa ditangkap oleh akal A dan tidak oleh akal B, satu masalah bisa diterima oleh akal A dan tidak diterima oleh akal B, belum lagi faktor-faktor luar dan latar belakang yang sangat berpengaruh dalam membentuk sebuah akal.

Dari sini menomorsatukan akal dan berpijak kepadanya secara total dalam mengetahui segala perkara, di mana apa yang ditetapkan akal harus ditetapkan dan apa yang tidak maka tidak, apa yang dikatakan akal baik adalah baik, apa yang dikatakan akal buruk adalah buruk merupakan sikap yang melampaui batasan akal itu sendiri, bagaimana akal dinomorwahidkan sementara akal sendiri mengakui bahwa dirinya terbatas dan relatif?

Kekeliruan Mu’tazilah adalah mereka berinteraksi dengan nash-nash dua wahyu, al-Qur`an dan sunnah, dengan berpijak kepada akal, apa yang sejalan –menurut mereka- dengan akal, maka mereka menerimanya dan apa yang tidak maka mereka tidak menerimanya.
Ketika penulis menyatakan kekeliruan Mu’tazilah yang memandang dua nash wahyu dengan akal murni, maka tidak tertutup kemungkinan ada yang mengira bahwa Islam sebagai agama yang benar berlawanan dengan akal dan berusaha memojokkannya. Perkiraan ini keliru, karena Islam tidak demikian, Islam justru mengajak kaum muslimin untuk menggunakan akalnya demi mengungkap rahasia penciptaan langit dan bumi, berapa banyak ayat yang berkata, La’allakum ta’qilun, la’allakum tatafakkarun dan ayat-ayat senada lainnya yang menyerukan kepada penggunaan akal, hanya saja ini tidak berarti bahwa akal adalah segalanya, tidak seperti itu, akan tetapi yang benar adalah letakkan akal pada tempat di mana ia bisa menerima akal dengan baik.

Kekeliruan Mu’tazilah adalah penggunaan mereka terhadap akal bukan pada tempatnya, pada perkara-perkara ghaib yang tidak terindera yang tidak mungkin diserahkan kepada mahkamah akal secara shahih, sebagaimana mereka membangun beberapa perkara di atas dasar mukadimah-mukadimah tertentu, sehingga hasil yang dipetik tidak shahih secara mutlak, dan ia merupakan perkara yang tidak diterima secara mutlak, bahkan seandainya cara dan metode mereka sendiri diterapkan sekalipun, hal ini seperti penafian mereka terhadap sifat-sifat Allah dengan berpijak kepada firman Allah, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”(Asy-Syura: 11).

Para ulama telah meletakkan rampu-rambu penggunaan akal, pertama,hendaknya tidak bertentangan dengan nash-nash yang shahih, jika bertentangan maka akal harus minggir karena ia adalah akal yang rusak. Kedua, hendaknya akal tidak dipaksakan masuk ke dalam bidang perkara ghaib yang mana sumber satu-satunya hanyalah wahyu yang shahih. Ketiga, hendaknya akal tidak didahulukan di atas nash wahyu yang shahih dalam perkara-perkara tauqifiyah.

Islam menghormati akal dan mendorong kepada berpikir dan merenung, tetapi hal ini tidak berarti akal harus dan boleh didahulukan di atas nash-nash syar’i, karena kita mengetahui dengan akal kita bahwa akal itu sendiri berubah-ubah, berbeda-beda dan terpengaruh oleh banyak pengaruh yang membuatnya tidak layak untuk menjadi hakam yang mutlak dalam segala perkara.
Akal bukan satu-satunya sumber pengetahuan, karena itu ia tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya pijakan dalam mengukur segala perkara, di samping akal ada indera yang menangkap wujud sesuai dengan fungsinya, ada pula wahyu, al-Qur`an dan sunnah, di mana cakupannya adalah perkara-perkara ghaib yang tidak ditangkap oleh akal dan indera, untuk yang terakhir ini hanya wahyu yang boleh berbicara, tidak indera dan tidak pula akal. Wallahu a’lam.