Para ulama berbeda pendapat tentang kadar menghidupkan malam. Namun yang paling jelas, bahwa itu hanyalah diperoleh dengan menghidupkan sebagian besar malam. Ada juga yang berpendapat, hal itu diperoleh dengan sesaat. Ini lebih mendekati kebenaran daripada yang pertama, insya Allah, karena menghidupkan malam tidak harus meng-hidupkannya semalam suntuk. Tetapi artinya ialah tidak menjadikannya mati dan sunyi dari ibadah. Ini terealisir dengan sesaat, bahkan dengan melaksanakan qiyam secara mutlak. Allah subhanahuwata’ala telah memerintahkan kepada nabiNya untuk melakukan qiyam lewat FirmanNya,

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلاَ قَلِيْلاً
نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً أَوْ زِدْ عَلَيْهِ

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah untuk shalat di malam hari, kecuali sedikit daripadanya, yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu.” (Al-Muzzammil: 1-4).

Kurang dari separuhnya disebut qiyam. Al-Asqalani menjelaskan, dari himpunan riwayat-riwayat tentang qiyam Nabi shallallahu’alaihi wasallam, bahwa beliau melakukan qiyam sekitar 1/3 malam. Demikian pula Dawud ‘alaihi salam, orang yang paling ahli ibadah, dan shalatnya adalah shalat yang paling disukai oleh Allah, beliau melakukan qiyam 1/3 malam. Jika qiyam Muhammad dan Dawud bukan disebut menghidupkan malam, maka di dunia ini tidak ada yang menghidupkan malam tersebut. Wallahu a’lam.

Pasal
Dianjurkan bertakbir pada dua malam Id.

Pada Idul Fitri, takbir dianjurkan sejak terbenamnya matahari hingga Imam memulai shalat Id. Dan tidak disyariatkan takbir di hari-hari lainnya sebagaimana yang umum dilakukan di banyak masjid kaum muslimin pada hari ini.
Takbir dikumandangkan dengan berjalan, duduk dan berbaring, di jalanan, di masjid, dan di atas tempat tidurnya.
Adapun Idul Adha, maka takbir dilakukan sejak setelah shalat Shubuh pada hari Arafah hingga shalat Ashar pada akhir Hari-hari Tasyriq. Takbir dikumandangkan seusai shalat Ashar kemudian berhenti.
Inilah yang paling shahih untuk diamalkan. Mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat yang masyhur dalam madzhab kami (Imam Nawawi) dan selain kami. Tetapi yang benar ialah apa yang kami sebutkan. Banyak hadits-hadits mengenai hal itu yang kami riwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi, dan kami menjelaskan semua itu dari aspek hadits dan nukilan pendapat dalam Syarh al-Muhadzdzab. Aku juga menyebutkan semua cabang yang bertalian dengannya. Di sini, aku hanya menyinggung mengenai hal itu secara ringkas.
Menurut para sahabat kami, lafazh takbir ialah mengucapkan,

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ
.

“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar.”

Demikian tiga kali berturut-turut, dan ia mengulang-ulanginya sekehendaknya. Menurut asy-Syafi’i dan para sahabatnya, jika ia menambah dengan mengucapkan,

اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لله كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَ لَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
.

“Allah Mahabesar, kebesarannya tiada yang menandinginya. Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya. Mahasuci Allah di pagi dan petang hari. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Kami tidak menyembah kecuali Dia, dengan mengikhlaskan ketaatan hanya kepadaNya walaupun kaum kafir membencinya. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, yang membenarkan janjiNya, menolong hambaNya, dan mengalahkan pasukan bersekutu. Maha Esa Dia. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Mahabesar,” maka ini bagus.

Segolongan dari sahabat kami mengatakan, tidak apa-apa mengucapkan sebagaimana yang biasa dilantunkan khalayak, yaitu,

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلله الْحَمْدُ
.

“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan hanya bagi Allah-lah segala pujian.” (HR. Al-Bayhaqi, dishahihkan oleh al-Albani)

Atau dengan mengucapkan lafadz takbir seperti ini (tasyfi’takbir),

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلله الْحَمْدُ
.

“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan hanya bagi Allah-lah segala pujian.” (HR. Abu Syaibah, dishahihkan oleh al-Albani)

Dan dua hadits yang terakhir ini inilah yang lebih rajih dan lebih kuat karena kedua sanad hadits ini shahih. Zhahir dari apa yang diriwayatkan dari para sahabat bahwa pada perkara ini terdapat keleluasaan. Seseorang boleh melantunkan yang ini dan selainnya dari apa yang telah disinggung dan sejenisnya. Wallahu a’lam.

Pasal
Ketahuilah bahwa takbir itu disyariatkan seusai tiap-tiap shalat pada hari-hari takbir, baik shalat tersebut shalat fardhu, shalat sunnah maupun shalat jenazah, baik shalat fardhu tersebut dilaksanakan tepat pada waktunya, mengqadha maupun karena dinadzarkan. Sebagian masalah ini diperselisihkan, dan bukan di sini ruang pembahasannya. Tetapi yang shahih ialah apa yang telah kami sebutkan, dan itulah yang difatwakan serta diamalkan.
Seandainya imam bertakbir yang berbeda dengan keyakinan makmum, yaitu imam memandang bertakbir pada hari Arafah dan Hari-hari Tasyriq, sementara makmum tidak memandang demikian, atau sebaliknya; apakah imam harus diikuti atau makmum melak-sanakan keyakinan dirinya? Mengenai hal ini ada dua tinjauan dari para sahabat kami: dan yang paling shahih ialah ia melaksanakan sesuai keyakinan dirinya, karena kewajiban imam untuk diikuti terputus dengan salam dari shalat. Berbeda jika imam bertakbir dalam shalat Id dengan takbir tambahan yang tidak selaras dengan pandangan makmum, maka ia harus mengikutinya demi karena imam harus diikuti.

Pasal
Jumlah Takbir dalam shalat

Disunnahkan bertakbir dalam shalat Id sebelum membaca al-Fatihah dengan takbir tambahan. Bertakbir pada rakaat pertama sebanyak tujuh kali takbir selain takbiratul ihram, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali takbir selain takbir bangkit dari sujud.

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبع تكبيرات وفي الثانية خمسا. (رواه أبو داوود)

“Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bertakbir (mengucapkan takbir) pada waktu Idul fitri dan Idul adhha sebanyak tujuh kali pada raka’at pertama. Dan lima kali pada rakaat kedua”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh al-Albani)

Takbir tambahan pada rakaat pertama dilakukan setelah membaca doa iftitah dan sebelum membaca ta’awwudz. Sedangkan pada rakaat kedua sebelum membaca ta’awwudz.

ucapan yang dianjurkan di antara tiap-tiap dua takbir
Dianjurkan mengucapkan di antara tiap-tiap dua takbir,

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لله وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ.

“Mahasuci Allah, segala puji bagiNya, tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Mahabesar.”

Demikian menurut mayoritas sahabat kami. Sebagian sahabat kami mengucapkan,

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.

“Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagiNya. Dia memiliki kerajaan dan memiliki pujian. Di tanganNya tergenggam kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Abu Nashr bin ash-Shabbagh dan selainnya dari kalangan sahabat kami mengatakan, “Jika mengucapkan apa yang biasa diucapkan manusia, maka itu bagus, yaitu,

اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لله كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً.

“Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, dan Mahasuci Allah, baik di kala pagi maupun petang.”

Semua ini leluasa, dan tiada halangan untuk membaca salah satu darinya.
Seandainya ia meninggalkan semua dzikir ini serta meninggalkan tujuh dan lima takbir tambahan, maka shalatnya sah. Ia tidak perlu sujud sahwi, tetapi ia luput mendapatkan keutamaan. Seandainya ia lupa akan takbir-takbir tersebut hingga memulai bacaan, maka ia tidak perlu kembali kepada takbir, menurut pendapat yang shahih. Asy-Syafi’i memiliki pendapat yang lemah, yaitu ia kembali kepada takbir (dengan mengurungkan bacaan).
Adapun dua khutbah dalam shalat Id (pendapat dengan dua khutbah adalah dengan jalan mengqiyaskan dengan khutbah jum’at), maka dianjurkan membuka khutbah pertama dengan membaca sembilan takbir dan pada khutbah kedua dengan tujuh takbir. Tetapi pendapat ini adalah lemah. Sedangkan yang disunnahkan ialah dengan satu khutbah dan membuka khutbah dengan pujian sebagaimana dalam semua khutbah. Ibnu al-Qayyim berkata dalam Zad al-Ma’ad 1/447, “Tidak ada riwayat yang terpelihara secara benar dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam dalam satu hadits pun bahwa beliau memulai dua khutbah Id dengan takbir.”
Adapun bacaan dalam shalat Id, maka telah dijelaskan apa yang dianjurkan untuk dibaca di dalamnya dalam bab sifat dzikir-dzikir shalat, yaitu membaca surat Qaf pada rakaat pertama setelah al-Fatihah, dan pada rakaat kedua membaca: اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ (al-Qamar). Jika suka, ia membaca: سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى (al-A’la) dan pada rakaat kedua membaca: هَلْ اَتَاكَ حَدِيْثُ الْغَاشِيَةُ (al-Ghasyiyah).

Marja’: (dikutip dari buku ensiklopedia Dzikir dan Doa Al-IMAM AN-NAWAWI,Penerbit PUSTAKA SAHIFA.Tentang Bab Dzikir-dzikir yang Disyariatkan Pada Dua Hari Raya dengan penambahan dan pengurangan. Oleh: Abu Nabiel)