Memilih adalah penetapan yang gampang-gampang susah, mudah namun terkadang sulit, sulit namun sebenarnya mudah, mudah jika pilihannya sepadan dan setara plus sama-sama enak dan baik, gampang jika salah satu opsi yang dipilih unggul dibandingkan opsi yang lain, namun perkaranya menjadi sulit jika pilihannya sama-sama tidak nyaman atau salah satu opsi unggul namun kondisi tidak memungkinkan untuk memilihnya. Tetapi bagaimana pun hal itu masih mendingan, karena masih ada kesempatan untuk memilih, bayangkan jika kesempatan untuk memilih itu tidak ada, atau pilihan yang ada sama-sama tidak enak, simalakama kata orang, yang manis dari kedua pilihan adalah pahit, sehingga apa pun yang dipilih hasilnya tetap tidak mengenakkan seperti yang terjadi pada seorang tuan rumah berikut ini.

Seorang laki-laki badui mengunjungi sebuah kota, dia dipersilakan singgah sebagai tamu oleh seorang laki-laki penduduk kota tersebut. Laki-laki yang menerima badui sebagai tamu adalah pemilik ayam dalam jumlah besar, di samping itu dia adalah kepala rumah tangga dengan seorang istri, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.

Laki-laki tuan rumah berkisah, aku berkata kepada istriku, “Seorang tamu telah hadir di antara kita, sembelihlah seekor ayam kemudian pangganglah ia.” Waktu makan telah tiba, kami berkumpul untuk menyantap ayam panggang, sebagai penghormatan aku meminta orang badui itu untuk membagi ayam panggang sesuai dengan jumlah hadirin. Aku berkata kepadanya, “Saya berharap Anda berkenan membaginya di antara kita.” Dia menjawab, “Maaf, saya tidak bisa membagi, namun karena Anda telah meminta maka saya akan lakukan jika Anda tidak keberatan.” Saya menjawab, “Kami tidak keberatan.”

Maka laki-laki badui itu menarik nampan ayam dan memenggal lehernya sehingga kepala ayam itu putus dari tubuhnya, dia memberikannya kepadaku sambil berkata, “Kepala untuk kepala.” Kemudian dia memotong kedua sayap ayam dan berkata, “Dua sayap untuk dua anak laki-laki.” Kemudian dia memotong kedua kaki ayam dan berkata, “Dua kaki untuk dua anak perempuan.” Kemudian dia memotong bagian belakang ayam dan berkata, “Ini untuk yang biasa di belakang, yaitu istri.” Dan dia sendiri mengambil sisanya.

Esok hari aku berkata kepada istriku, “Sembelihlah lima ekor ayam kemudian pangganglah semuanya.” Ketika kami berkumpul untuk menyantap hidangan, aku berkata kepadanya, “Silakan Anda yang membagi.” Dia menjawab, “Tidak, saya yakin kemarin kalian kurang berkenan dengan pembagian yang aku lakukan.” Aku menjawab, “Tidak mengapa.” Dia bertanya, “Apakah dengan cara genap atau ganjil?” Aku menjawab, “Ganjil.” Dia berkata, “Anda, istri dan satu ekor ayam adalah tiga, ganjil. Dua anak laki-laki dengan satu ekor ayam adalah tiga, ganjil. Dua anak perempuan dan seekor ayam adalah tiga, ganjil. Saya dan dua ekor ayam adalah tiga, ganjil.” Dan dia mengambil dua ekor ayam sambil memandang kami yang memandangi dua ekor ayamnya. Dia bertanya, “Mengapa kalian memandangku demikian? Kalian tidak suka cara pembagian yang aku lakukan.” Kami berkata kepadanya, “Mohon ulangi pembagiannya dengan cara genap.”

Maka dia mengumpulkan lima ekor ayam tersebut dan berkata, “Anda, dua anak laki-laki Anda dan satu ekor ayam adalah empat, genap. Istri, dua anak perempuan dan satu ekor ayam adalah empat, genap. Saya dan tiga ekor ayam adalah empat, genap.” Dia pun merengkuh ketiga ekor ayam sementara kami berbagi satu ekor untuk bertiga.
(Izzudin Karimi)