Siapa yang tidak suka dipuji? Siapa yang tidak senang disanjung? Siapa yang tidak bangga namanya disebut-sebut? Siapa yang tidak ingin dirinya menjadi buah bibir? Siapa yang tidak mau wajahnya dikenang? Siapa yang tidak berharap jasa baiknya dibalas di dunia? Tidak ada atau tepatnya jarang ada. Benar, karena hampir semua orang menyukai dan berharap hal itu. Itulah bagian dari hasrat diri dan ambisi jiwa yang selalu menyelubungi setiap pelaku sebuah perbuatan mulia dan baik.

Namun semua muslim menyadari bahwa bagian nikmat dari jiwa ini justri bisa menjadi bumerang yang menikam pelemparnya, menjadi api yang membakar upayanya menjadi kapak yang meruntuhkan bangunan amal baiknya dan menjadi lubang yang mengubur usahanya. Ya, itulah riya` atau sum’ah, penghancur dan pelebur sebuah kebaikan yang diikutinya dan menjadikannya seolah-olah debu ditiup angin kencang yang tiada menyisakan apa pun.

Orang yang mempunyai penyakit ini memiliki kecenderungan untuk show, memperlihatkan dan memperdengarkan apa yang dia kerjakan, mencari segala upaya dan cara bagaimana manusia melihat dan mendengar sehingga melahirkan pujian dan sanjungan dari bibir mereka atau lebih dari itu mendatangkan manfaat materi duniawi dan mengangkat nama dan mukanya di depan wajah mereka.

Sebaliknya, orang yang sehat dari penyakit ini mempunyai kecenderungan sebaliknya, menyembunyikan dan menyamarkan usaha baik dan jasa mulianya, karena “Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk berharap ridha Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al-Insan: 9). Keadaan orang seperti ini adalah ibarat, “Seorang laki-laki yang bersedekah, dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Jika di zaman ini Anda sulit menemukan orang yang kedua dan Anda begitu mudah melihat orang yang pertama, maka di masa lalu sebaliknya, karena orang dulu bukan orang sekarang, zaman dulu tidak sama dengan zaman sekarang.

Dalam salah satu peperangan kaum muslimin mengepung sebuah benteng. Benteng ini kokoh, sulit untuk dibuka dan ditaklukkan. Panglima tentara kaum muslimin, Maslamah bin Abdul Malik, melihat satu cela yang darinya kaum muslimin mampu membuka benteng dan menaklukkannya, dia berseru, “Siapa yang bersedia menyusup ke dalam benteng melalui lorong limbah. Jika dia gugur, dia gugur syahid dan meraih Surga. Jika dia selamat maka dia membuka pintu benteng lalu bertakbir maka kita akan menyerbu dan menang insya Allah.”

Seorang laki-laki dengan wajah tertutup kain melangkah ke depan dan berkata, “Aku yang akan melakukan.” Laki-laki itu menyusup, sesaat kemudian terdengar suara takbir, pintu benteng terbuka, kaum muslimin berhamburan menyerbu dan kemenangan berpihak kepada mereka.

Panglima mengumumkan dan memanggil laki-laki yang masuk saluran limbah itu agar dia keluar, tetapi tak seorang pun maju ke depan. Di hari berikut panglima memanggil lagi tetapi tidak seorang pun maju ke depan. Di hari berikut panglima memanggil lagi tetapi tidak seorang pun yang muncul. Hari berikut panglima kembali memanggil, dia bersumpah kepada Allah agar laki-laki itu menemuinya kapan pun dia mau, siang atau malam.

Manakala panglima sedang duduk di tendanya, tiba-tiba seorang laki-laki dengan wajah tertutup kain menemuinya. Maslamah berkata, “Kamukah orang yang masuk saluran limbah itu?” Laki-laki itu menjawab, “Aku utusannya, dia meletakkan tiga syarat atasmu sehingga engkau bisa bertemu dengannya.” Panglima berkata, “Katakan.” Laki-laki iti berkata, “Jangan memberinya balasan atas jasanya, jangan membedakan dia dengan tentara yang lain dan jangan laporkan namanya kepada khalifah” Panglima berkata, “Apa yang dia minta aku penuhi.” Laki-laki itu membuka cadarnya dan berkata, “Akulah orang tersebut.”

Setelah itu panglima Maslamah berdoa, “Ya Rabbi bangkitkan aku bersama laki-laki yang menyusup ke saluran itu.”

Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib yang terkenal dengan Zainul Abidin. Dia memikul tepung ke rumah-rumah fakir miskin di Madinah di kegelapan malam. Manakala Ali bin Husain wafat orang-orang fakir miskin kehilangan tepung yang selama ini mereka nikmati.

Ibnu Ishaq berkata, “Ada beberapa orang di Madinah bisa hidup tanpa mengetahui dari mana mereka hidup. Manakala Ali bin Husain meninggal, terhentilah suplai makanan yang datang kepada mereka setiap malamnya. Manakala mereka memandikannya mereka melihat bekas memanggul tepung dan makanan di punggungnya.”

Begitulah Salafus Shalih, diriwayatkan Abdullah bin Mubarok dari Mubarok bin Fadholah dari al-Hasan berkata, “Ada seorang laki-laki ahli al-Qur’an tetapi orang-orang tidak mengetahuinya. Ada seorang laki-laki yang ahli fikih tetapi orang-orang tidak mengenalnya. Ada seorang laki-laki yang shalat lama sekali di rumahnya sementara beberapa orang mengunjunginya dan mereka tidak menyadarinya. Sungguh aku telah bertemu dengan suatu kaum di mana mereka tidak melakukan suatu amal secara terang-terangan selama ia bisa dikerjakan secara rahasia. Kaum muslimin bersungguh-sungguh dalam berdoa tanpa ada suara mereka yang terdengar kecuali bisikan antara mereka dengan Tuhan mereka. Hal itu karena Allah berfirman, ‘Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.’ Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang ikhlas dan beruntung.”

Sebelum itu Rasulullah saw telah bersabda, “Beruntunglah seorang hamba yang memacu kudanya berjihad di jalan Allah, rambutnya kusut dan kedua kakinya berdebu, jika dia ditugaskan di pos penjagaan maka dia berada di sana dengan setia, jika dia ditugaskan di garis belakang maka dia berada di sana dengan setia. Jika dia meminta izin untuk menemui penguasa maka dia tidak diizinkan dan jika dia bertindak sebagai perantara maka dia ditolak.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah.