Di antara keistimewaan ajaran Islam adalah seruan kepada penganutnya untuk mempertahankan persatuan di antara umat Islam (Ukhuwah Islamiah ) dan cercaan terhadap perpecahan yang terjadi di tengah umat ini. Sesuai dengan firman Allah yang artinya:
“Dan berpegang eratlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah” . (Ali Imran: 103).

Maksud dari kata “tali Allah” adalah Al-Qur’an. Terdapat beberapa hadits yang menerangkan tentang “berpegang erat dengan tali Allah” antara lain:
Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Kitabullah adalah tali Allah yang memanjang dari langit hingga bumi”. (HR. At-Tirmidzi, hasan gharib ).

Abu Syuraih Al-Khuza’i berkata: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di tengah-tengah kami, beliau bersabda: “Kabar gembira buat kalian, apakah kalian bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan aku adalah utusanNya?” Para sahabat menjawab: “Benar”. Kemudian Rasulullah ` bersabda: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah perantara (tali), salah satu ujung talinya berada di sisi Allah dan ujung lainnya ada di tengah-tengah kalian, maka berpegang teguhlah padanya, sungguh kalian tidak sesat dan binasa jika berpegang teguh padanya (Al-Qur’an).” (Shahih Ibnu Hibban, 12/165).

Zaid bin Arqam berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ketahuilah bahwa saya meninggalkan bagi kalian dua hal yang berat, salah satunya adalah Kitabullah dan itu adalah tali Allah, barangsiapa mengikutinya maka dia ada dalam petunjuk Allah dan barangsiapa meninggalkannya maka ia dalam kesesatan.” (HR. Muslim).

Kalimat “jangan kalian berpecah belah” berarti peringatan Allah kepada umat Islam untuk bersatu dalam persaudaraan Islam dan larangan untuk bergolong-golongan yang menyebabkan lemahnya umat Islam di hadapan umat lain. Terdapat beberapa hadits yang menerangkan perintah Allah kepada hambaNya untuk menjaga persatuan umat Islam (Ukhuwah Islamiyah) antara lain:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai tiga hal dan membenci tiga hal.

Tiga hal yang disukai Allah adalah:

  • Menyembah hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukanNya dengan suatu apapun.
  • Berpegang eratlah kalian semua dengan tali Allah (bersatu) dan jangan berpecah belah.
  • Saling memberi nasihat terutama antara pemimpin dan rakyat.

Dan tiga hal yang dimurkai Allah adalah:

  • Mempercayai isu/berita yang tak jelas kebenarannya.
  • Bertanya yang tidak pada tempatnya.
  • Berbuat mubazir atau berfoya-foya.” (Ibnu Katsir, 2/83; Shahih Muslim; 1715).

Penjelasan Para Ulama

Mari kita telusuri pendapat para imam Salaf dalam pembahasan ini.

Imam Qurthubi:

Dalam memahami kalimat “berpegang teguhlah pada tali Allah” beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan kita untuk selalu bersatu dan melarang kita untuk berpecah belah. Sungguh perpecahan itu adalah suatu kehancuran, sebaliknya persatuan (ukhuwah Islamiyah) adalah keberhasilan karena berpegang teguh pada tali Allah; maka berpegang teguhlah dengan taliNya yang kuat ( al-‘urwatul wutsqa) yaitu Kitabullah.’

Sementara itu kalimat “jangan kalian berpecah” maksudnya berpecah dalam agama kamu sebagaimana berpecahnya orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka. Bisa juga arti berpecah di sini bergolong-golongan mengikuti hawa nafsu dengan berbagai macam tujuan duniawi yang menyebabkan banyaknya golongan-golongan dalam agama ini. Oleh karena itu, satu-satunya jalan menghindari bencana ini adalah bersatunya umat Islam dalam satu ikatan Allah yaitu Kitabullah. (Al-Qurthubi, 4/159).

Untuk itulah Allah mewajibkan kita agar berpegang teguh pada KitabNya serta sunnah RasulNya dan menjadikan keduanya sebagai rujukan (referensi) dalam hidup ini, terutama ketika terjadi perselisihan di antara kita. Allah juga memerintahkan kita untuk selalu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai keyakinan yang diamalkan. Inilah jalan menuju persatuan umat Islam untuk kebaikan dunia akhirat. (Al-Qurthubi, 4/164).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

Dalam hal ini berkata: “Para pengikut sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam (Ahlus Sunnah) adalah kelompok manusia terbesar yang bersatu dan saling mengasihi. Sebaliknya golongan mutakallimin dan filsafat adalah kelompok manusia terbesar dalam pertikaian dan perselisihan.” Beliau tambahkan pula: “Sesungguhnya dalam golongan Mu’tazilah banyak terjadi pertikaian dan perselisihan. Satu sama lain saling mengkafirkan, bahkan ada seorang murid yang menganggap kafir gurunya karena berselisih faham. Hal ini tak mungkin dan tak akan pernah terjadi pada umat yang mengikuti perilaku Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika terjadi perselisihan pada umat Islam dan mengakibatkan pertikaian bahkan permusuhan maka ketahuilah bahwa hawa nafsu telah berperan di sini dan bukan lagi kebenaran.”

“Para imam mujtahid Islam telah memberi contoh pada kita, walaupun mereka berbeda pendapat dan berselisih paham dalam masalah kaifiyat (cara) pelaksanaan ibadah tetapi mereka tetap bersatu dan saling kasih dalam Ukhuwah Islamiyah.” Ditambahkan pula oleh beliau: “Perpecahan yang terjadi pada umat Islam disebabkan banyaknya pengikut umat ini yang melakukan bid’ah dalam agama mereka. Sementara persatuan (ukhuwah Islamiyah) yang terjadi di tengah umat ini karena mereka berpegang teguh pada ajaran Islam murni dan otentik yang disampaikan oleh para Salafus Shalih dari umat ini. Untuk itu para pengikut sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pasti bersatu dan ahli bid’ah pasti dalam perpecahan.” (Majmu’, 4/53).

Ibnu Qutaibah:

Ketika berbicara tentang golongan Mu’tazilah, beliau mengatakan: “Bahwa golongan ini adalah kelompok manusia terbesar yang selalu berselisih paham dan akhirnya satu sama lain saling bermusuhan. Jika dua orang pemimpin dari golongan ini bertemu pasti terjadi perselisihan di antara keduanya. Dan setiap orang dari pemimpin Mu’tazilah pasti mempunyai golongan/aliran yang berbeda dengan pemimpin lainnya. Sebaliknya para imam mujtahid Ahlus Sunnah walaupun perselisihan selalu terjadi di antara para sahabat juga tabi’in dalam hal fiqih dan nahwu tapi mereka tetap dalam satu ikatan dan saling kasih dalam persaudaraan Islam (Ukhwah Islamiah) dalam beragama.” (Lihat kitab Ikhtilafuhum fil Ushul).

Imam Abul Qasim Al-Isbahani:

Beliau berkata: “Kelompok yang selalu merujuk segala sesuatu kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits (Ahlus Sunnah) selalu menjaga persatuan (Ukhuwah Islamiah). Karena mereka selalu menjadikan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai rujukan (referensi) segala permasalahan dunia maupun akhirat. Sebaliknya mereka yang mengerjakan ibadah dengan bersumber kepada pendapat dan logika saja (pelaku bid’ah) maka kita akan dapatkan mereka selalu dalam perpecahan. Artinya, orang Islam yang rujukan agamanya tepat dan benar, mereka selalu ada dalam persaudaraan, walaupun ada perbedaan dalam memahami suatu Hadits yang berbeda kata atau kalimatnya. Sebaliknya pula bagi mereka yang rujukan agamanya tidak tepat, seperti memahami agama hanya dengan logika dan pendapat pribadi, kita akan dapatkan mereka selalu ada dalam perpecahan; karena otak dari setiap individu mem-punyai pandangan berbeda satu dengan lainnya.

Mari kita kembali telusuri kehidupan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tabi’in dan para mujtahid setelahnya, mereka tetap bersatu meski berbeda pendapat dalam masalah bersuci, perdagangan, pernikahan, perceraian dan masalah-masalah lainnya yang memang pintu untuk perbedaan itu terbuka lebar. Walaupun demikian mereka tetap ada dalam suatu barisan untuk meninggikan kalimat Allah. Hal ini bisa terjadi karena mereka tetap merujuk pada referensi yang tepat yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai pedoman.

Perbedaan pendapat seperti ini justru menjadikan kedudukan mereka mulia dan terhormat, inilah rahmat Allah untuk umat Islam. Dalam berselisih mereka bersaudara dalam perbedaan mereka tetap saling hormat, oleh karena itu tali persaudaraan mereka semakin kokoh.

Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya: “Janganlah kalian saling hasud/dengki, saling marah, saling memutuskan (persaudaraan) dan janganlah kalian saling bermu-suhan, akan tetapi jadilah hamba Allah yang bersau-dara.” (HR. Muslim). Demikianlah yang seharusnya terjadi sesama muslim dan bukan sebaliknya.

Penutup

Imam Abu Abdillah dalam bukunya Al-Ibanah berkata: “Ketahuilah wahai saudaraku, Allah telah menunjukkan kepada kita kebaikan dan persatuan, dan telah menghindarkan kita dari perpecahan melalui kisah-kisah tentang umat yang terdahulu dalam Al-Qur’an. Perpecahan yang terjadi pada mereka mengakibatkan mereka berani mengingkari Allah dengan berusaha melanggar ajaranNya yang dibawa para rasul dengan merubah ajaran tersebut. Juga Allah mengajarkan kepada kita bahwa rasa dengki terhadap sesama disebabkan ditinggalkannya Al-Qur’an sebagai rujukan dan pedoman hidup dan akhirnya keluarlah mereka dari rel yang ditetapkan Allah.” (Al-Ibanah, 1/270).

Abdullah bin Mas’ud selalu berdo’a dalam dakwahnya: “Ya Allah, perbaikilah sesama kami dan tunjukkanlah kami jalan damai dan keluarkanlah kami dari kegelapan menuju pada cahaya dan jauhkanlah kami dari kenistaan, baik yang tampak maupun yang tidak. Dan berkahilah bagi kami pendengaran kami, penglihatan kami, hati kami, isteri kami, keturunan kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang dan jadikanlah kami orang yang bersyukur atas nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada kami dan sempurnakanlah anugerah tersebut bagi kami.” ( Shahihul Bukhari fil adabil mufrad, hal. 235). (Farizal Tarmizi)

Sumber: Ad-Da’wah ilal i’tilaf wadzammi ‘alal ikhtilaf, karya Hay Al-Hay.