Allah subhanahu wata’ala berfirman,

“Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hambaNya yang dipilih-Nya’.” (An-Naml: 59).

“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaranNya’.” (An-Naml: 93).

“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak’.” (Al-Isra’: 111).

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Ibrahim: 7).

“Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukur-lah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku.” (Al-Baqarah: 152).

Ayat-ayat yang menegaskan perintah untuk memuji dan bersyukur serta keutamaan keduanya sangat banyak dan sudah dikenal.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dan Sunan Ibnu Majah, serta Musnad Abi Awanah al-Isfarayini yang ditakhrij berdasarkan Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بـِ (اْلحَمْدُ لله) فَهُوَ أَقْطَعُ.

“Segala perkara penting yang tidak diawali dengan hamdalah, maka perkara tersebut terputus.”

Takhrij:
(Hadits Dhaif: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, no. 26674; Ahmad, 2/359; Ibnu Majah, Kitab an-Nikah, dan Bab Khuthbah an-Nikah, 1/610, no. 1894; Abu Dawud, Kitab al-Adab, Bab al-Hady fi al-Kalam, 2/677, no. 4840; an-Nasa’i dalam al-Yaum wa al-Lailah, no. 498; Ibnu Hibban, no. 1 dan 2; ad-Daruquthni 1/229; dan al-Baihaqi 3/208: dari berbagai jalur, dari al-Auza’i, dari Qurrah bin Abdurrahman, dari az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan hadits di atas.
Hadits ini dhaif yang memiliki illat, pada sanad dan matannya. Adapun tentang sanadnya, maka Qurrah meriwayatkannya sendirian dan diselisihi oleh selainnya. Abu Dawud berkata, “Diriwayatkan oleh Yunus, Uqail, Syu’aib, Sa’id bin Abdul Aziz, dari az-Zuhri, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara mursal.”Hal yang sama dinyatakan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi. Al-Asqalani berkata dalam al-Fath 8/220, “Di dalam sanadnya ada pembicaraan.” As-Sindi berkata, “Hadits ini dihasankan oleh Ibnu ash-Shalah dan an-Nawawi, serta dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan al-Hakim dalam al-Mustadrak.” Aku katakan, “Seandainya Qurrah itu tsiqah dan tsabat, niscaya orang akan menghasankan hadits ini, meskipun menyendiri dan menyelisihi jamaah para perawi yang lebih kuat daripadanya. Lantas bagaimana halnya jika ia termasuk orang yang meriwayatkan hadits-hadits munkar? Hadits ini memiliki jalur lainnya yang diisyaratkan oleh ad-Daruquthni lewat pernyataannya dan diriwayatkan oleh Shadaqah, dari Muhammad bin Sa’id, dari az-Zuhri, dari Abdurrahman bin Ka’b bin Malik, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ia mengomentari, “Hadits ini tidak shahih. Shadaqah dan Muhammad bin Sa’id adalah dua perawi dhaif, dan yang benar bahwa hadits ini mursal.” Ini disetujui oleh al-Albani. Adapun matannya, maka para ulama sangat berselisih di dalamnya yang diisyaratkan oleh at-Taj as-Subki 3/288 Futuhat, lewat pernyataannya, “Diriwayatkan dengan lafazh: كُلُّ أَمْرٍ (segala urusan) dan dengan lafazh: كُلُّ كَلاَمٍ (semua ucapan), serta menetapkan kata: ذِي بَالٍ (penting) dan membuangnya. Disebutkan pula dalam suatu redaksi dengan kata يُبْدَأُ (diawali) dan يُفْتَتَحُ (dibuka), dalam suatu redaksi dengan بِالْحَمْدِ لِلَّهِ (dengan mengucapkan hamdalah) dan بِحَمْدِ اللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ (dengan mengucapkan hamdalah dan shalawat dan salam kepada Rasulullah), dan بِذِكْرِ اللهِ (dengan menyebut nama Allah) dan dengan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ (dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) dan pada kata أَقْطَعُ dengan أَجْذَمُ dan أَبْتَرُ Aku katakan, “Ini adalah bentuk kekacauan yang semakin menambah kedhaifannya.”)

Dalam riwayat lain,

بِحَمْدِ الله

“Dengan memuji Allah.”
Dalam riwayat lain,

بِالْحَمْدِ، فَهُوَ أَقْطَعُ

“Dengan pujian, maka perkara tersebut terputus.”
Dalam riwayat lain,

كُلُّ كَلاَمٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِـ (الْحَمْدُ لله) فَهُوَ أَجْذَمُ

“Setiap perkataan yang tidak didahului dengan hamdalah, maka ia terputus.”
Dalam riwayat lain,

كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بـِ (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) فَهُوَ أَقْطَعُ.

“Setiap perkara penting yang tidak didahului dengan Bismillahirrahmanirrahim, maka perkara itu terputus.”

Takhrij:
Kami meriwayatkan semua lafazh-lafazh ini dalam kitab al-Arba’in karya al-Hafizh Abdul Qadir ar-Ruhawi, dan ini hadits hasan. Hadits ini diriwayatkan secara maushul sebagaimana yang kami sebutkan, dan juga diriwayatkan secara mursal dan riwayat maushul memiliki sanad jayyid (baik). Jika suatu hadits diriwayatkan secara maushul dan secara mursal, maka hukumnya adalah hukum hadits maushul menurut jumhur ulama; karena ini tambahan yang bisa dipercaya, dan ini diterima oleh jumhur.
Arti “ذِي بَالٍ”, ialah memiliki keadaan yang diperhatikan (penting). Arti أَقْطَعُ (terputus) ialah kurang dan sedikit keberkahan, dan أَجْذَمُ semakna dengannya.
Para ulama mengatakan, “Dianjurkan memulai dengan al-Hamdulillah untuk setiap pengarang, pelajar, pengajar, khatib, pelamar, dan sebelum memulai berbagai urusan yang penting.”
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku senang bila seseorang memulai khutbahnya dan segala urusan yang dicarinya dengan hamdalah, dan pujian terhadapNya, serta shalawat atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Pasal
Ketahuilah bahwa memuji Allah itu dianjurkan pada saat memulai segala urusan yang penting sebagaimana yang telah disinggung. Dianjurkan pula setelah selesai makan, minum dan bersin, dan ketika meminang wanita. Demikian juga ketika akad nikah, dan setelah keluar dari kamar mandi atau WC. Hal-hal ini akan dijelaskan pada babnya masing-masing berikut dalil-dalilnya, dengan penguraian berbagai persoalannya, insya Allah. Telah disebutkan tentang doa yang dibaca setelah keluar dari kamar mandi atau WC pada babnya. Dianjurkan memulai buku-buku karangan sebagaimana telah disebutkan. Demikian pula ketika guru memulai mengajar dan murid mulai membaca, baik membaca hadits, fikih maupun selainnya. Ungkapan terbaik mengenai hal itu ialah: Al-hamdulillahi rabbil a’lamin.

Pasal
Memuji Allah subhanahu wata’ala adalah rukun dalam khutbah Jum’at dan selainnya. Tidak sah suatu khutbah kecuali dengannya. Minimal mengucapkan, “Alhamdulillah,” dan paling utama ialah menambahnya dengan sanjungan. Perincian mengenai hal ini terdapat dalam kitab-kitab fikih, dan disyaratkan dengan bahasa Arab.

Pasal
Dianjurkan menutup doa dengan اَلْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. Demikian pula mengawalinya dengan اَلْحَمْدُ لله. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan penutup doa mereka ialah, ‘Alhamdulillaahi Rabbil alamin.” (Yunus: 10).

Pasal
Dianjurkan memuji Allah ketika mendapatkan nikmat atau terhindar dari keburukan, baik itu diperoleh oleh dirinya sendiri, sahabatnya atau kaum Muslimin pada umumnya.
Kami meriwayatkan dalam Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Isra’ bi ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, 1/154, no. 168. dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أُتِيَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ بِقَدَحَيْنِ مِنْ خَمْرٍ وَلَبَنٍ، فَنَظَرَ إِلَيْهِمَا، فَأَخَذَ اللَّبَنَ، فَقَالَ لَهُ جِبْرِيْلُ j: اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ هَدَاكَ لِلْفِطْرَةِ، لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ.

“Bahwa dihidangkan kepada Rasulullah a pada malam di mana beliau di isra’kan berupa dua gelas khamar dan susu. Beliau memandang keduanya lalu mengambil susu, maka Jibril j berkata kepada beliau, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkanmu kepada fitrah. Seandai-nya engkau mengambil khamar, niscaya umatmu tersesat.”

Qadah adalah gelas kecil. Dibawakan dua gelas khamar dan susu, yakni disuruh untuk memilih di antara keduanya, maka Allah memberinya ilham untuk memilih susu itu. Fitrah ialah jalan yang lurus dan manhaj yang selamat yang diridhai Allah subhanahu wata’ala bagi para hambaNya, yaitu Islam. Dan susu dijadikan sebagai tanda untuk hal itu, karena eksistensinya yang baik lagi mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. Berbeda halnya dengan khamar yang buruk lagi mendatangkan berbagai keburukan.

Pasal
Kami meriwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dan selainnya dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللهُ لِمَلاَئِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ، فَيَقُوْلُ: قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ، فَيَقُوْلُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ، فَيَقُوْلُ اللهُ: ابْنُوْا لِعَبْدِيْ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوْهُ بَيْتَ الْحَمْدِ.

“Jika anak seorang hamba meninggal, maka Allah bertanya kepada para malaikatnya, ‘Kalian telah mencabut nyawa anak hambaKu?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Dia bertanya, ‘Kalian telah mengambil buah hatinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Dia bertanya, ‘Apakah yang diucapkan oleh hambaKu?’ Mereka menjawab, ‘Dia memujiMu dan mengucapkan istirja’. Allah berfirman, ‘Dirikanlah untuk hambaKu sebuah rumah di surga, dan namailah dengan bait al-hamd (rumah pujian).”

Istirja’ ialah mengucapkan: إِنَّا للهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya-lah kami akan kembali).

Takhrij:
(Hadits Hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, no. 508; Ahmad 4/415; at-Tirmidzi, Kitab al-Jana’iz, Bab Fadhl al-mushibah idza Ihtasaba, 3/341, no. 1021; Ibnu Hibban, no. 2948; Ibnu as-Sinni, no. 581; al-Baihaqi 4/68; al-Baghawi, no. 1549: dari berbagai jalur, dari Hammad bin Salamah, dari Abu Sinan, dari Abu Thalhah al-Khaulani, dari adh-Dhahhak bin Abdurrahman, dari Abu Musa al-Asy’ari dengan hadits di atas.
At-Tirmidzi dan al-Baghawi menilai hasan gharib. Aku katakan, kegharibannya yakni kedhaifannya karena di dalamnya terdapat Abu Thalhah al-Khaulani yang mengandung jahalah. Haditsnya -maksimal- hanya layak dalam kapasitas mutaba’ah. Di dalamnya juga terdapat Abu Sinan Isa bin Sinan, seorang yang lemah haditsnya. Adapun kehasanan hadits ini ialah karena jalur lainnya dalam “tsaqafiyyat”, no. 1408-as-Silsilah ash-Shahihah, dari Abdul Hakim bin Maisarah al-Haritsi: Sufyan menuturkan kepada kami dari Alqamah bin Martsad, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dengan redaksi yang senada. Abdul Hakim ini dhaif. Tetapi sanad menjadi kuat, insya Allah, karena dua jalur riwayat tersebut. Apalagi maknanya dikuatkan oleh banyak riwayat shahih. Dihasankan at-Tirmidzi, dan disetujui oleh al-Baghawi, al-Mundziri, an-Nawawi, al-Asqalani dan al-Albani.)

Pasal
Kalangan muta’akhirin dari para sahabat kami yang berasal dari negeri Khurasan mengatakan, “Seandainya seseorang bersumpah akan benar-benar memuji Allah dengan segala pujian (di antara mereka mengatakan, dengan tahmid yang paling agung), maka jalan yang harus ditempuh untuk merealisasikan sumpahnya ialah dengan mengucapkan,

اَلْحَمْدُ لله حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ.

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang menyetarai nikmatNya dan menyamai tambahan anugerahNya.”

Arti (يُوَافِيْ نِعَمَهُ) ialah menyusulnya sehingga nikmat itu seimbang dengannya.
Dan ( يُكَافِئُ ) dengan hamzah di akhirnya, ialah menyamai tambahan nikmatNya. Artinya, ia mensyukuri nikmat dan kebaikan yang ditambahkan kepadanya.

Mereka mengatakan, seandainya ia bersumpah bahwa ia akan benar-benar menyanjung Allah dengan sanjungan yang paling sempurna, maka cara merealisasikannya ialah dengan mengucapkan,

لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ. وَزَادَ بَعْضُهُمْ فِي آخِرِهِ: فَلَكَ الْحَمْدُ حَتَّى تَرْضَى

“Aku tidak menghinggakan sanjungan atasMu. Engkau sebagaimana Engkau menyanjung diriMu.” Sebagian dari mereka menambahkan di akhirnya, “UntukMu segala pujian hingga Engkau ridha.”

Abu Sa’id al-Mutawalli menggambarkan persoalan itu berkenaan dengan orang yang bersumpah, agar ia menyanjung Allah dengan sanjungan yang paling agung dan paling luhur serta menambah di awal dzikir dengan ucapan,سُبْحَانَكَ (Mahasuci Engkau).
Ini semua adalah ucapan berdasarkan pendapat, tidak dijumpai atsar dari Sunnah. Menurutku, orang yang mengucapkan,

اللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَلِعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ

“Ya Allah, untukMu segala pujian sebagaimana yang patut bagi keagungan wajahMu dan kebesaran kekuasaanMu,” dan sejenisnya adalah lebih utama daripada orang yang mengada-ada di hadapan Rabbnya.

Dari Abu Nashr at-Tammar dari Muhammad bin an-Nadhr rahimahullah, ia mengatakan, Adam ‘alaihissalam berkata,

يَا رَبِّ، شَغَلْتَنِيْ بِكَسْبِ يَدِي، فَعَلِّمْنِي شَيْئًا فِيْهِ مَجَامِعُ الْحَمْدِ وَالتَّسْبِيْحِ. فَأَوْحَى اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَيْهِ: يَا آدَمُ، إِذَا أَصْبَحْتَ، فَقُلْ ثَلاَثًا، وَإِذَا أَمْسَيْتَ، فَقُلْ ثَلاَثًا: اَلْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُوَافِيْ نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ. فَذلِكَ مَجَامِعُ الْحَمْدِ وَالتَّسْبِيْحِ.

“Wahai Rabb, Engkau menyibukkanku dengan pekerjaanku, maka ajarkan kepadaku sesuatu yang berisikan inti pujian dan tasbih.’ Maka Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi mewahyukan kepadanya, ‘Wahai Adam, jika engkau berada di pagi hari, ucapkanlah tiga kali, dan jika engkau berada di petang hari, ucapkanlah tiga kali, ‘Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam dengan pujian yang menyetarai nikmatNya dan menyamai tambahan anugerahNya’. Sebab, itulah inti pujian dan tasbih.”
Jika ini shahih, berasal dari Muhammad bin an-Nadhr. Maka yang jelas adalah bahwa ini termasuk Isra’iliyat. Sebab aku tidak menjumpai atsar ini memiliki asal yang diriwayatkan, dan tidak pula disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir dalam biografi Nabi Adam ‘alaihissalam, padahal apa yang beliau tuliskan di sana sangat lengkap dan luas. Seperti diketahui bahwa atsar semacam ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Wallahu a’lam.

(dikutip dari buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam an-Nawawi”, KITAB HAMDALAH(Memuji Allah) Penerbit: Pustaka Sahifa. Dengan pengurangan dan penambahan. Oleh: Abu Nabiel)