Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ III/321 berkata, “Jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabiin dan ulama-ulama setelah mereka berpendapat bahwa istiftah mustahab (dianjurkan), tidak diketahui adanya penyelisih dalam hal ini kecuali Malik rahimahullah, dia menyatakan bahwa mushalli tidak membacanya.”

Yang shahih adalah dianjurkannya doa istiftah berdasarkan hadits Abu Hurairah berkata, “Jika Rasulullah saw bertakbir di dalam shalat beliau diam sesaat sebelum membaca, maka aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, aku korbankan bapak dan ibuku demi dirimu, apa yang engkau baca pada saat engkau diam di antara takbir dan qiraat?’ Nabi saw menjawab, “Aku membaca, اللهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ … Dan seterusnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Banyak riwayat shahih dari Rasulullah saw tentang doa istiftah, pembaca bisa merujuknya di kitab Shifah Shahah an-Nabi saw karya Syaikh al-Albani dan Kitab al-Adzkar karya Imam an-Nawawi, kitab yang kedua ini telah diindonesiakan oleh Pustaka Sahifa Jakarta dengan judul Ensiklopedia Dzikir dan Doa.

Bacaan ta’awudz

Jumhur ulama Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat mustahab, sementara Imam Malik berpendapat sebaliknya. Yang shahih adalah pendapat jumhur berdasarkan firman Allah,

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (An-Nahl: 98).

Bacaan ta’awudz dibaca Ibnu Katsir dalam shalat sirriyah, bagaimana dalam shalat jahr? Imam Abu Hanifah dan asy-Syafi’i berkata, dibaca sir, Abu Hurairah berkata, dibaca jahr.

Apakah bacaan ta’awudz di setiap rakaat? Menurut Imam asy-Syafi’i di setiap rakaat. Menurut Imam Abu Hanifah hanya di rakaat pertama.

Siapa yang membaca ta’awudz? Imam dan munfarid membaca. Makmum? Imam asy-Syafi’i berkata, membaca. Imam Abu Hanifah berkata, tidak membaca. Wallahu a’lam.

Membaca surat pada rakaat ketiga dan keempat

Imam asy-Syafi’i dalam qaul qadimnya berpendapat tidak mustahab. Sementara yang tertera dalam al-Um adalah mustahab.

Dari Abu Qatadah berkata, “Rasulullah saw membaca Fatihatul Kitab dan dua surat dalam dua rakaat pertama shalat Zhuhur, beliau memanjangkan yang pertama dan memendekkan yang kedua, terkadang beliau memperdengarkan ayat kepada kami. Beliau membaca Fatihatul Kitab dan dua surat pada shalat Ashar, beliau memanjangkan yang pertama dan memendekkan yang kedua dan beliau membaca Ummul Kitab pada dua rakaat yang terakhir.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Said al-Khudri berkata, “Rasulullah saw membaca dalam shalat Zhuhur di dua rakaat yang pertama kurang lebih tiga puluh ayat dan di dua rakaat yang kedua kurang lebih lima belas ayat. Dalam shalat Ashar di dua rakaat yang pertama kurang lebih lima belas ayat dan di dua raakat yang kedua setengah dari itu”

Dalam riwayat lain, “Kami menerka berdirinya Rasulullah saw dalam shalat Zhuhur, di dua rakaat yang pertama kurang lebih tiga puluh ayat, sekedar membaca surat Alif lam mim tanzil as-Sajdah dan di dua rakaat yang kedua setengah dari itu.”(HR. Muslim).

Hadits Abu Qatadah menunjukkan bahwa Nabi saw membaca Ummul Kitab pada dua raakat terakhir yang mana bacaan pada keduanya adalah sir (pelan), sementara hadits Abu Said menujukkan bahwa Nabi saw tidak sekedar membaca Ummul Kitab saja, sebab taksiran Abu Said untuk dua rakaat akhir dalam Zhuhur dengan kurang lebih lima belas ayat menunjukkan bahwa beliau tidak hanya membaca Ummul Kitab saja. Penulis berkata, tanpa Ummul Kitab sunnah, dengan Ummul Kitab juga sunnah. Yang pertama untuk satu waktu dan yang kedua untuk lain waktu. wallahu a’lam.

Bacaan pada saat i’tidal

Pada saat mengangkat kepada dari ruku’ membaca tasmi’ سمع الله لمن حمد ه dan pada saat berdiri membaca tahmid, ربنا ولك الحمد. Ini berlaku untuk imam dan munfarid. Bagaimana dengan makmum? Dua Imam, Malik dan asy-Syafi’i berpendapat, makmum mengucapkan tasmi’ dan tahmid. Dua Imam yang lain, Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat, makmum hanya mengucapkan tahmid.

Dua Imam yang pertama berdalil kepada hadits Ibnu Umar berkata, “…Dan apabila beliau mengangkat kepala dari ruku’ beliau mengangkat keduanya juga, beliau mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah, Rabbana wa lakal hamdu’…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Hurairah bahwa apabila Rasulullah saw berdiri shalat beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’, kemudian mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’ ketika mengangkat tulang sulbinya dari ruku’, kemudian mengucapkan pada saat berdiri, ‘Rabbana walakal hamdu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dua Imam yang kedua berdalil kepada hadits Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ…وَإِذَا قَالَ سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَ هُ فَقُوْلُوا رَبَّنَا َلَكَ الحَمْدُ

Imam diangkat sebagai imam agar diikuti maka jangan berselisih atasnya…Dan jika dia mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah.’ Maka ucapkanlah, ‘ Rabbana lakal hamdu…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari Aisyah berkata, Rasulullah saw bersabda,

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ…وَإِذَا قَالَ سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَ هُ فَقُوْلُوا رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ

Imam diangkat sebagai imam agar diikuti…Dan jika dia mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah.’ Maka ucapkanlah, ‘ Rabbana wa lakal hamdu…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Penulis berkata, dalil masing-masing pendapat bisa diselaraskan dengan mengatakan, maksud sabda Nabi saw, “ Dan jika dia mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah.’ Maka ucapkanlah, ‘ Rabbana wa lakal hamdu…” Yakni kalian mengucapkan ‘Rabbana wa lakal hamdu…” setelah sebelumnya kalian mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah’. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)