Besi baja, batu karang dan gunung sering dilambangkan sebagai kekokohan, kekuatan dan keteguhan sehingga dikatakan, “Kokoh bagaikan gunung, teguh laksana batu karang dan kuat laksana besi baja.”

Namun tidak banyak orang yang tahu bahwa ada yang lebih kokoh, lebih kuat dan lebih teguh dari semua itu, yaitu kekokohan, kekuatan dan keteguhan hati manakala ia meyakini dan mengimani suatu prinsip dan ia dengan prinsip itu sudah menyatu sedemikian liatnya, inilah sesuatu yang lebih kokoh, lebih kuat dan lebih teguh dari benda-benda di atas, karena benda-benda ini hanyalah benda yang suatu saat akan menyusut kekokohan, kekuatan dan keteguhannya. Sekuat apa pun batu karang diterjang ombak, pasti akan terkikis sedikit demi sedikit, namun tidak dengan kekuatan hati atau dalam istilah agama kekuatan iman yang bersemayam di dalam hati.

Khalifah Umar bin Khattab mengutus pasukan untuk berhadapan dengan tentara Romawi. Di antara pasukan terdapat seorang pemuda dari kalangan sahabat yaitu Abdullah bin Hadzafah. Perang antara kedua belah pihak berlangsung cukup lama. Kaesar Romawi takjub terhadap keteguhan kaum muslimin dan keberanian mereka dalam menyongsong kematian, keinginan mereka untuk mati sebanding bahkan lebih besar daripada keinginan mereka untuk hidup.

Perang telah usai, beberapa kaum muslimin terjerat dalam rantai tawanan. Kaesar meminta seorang tawanan muslim dihadirkan di depannya. Mereka membawa Abdullah bin Hadzafah dengan menyeret rantai di kedua tangannya dan kakinya. Kaesar berbicara kepadanya, “Pindahlah kamu ke agama Nasrani, aku akan membebaskanmu.”
Ibnu Hadzafah, “Tidak.”
Kaesar berkata, “Masuklah ke Nasrani, aku memberi kamu setengah kerajaanku.”
Ibnu Hadzafah, “Tidak.”
Kaesar berkata, “Masuklah ke Nasharni, aku memberimu setengah kerajaanku dan aku memberimu kekuasaan bersamaku.”
Ibnu Hadzafah menjawab, “Tidak, demi Allah. Seandainya kamu memberiku kerajaanmu, kerajaan bapakmu, kerajaan Arab dan kerajaan orang-orang Ajam agar aku meninggalkan agamaku sekejap mata niscaya aku tidak akan pernah melakukannya.”
Kaesar marah besar, dia berkata, “Aku membunuhmu.”
Ibnu Hadzafah, “Lakukanlah.”

Seterusnya Ibnu Hadzafah dibentangkan di sebuah kayu. Lalu kaesar memerintahkan pasukan pemanah untuk mengelilinginya. Kaesar masih menawarkan kepada Ibnu Hadzafah agar masuk Nasrani, sementara Ibnu Hadzafah tetap menolak sambil menunggu kematian. Manakala kaesar melihat keteguhannya dia memerintahkan agar Ibnu Hadzafah dijebloskan ke penjara dan tidak diberi makanan dan minuman sehingga Ibnu Hadzafah hampir mati karena kelaparan dan kehausan.

Lalu mereka menyuguhkan khamr dan daging babi kepadanya. Ibnu Hadzafah berkata, “Demi Allah, aku memang terpaksa. Makanan ini dibolehkan dalam agamaku dalam kondisi seperti ini, akan tetapi aku tidak ingin membahagiakan orang-orang kafir dengan memakan dan meminumnya.”

Ibnu Hadzafah tidak menyentuh makanan itu. Maka Kaesar menyuguhkan makanan yang lezat dan mengirim seorang wanita cantik untuk merayunya berbuat tidak baik, wanita yang benar-benar cantik. Wanita itu mulai bergoyang, meliuk-liuk dan bertingkah mengundang di depan Ibnu Hadzafah. Sementara Ibnu Hadzafah berpaling dan tidak menengok kepadanya.

Manakala wanita itu mengetahui tanggapan Ibnu Hadzafah, dia meninggalkannya dengan marah dia berkata, “Kalian mengirimku kepada seseorang, aku tidak tahu dia itu manusia atau batu. Dia bahkan tidak tahu aku ini perempuan atau laki-laki.”

Kaesar putus asa. Dia memerintahkan agar sebuah bejana kuningan disiapkan dan diisi minyak dengan api di bawahnya. Ibnu Hadzafah dibawa mendekat. Pada saat yang sama seorang tawanan muslim yang terikat dengan rantai digiring mendekat. Lalu dia dilempar ke dalam bejana minyak panas itu. Dia matang dengan tulang-tulang yang mengapung di permukaan minyak. Abdullah bin Hadzafah melihatnya. Kaesar melihat kepada Ibnu Hadzafah dan kembali menawarkan masuk Nasrani kepadanya, dia tetap menolak. Kaesar semakin murka, dia memerintahkan agar dia dilempar ke dalam minyak. Mereka menyeret Ibnu Hadzafah. Manakala dia merasakan panasnya api dia menangis. Air matanya menetes.

Kaesar tersenyum mengira telah berhasil meluluhkan keteguhan Ibnu Hadzafah, maka dia berkata, “Masuklah ke Nasrani, aku memberimu… aku menjadikanmu…
Abdullah menjawab, “Tidak.”
Kaesar bertanya, “Lalu mengapa kamu menangis?”
Abdullah menjawab, “Aku menangis, demi Allah, karena aku hanya memiliki satu nyawa yang dilempar ke bejana ini. Aku berharap mempunyai nyawa sebanyak hitungan rambut kepalaku dan semuanya mati di jalan Allah seperti kematianku saat ini.”
Kaesar yang sedang berada di puncak keputusasaannya berkata, “Cium kepalaku, aku melepaskanmu.”
Abdullah menjawab, “Dan seluruh teman-temanku yang engkau tawan.”
Kaesar berkata, “Ya.” Abdullah melakukannya maka dia dibebaskan bersama teman-temannya yang lain.

Keteguhan yang mengungguli baja, tidak mengherankan karena Ibnu Hadzafah dan orang-orang sepertinya adalah alumni madrasah Muhammad saw. Benar Muhammad saw adalah guru dari orang-orang seperti Ibnu Hadzafah. Sebelumnya Muhammad saw sendiri telah mencatatkan namanya di bidang ini.

Pemuka kaum Quraisy menghadap kepada Abu Thalib paman Nabi saw, “Wahai Abu Thalib, sesungguhnya kami tetap memandang usia, kebangsawanan dan kedudukanmu, sebelum ini kami telah memintamu untuk mencegah keponakanmu itu, namun sepertinya kamu tidak melakukannya. Demi Allah, kami sudah tidak tahan lagi dengan penghinaannya terhadap nenek moyang kami, menganggap kami sesat dan mencemooh tuhan-tuhan kami. Cegahlah dia, jika tidak maka kami akan membuat perhitungan dengannya dan setelah itu kita lihat siapa di antara dua pihak yang akan binasa.”

Ultimatum keras bagi Abu Thalib, maka dia menemui keponakannya, “Wahai keponakanku, kaummu telah mendatangiku, mereka mengatakan ini dan itu kepadaku, kasihanilah dirimu dan diriku, jangan membebaniku dengan sesuatu yang aku tidak mampu memikulnya.”

Rasulullah saw terenyuh, beliau mengira pamannya menyerah dan tidak lagi berkenan mendukung dan membelanya, maka beliau menjawab, “Wahai paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya sehingga Allah akan memenangkannya atau aku akan binasa karenanya.

Keteguhan, kekuatan dan keberanian, “Allah meneguhkan iman orang-orang beriman dengan ucapan yang teguh di dunia dan di akhirat.” (Ibrahim: 27).
(Izzudin Karimi)