Masalah ini termasuk perkara yang diperdebatkan oleh para ulama sejak dulu, Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat lutut kemudian tangan. Imam Malik dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain berpendapat tangan kemudian lutut. Imam Malik dalam riwayatnya yang lain, mushalli memilih dan salah satunya tidak lebih utama dari yang lain. Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ III/421 berkata, “Tarjih dari sisi sunnah tidak diketahui.”

Dari Wail bin Hujr berkata, “Aku melihat Nabi saw, apabila beliau sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i).

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jika salah seorang dari kalian bersujud maka jangan menderum seperti unta, hendaknya dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i).

Penulis melihat bahwa keduanya merupakan sunnah yang shahih dari Rasulullah saw. Yang pertama adalah sunnah fi’liyah dan yang kedua adalah sunnah qauliyah, dan sunnah qauliyah rajih karena ia tidak berkemungkinan, lain halnya dengan sunnah fi’liyah yang mempunyai kemungkinan lain.

Duduk Istirahat

Yang dimaksud dengannya adalah duduk sejenak setelah bangun dari sujud kedua sebelum bangkit berdiri pada rakaat ganjil.

Madzhab asy-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, mustahab. Madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain, tidak mustahab.

Madzhab pertama berdalil kepada hadits Malik bin al-Huwairits berkata, “Aku melihat Nabi saw, apabila beliau dalam rakaat witir beliau tidak bangkit sebelum duduk dengan tenang.” (HR. Al-Bukhari).

Madzhab kedua berdalil kepada hadits Wail bin Hujr berkata, “Apabila Nabi saw mengangkat kepala dari sujud beliau langsung bangkit dengan takbirnya.” (Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa`i).

Hadits pertama lebih tinggi derajat keshahihannya, namun demikian masalah ini bisa disikapi dengan mengatakan, yang pertama sunnah dan yang kedua juga sunnah, dan yang pertama lebih utama. Wallahu a’lam.

Cara bangkit ke rakaat kedua

Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat, mushalli bangkit dengan bertumpu kepada kedua tangannya. Imam Abu Hanifah berpendapat, mushalli bangkit tidak bertumpu kepada kedua tangannya tetapi bertumpu kepada ujung telapak kakinya.

Pendapat pertama berdalil kepada hadits Ayyub as-Sikhtiyani dari Abu Qilabah, dia berkata, Malik bin al-Huwairits datang kepada kami, dia berkata, “Aku akan shalat, sebenarnya aku tidak ingin shalat. Aku hanya ingin menunjukkan kepada kalian bagaimana Rasulullah saw shalat.” Ayyub bertanya kepada Abu Qilabah, “Bagaimana shalatnya?” Abu Qilabah menjawab, “Seperti syaikh kami ini.” Maksudnya adalah Amru bin Salamah. Ayyub berkata, “Syaikh yang dia maksud itu menyempurnakan takbir, jika dia mengangkat kepalanya dari sujud kedua, dia duduk dan bertumpu ke tanah kemudian dia bangkit.” (HR. Al-Bukhari).

Pendapat kedua berdalil kepada hadits Abu Hurairah berkata, “Rasulullah saw bangkit di dalam shalat dengan bertumpu kepada bagian depan kakinya.” (HR. At-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Dari Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw melarang seorang laki-laki bertumpu kepada kedua tangannya jika dia bangkit di dalam shalat.” (HR. Abu Dawud).

Pendapat pertama rajih karena haditsnya shahih. Sementara hadits pendapat kedua tidak lepas dari perbincangan. Hadits Abu Hurairah didhaifkan oleh at-Tirmidzi dan al-Baihaqi. Hadits Ibnu Umar menurut Imam an-Nawawi dhaif karena ia dari riwayat Muhammad bin Abdul Malik al-Ghazali, majhul. Wallahu a’lam.

Faidah, Syaikh al-Albani dalam Shifah Shalah an-Nabi saw menyebutkan riwayat,

كَانَ يَعْجِنُ فِي الصَلاةِ يَعْتَمِدُ عَلىَ يَدَيْهِ إِذَا قاَمَ

“Nabi saw mengepal di dalam shalat, beliau bertumpu kepada kedua tangannya jika beliau bangkit.” (Diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Harbi dengan sanad yang layak).

Hukum tahiyat awal

Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i berpendapat sunnah. Imam berkata, “Jika ditinggalkan dengan sengaja maka shalatnya batal, jika lupa maka sujud sahwi.”
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Buhainah berkata, “Rasulullah saw shalat Zhuhur bersama kami, beliau bangkit di rakaat kedua dan tidak duduk, ketika beliau (hendak) menyelesaikan shalat, beliau sujud dua kali kemudian salam.”

Bacaan shalawat pada tahiyat awal

Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dalam qaul qadim dan Ahmad berkata, tidak disyariatkan. Imam asy-Syafi’i dalam qaul jadid berkata disyariatkan. Imam an-Nawawi berkata, “Inilah pendapat yang shahih menurut rekan-rekan kami.”
Benar, pendapat yang shahih adalah yang kedua berdasarkan keumuman perintah bershalawat kepada Nabi saw dalam tasyahud tanpa membedakan antara yang pertama dan yang kedua.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Kaab bin Ujrah, kami berkata kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepadamu –Yakni dalam tasyahud- Lalu bagaimana kami bershalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ala Muhammad …Dan seterusnya. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)