“Jika saja Syarla Martell al-Hamaji tidak mengalahkan al-Ghofiqi beserta pasukan musliminnya, maka Spanyol akan tetap hidup tenang dengan kedamaian Islam, dan kemajuan eropa tidak akan tertunda delapan abad lamanya.” (Ahli Sejarah Eropa)

Seorang penyair asal Inggris yang bernama Southy menggambarkan tentang pasukan muslimin yang memerangi Eropa setelah dibukanya Andalus*, ia berkata, “Pasukan perang yang tak terhitung jumlahnya, mereka berasal dari bangsa Arab, Barbar, Romawi, Persia, Qibth dan Tatar yang telah bergabung di bawah satu bendera. Yang menyatukan mereka adalah keimanan yang kokoh, keperwiraan yang tangguh, semangat yang berkobar bagaikan bara api dan persaudaraan yang erat yang tidak dapat terpisahkan. Panglima pasukan mereka sangat optimis akan memenangkan peperangan setelah mereka terlena dengan kemenangan-kemenangan besar sebelumnya, mereka yakin kekuatan mereka tidak ada yang menandinginya, sebagaimana mereka juga yakin bahwasanya pasukan mereka tidak akan merasa keletihan dalam berperang. Pasukan muslimin selalu maju sebagai perwira yang telah berkobar api semangatnya sebagaimana awal mula mereka berperang, mereka yakin bahwasanya kemanapun mereka melangkah, kemenangan akan selalu menyertainya. Mereka akan selalu maju ke depan sehingga mereka dapat menaklukan bangsa barat sebagaimana mereka telah dapat menaklukan bangsa timur yang akan menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan kepada nama Muhammad. Sehingga orang yang berhaji akan datang dari segala penjuru dunia, dengan keimanan mereka menginjakkan kaki di atas kerikil panas yang tersebar di padang pasir arab dan berdiri di atas tanah Makkah yang tandus.”

Apa yang telah engkau katakan tidaklah jauh dari kenyataan wahai penyair, sungguh pasukan Muslimin yang dipimpin oleh para Mujahid untuk mengeluaran bapak moyang kalian dari kejahiliyahan adalah persis seperti yang telah engkau gambarkan. Mereka berasal dari Arab yang telah kuat keimanannya kepada Allah, dari Syam, Hijaz, Nejed, Yaman dan dari segala penjuru yang ada di Jazirah Arab, mereka datang menyerbu seperti hembusan angina timur yang sangat kencang. Di antara mereka juga ada pasukan perang dari Barbar yang mulia dengan Islam, mereka datang menyerbu dari atas gunung Athlas** bagaikan banjir bandang. juga pasukan perang dari Persia yang telah meninggalkan agama atheis dan kembali ke agama Tauhid. Pasukan dari Romawi yang telah keluar dari kegelapan menuju cahaya Islam. Dan di tengah-tengah mereka juga ada pasukan dari Qibth yang telah membebaskan diri mereka dari penghambaan terhadap raja-raja Romawi sehingga mereka dapat hidup merdeka di bawah naungan Islam sebagaimana mereka dilahirkan dalam keadaan merdeka.

Memang, pasukan Muslimin yang dipimpin oleh Abdur Rahman al-Ghofiqi dan para panglima sebelumnya untuk menolong nenek moyang kalian bangkit dari kubangan kejahiliyahan, di antara mereka adalah bangsa berkulit hitam dan bangsa berkulit putih, dari arab dan non Arab. Akan tetapi mereka telah melebur menjadi satu di bawah bendera Islam, dan dengan karunia Allah mereka menjadi saudara antara yang satu dengan yang lainnya.

Keinginan mereka adalah mengajak bangsa barat masuk ke dalam agama Allah sebagaimana yang telah dilakukan kepada bangsa timur sebelumnya, mengajak semua manusia untuk tunduk patuh kepada Tuhan mereka, agar cahaya Islam menyebar ke penjuru dunia dan menyamakan keadilan antara rakyat dan penguasa. Mereka telah bertekad keras mengorbankan jiwa raga mereka untuk menunjuki kalian kepada Allah dan menolong kalian dari api neraka.

Ini adalah kisah terakhir dari perjalanan pasukan mislimin yang dipimpin oleh pahlawan sejati Abdur Rahman bin Abdillah al-Ghofiqi.

Telah sampai kepada Duck Oktania kabar mengejutkan tentang kekalahan menantunya yang bernama Utsman bin Abi Nus’ah dan kabar menyedihkan yang dialami oleh anak perempuannya yang bernama Minin. Dia merasakan genderang perang telah ditabuh dan dia yakin bahwasanya Singa Islam Abdur Rahman al-Ghofiqi akan segera masuk ke wilayahnya pada waktu sore atau pagi hari. Dia harus bersiap-siap untuk mempertahankan setiap jengkal tanahnya dengan mati-matian, bersiap dari pertarungan sengit yang akan ia hadapi, sebuah pertarungan yang akhirnya adalah membunuh atau dibunuh. Dia takut akan menjadi tawanan perang umat Islam sebagaimana yang dialami oleh anak perempuannya Minin, sebagaimana dia juga sangat takut kepalanya dipenggal dan dikelilingkan di pasar-pasar Damaskus seperti yang dialami oleh Loderic raja Spanyol sebelumnya.

Abdur Rahman al-Ghofiqi tidak mendustakan apa yang disangkakan oleh Duke. Dengan bala tentaranya yang sangat banyak ia datang dari arah utara Spanyol seperti datangnya badai. Dari arah selatan Perancis pasukannya bertumpah ruah dari atas gunung Pyrenees bagaikan banjir bandang. Pada waktu itu pasukannya berjumlah seratus ribu mujahid, setiap dari mereka mempunyai hati singa dan semangat menggelora yang takkan pernah padam.

Pasukan Muslimin menuju pinggiran kota Arles*** yang terletak di tepi sungai Arron, mereka akan bikin perhitungan dengan penduduk kota tersebut. Yang demikian karena pada mulanya Arles telah membuat kesepakatan dengan kaum Muslimin untuk membayar Jizyah. Akan tetapi tatkala as-Samhu bin Malik al-Khaulani gugur dalam medan pertempuran Toulouse dan pasukan Muslimin menjadi lemah setelah kematiannya, mereka melanggar kesepakatan tersebut dan membatalkan perjanjian serta enggan membayar jizyah.

Ketika Abdur Rahman al-Ghofiqi sampai Arles, ia mendapati bahwasanya Duke Octania telah mempersiapkan pasukannya di kota tersebut dan menaruh bala tentaranya di sekitar perbatasan-perbatasan untuk menghalangi pasukan Muslimin masuk.

Maka tak lama kemudian bertemulah dua pasukan besar tersebut dan peperangan antara dua kubu tak terelakkan lagi. Abdur Rahman al-Ghofiqi selaku panglima perang Muslimin mengomando pasukannya yang cinta syahid lebih dari kecintaan para musuh terhadap kehidupan, mereka mengguncang pertahanan musuh dan memporak-porandakan barisan mereka. Sampai akhirnya pasukan Muslimin dapat memasuki kota Arles dengan kemenangan yang gemilang. Mereka membantai para musuh-musuh Allah yang telah menghianati perjanjian dan membawa harta rampasan perang yang sangat banyak sekali.

Adapun Duke maka ia telah lari bersama sebagian pasukannya yang dapat selamat untuk kemudian mempersiapkan pasukan yang lebih besar untuk pertemuan babak selanjutnya, karena diketahui bahwasanya peperangan di Arles hanyalah permulaan.

Abdur Rahman al-Ghofiqi bersama bala tentaranya yang gagah berani kemudian menyeberang sungai Garonne**** dan berkeliling memeriksa daerah kekuasaan Oktania, sehingga kota-kota dan dan perkampungan yang ia lewati saling berjatuhan di tangannya seperti jatuhnya dedaunan dari pepohonan pada musim gugur jika diterjang angin puyuh.

Sehingga pasukan Muslimin mendapatkan harta rampasan perang yang lebih banyak lagi, harta rampasan yang tidak pernah mereka lihat dan mereka dengar sebelumnya.

Kemudian Duke Oktania mencoba melawan pasukan Muslimin untuk yang kedua kalinya, maka peperangan sengit pun terjadi lagi. Akan tetapi pada akhirnya pasukan Muslimin dapat memukul mundur pasukan musuh dan mengalahkan mereka dengan kekalahan yang menghancurkan, mereka meninggalkan pasukan musuh antara terbunuh, menjadi tawanan perang atau lari kocar-kacir.

Kemudian pasukan Muslimin menuju kota Bordeaux, kota terbesar prancis pada saat itu yang merupakan ibu kota daerah Octania. Di kota tersebut terjadilah peperangan yang tak kalah dahsyatnya, akan tetapi pada akhirnya kota besar tersebut pun jatuh di hadapan pasukan Muslimin seperti kota-kota lainnya, dan pemimpin mereka mati terbunuh bersama sebagian pasukannya. Di sini pasukan muslimin dapat harta rampasan kembali.

Jatuhnya Bordeaux di tangan pasukan Muslimin adalah kunci pembuka dari jatuhnya kota-kota besar selanjutnya, dan yang paling penting adalah kota Lyon*****, Besancon****** dan Sens. Kota yang terakhir tersebut tidak jauh dari Paris, yaitu hanya berjarak kurang dari seratus mil.

Negara-negara Eropa dari ujung ke ujung merasa terguncang dengan jatuhnya setengah wilayah Prancis selatan di tangan Abdur Rahman al-Ghofiqi hanya dalam jangka waktu beberapa bulan saja. Mata mereka melihat adanya ancaman yang sangat berbahaya. Teriakan minta tolong terdengar di setiap tempat yang menggugah orang kuat maupun orang lemah untuk menghadapi ancaman terror dari timur, yang mendorong mereka untuk menghadapinya dengan dada jika tidak ada pedang, dan mengajak mereka menghadapinya dengan jasad mereka jika tidak punya peralatan perang. Maka bangsa-bangsa Eropa menjawab panggilan tersebut, dan mereka semua bergabung di bawah bendera Syarta Martell. Di antara mereka ada yang membawa kayu, batu, dan senjata-senjata lainnya yang dapat mereka temukan.

Pada saat itu pasukan Muslimin telah sampai di kota Tours yang merupakan gerbang kota-kota Prancis yang berpenduduk padat, berbangunan kokoh dan terkenal dalam sejarah.

Kota tersebut lebih maju dan lebih ramai dari kota-kota Eropa lainnya karena memiliki gereja yang banyak dan besar, bangunan-bangunan kokoh dan harta kekayaan yang tak ternilai.

Maka kemudian pasukan muslimin mengepung mereka seperti kalung yang melingkar di leher dan menyerang mereka dengan gagah berani sampai akhirnya kota itupun dapat dikuasai.

Pada sepuluh terakhir bulan Sya’ban tahun 104 H, Abdur Rahman al-Ghofiqi beserta bala tentaranya menyerang kota Poitiers. Di kota tersebut mereka bertemu dengan pasukan Eropa yang dipimpin langsung oleh Syarla Martell. Maka kemudian terjadilah peperangan yang dahsyat antara dua pasukan, sebuah perang pemisah yang terjadi bukan hanya dalam sejarah Muslimin dengan Eropa saja, akan tetapi peperangan yang akan terus terjadi dalam sejarah manusia. Perang dahsyat yang terjadi di kota Poitiers tersebut dikenang dengan perang Balath Syuhada (medan para syuhada).

Pada saat itu pasukan Muslimin berada dalam puncak kemenangan yang gemilang, akan tetapi punggung-punggung mereka terbebani dengan banyaknya harta rampasan perang yang mereka dapatkan dari peperangan-peperangan lalu. Abdur Rahman al-Ghofiqi melihat keadaan tersebut dengan rasa cemas dan khawatir. Ia tidak mau tatkala bertemu dengan musuh nanti hati mereka disibukkan dengan harta rampasan tersebut, sehingga mereka tidak konsentrasi tatkala berperang. Ia ingin sekali menyuruh para pasukannya melepaskan semua itu, akan tetapi ia juga khawatir apabila mereka tidak rela dengan keputusan tersebut. Maka ia tidak menemukan jalan terbaik kecuali dengan mengumpulkan harta rampasan mereka di kemah-kemah yang didirikan di belakang medan pasukan.

Maka kemudian dua pasukan besar itu saling berhadapan, akan tetapi selama beberapa hari mereka saling diam dan waspada seperti pemandangan dua gunung agung yang saling berhadapan.

Setiap dari mereka takut akan kekuatan musuh dan penuh perhitungan untuk bertemu dengannya.

Maka tatkala keadaan seperti ini berlangsung agak lama, dan Abdur Rahman al-Ghofiqi mendapati semangat pasukannya sudah menyala dan bersiap untuk bertempur, ia berpikir untuk mendahului menyerang pasukan musuh dengan rasa optimis bahwasanya kemenangan pasti akan berada di pihaknya.

Kemudian dengan kudanya Abdur Rahman al-Ghofiqi menyerbu barisan pasukan musuh bagaikan singa kelaparan yang diikuti oleh bala tentaranya, maka terjadilah pertempuran sengit antara dua pasukan yang sangat besar. Dan di hari pertama pertempuran selesai tanpa ada yang menang ataupun yang kalah, tidak ada yang memisahkan dua pasukan tersebut kecuali turunnya kegelapan di medan pertempuran.

Kemudian di pagi hari kedua mereka memulai kembali pertempuran tersebut. Pasukan Muslimin mencoba dengan sekuat tenaga untuk menyerang bala tentara Eropa, akan tetapi mereka belum juga dapat mengalahkannya. Dan keadaan perang seperti ini terus berlangsung sampai tujuh hari berturut-turut. Maka tatkala pada hari ke delapan pasukan Muslimin dapat memukul mundur pasukan musuh, mereka dapat membuka celah pada barisan musuh yang tampak padanya cahaya kemenangan seperti tampaknya cahaya subuh pada sela-sela kegelapan.

Akan tetapi pada saat demikian sekelompok pasukan Eropa mendatangi tempat perkemahan harta rampasan perang milik pasukan Muslimin untuk menjarahnya. Maka tatkala pasukan Muslimin melihat harta rampasan mereka sedang di jarah, banyak di antara mereka yang mundur ke perkemahan untuk merebut kembali harta mereka, sehingga barisan Muslimin menjadi tercerai berai dan kekuatan mereka menjadi melemah. Melihat keadaan tersebut panglima besar Abdur Rahman al-Ghofiqi mencoba mengembalikan sebagian pasukan yang mundur agar kembali ke medan perang sambil tetap menghadapi pasukan musuh dan mencoba menutup tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan musuh. Dan pada saat yang genting demikian tiba-tiba ada sebuah anak panah yang terbang kemudian menghunjam tubuh sang pahlawan Islam Abdur Rahman al-Ghofiqi, maka kemudian ia roboh dan jatuh dari kuda tunggangannya seperti jatuhnya sang elang dari puncak gunung. Lalu gugurlah pahlawan besar tersebut di tengah-tengah medan perang dalam keadaan syahid.

Demi melihat apa yang terjadi, pasukan Muslimin kemudian dicekam kepanikan dan diliputi kegoncangan, dan semakin besarlah serangan musuh terhadap mereka, tidak ada yang menghentikan bencana tersebut kecuali datangnya gelap malam.

Tatkala datang waktu subuh Syarla Martell mendapati bahwasanya pasukan Muslimin telah mundur dari Poitiers. Ia tidak berani menyerang kembali dan mengusir pasukan Muslimin, walaupun jikalau ia melakukannya maka niscaya ia dapat membinasakan mereka semua. Hal itu tidak dilakukannya karena ia takut kalau ternyata mundurnya pasukan Muslimin adalah siasat perang mereka yang telah diatur pada malam hari. Maka kemudian ia merasa cukup puas dengan kemenangan besar ini.

Hari Balathus Syuhada adalah hari yang kelam dalam sejarah Islam. pasukan Muslimin telah kehilangan cita-citanya yang sangat besar dan kehilangan salah seorang pahlawan besar Islam. Pada hari itu telah terulang kembali kejadian kelam hari uhud*******. Hal ini merupakan Sunnatullah bagi hambanya, dan kamu sama sekali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.

Berita tentang kejadian pada hari Balathus Syuhada telah mengguncang setiap muslim di manapun ia berada. Kesedihan yang mendalam telah menyebar di setiap relung kota, desa dan rumah yang dihuni oleh kaum Muslimin. Luka itu masih membekas sampai hari ini dan akan terus teringat sampai kapanpun.

Dan engkau jangan mengira bahwasanya kesedihan itu hanyalah dirasakan oleh kaum Muslimin saja, akan tetapi ia juga dirasakan oleh sebagian orang-orang Eropa yang berakal. Mereka melihat bahwasanya kemenangan bapak moyang mereka atas pasukan Muslimin di Poitiers adalah sebuah musibah besar dan kerugian nyata yang telah menimpa Eropa. Dan jika engkau ingin mengetahui sebagian pandangan mereka tentang kejadian Balathus Syuhada maka dengarlah apa yang dikatakan oleh Henry de Syamphoon direktur majalah Ricco Parlementer Prancis, dimana ia berkata, “Jika saja Syarla Martell yang kejam tidak mengalahkan pasukan muslimin di Prancis, maka Negara kita tidak akan berada dalam kegelapan selama pertengahan abad ini, dan tidak akan ditimpa kengerian yang tidak kita inginkan, serta pertumpahan darah antar golongan yang didasari fanatic agama atau aliran tidak akan terjadi. benar, Jika saja pasukan Eropa tidak mengalahkan pasukan muslimin di Poitiers maka Spanyol akan tetap hidup tenang dengan kedamaian Islam dan selamat dari kejahatan Mahakimut Taftisy******** sebagaimana kemajuan eropa tidak akan tertunda selama delapan abad. Meskipun pandangan dan sikap kami tentang kemenangan ini saling berbeda, akan tetapi kami tetap merasa terima kasih kepada kaum Muslimin terhadap apa yang telah mereka lakukan bagi kemajuan kami dalam hal ilmu pengetahuan, kebudayaan dan perindustrian. Kami mengakui kebesaran dan kesempurnaan mereka pada saat kami dalam kungkungan kelaliman. Dan adalah bohong jikalau pada hari ini dari kami ada yang mengatakan bahwasanya zaman telah kembali seperti sedia kala, dan bahwasanya pada zaman ini kaum muslimin telah mencapai seperti apa yang pernah kami capai pada pertengahan abad silam.

CATATAN:

Untuk menambah pengetahuan tentang Abdur rahman al-Ghofiqi dan kejadian Poitiers, silahkan baca referensi berikut:
1. Ibnul Atsir: 5/64
2. Ghazawatul ‘Arab: 87-102
3. al-Bayan al-Maghrib: 2/26-28
4. Nafhutthyb: 1/480
5. Jamharotul Ansab: 309
6. Ulamaul Andalus karya Ibn al-Faradhi: 214
7. Jadzwatul Muqtabas: 253-255

* Diambil dari karya Southy: Roderic the Last 08 Gorths.
** Gunung Athlas, yaitu pegunungan yang terletak di antara tepi barat arab dan Asbania
*** Sebuah kota yang terletak di sebelah sebelah selatan Prancis
**** Sebuah sungai yang terletak di sebelah barat daya Prancis
***** Kota yang terletak di sebelah tenggara Prancis, ia merupakan benteng pertahanan bagi Arron
****** Kota yang terletak di sebelah timur Prancis, merupakan benteng pertaanan bagi Dou
******* Yaitu ketamakan sebagian muslimin terhadap harta rampasan perang yang menyebabkan kekalahan mereka
******** Sebuah pengadilan yang dilakukan oleh Ferdinand dan ratu Isabella terhadap orang-orang Islam di Andalus, mereka telah melakukan kejahatan yang sangat kejam terhdap orang-orang Islam