Tangan kanan terbuka diletakkan di atas paha kanan, tangan kiri terbuka diletakkan di atas paha kiri, kedua tangan menghadap kiblat, atau kedua tangan mengenggam kedua lutut.

Imam asy-Syafi’i berkata, “Sunnah dalam dua tasyahud meletakkan tangan kiri di atas paha kiri, tangan kanan di atas paha kanan, membuka tangan kiri ke arah kiblat dan meletakkan dekat dengan lutut.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair berkata, “Jika Rasulullah saw duduk di dalam shalat, beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau menunjuk dengan jarinya.”

Dalam riwayat Muslim yang lain, “Beliau menunjuk dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jarinya di atas jari tengahnya sementara tangan kirinya menggenggam lututnya.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar berkata, “Apabila Rasulullah saw duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kiri di atas paha kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, beliau membentuk bilangan lima puluh tiga dan menunjuk dengan jari telunjuknya.”

Dari hadits Ibnu az-Zubair dan Ibnu Umar kita mengetahui keadaan tangan kanan pada saat memberi isyarat, yaitu dengan menarik tiga jari: kelingking, jari manis dan jari tengah ke dalam telapak tangan sementara jari telunjuk menunjuk dan ibu jari di atas jari tengahnya seperti dalam hadits Ibnu az-Zubair, atau ibu jarinya di bawah jari telunjukknya dekat ke telapak tangannya seperti dalam hadits Ibnu Umar.

Cara lain seperti dalam hadits Wail bin Hujr yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Baihaqi, “Nabi saw meletakkan tangan kanan di atas paha kanan, beliau menarik jari kelingking dan jari manisnya, mempertemukan ujung ibu jari dengan ujung jari tengah dan mengangkat jari telunjuknya menunjuk dengannya.” Imam anNawawi berkata, “Sanadnya shahih.”

Kapan telunjuk diangkat?

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ berkata, “Rekan-rekan kami menyatakan, sunnah menunjuk dengan telunjuk kanan lalu mushalli mengangkatnya jika dia sampai pada hamzah لاإله إلالله.” Maksudnya adalah pada إلا.

Apakah telunjuk diam atau digerakkan?

Dari tiga hadits ini kita juga mengetahui bahwa termasuk sunnah pada saat tasyahud menunjuk dengan jari telunjuk. Apakah jari telunjuk digerakkan? Ketiga riwayat di atas mendiamkannya, tidak menyinggungnya.

Imam an-Nawawi berkata, “Pendapat yang shahih adalah tidak digerakkan, ini adalah pendapat jumhur ulama, seandainya dia menggerakkan maka ia makruh dan tidak membatalkan shalat.”

Pendapat ini berdalil kepada hadits-hadits di atas yang tidak menyinggung menggerakkan, hal ini juga didukung oleh hadits Abdullah bin az-Zubair yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, “Nabi saw menunjuk dengan jarinya jika beliau berdoa dan tidak mengerakkannya.” Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih.”

Imam Malik dan Ahmad berpendapat menggerakkan berdasarkan hadits Wail bin Hujr, “Beliau menunjuk dengan jarinya, aku melihatnya menggerakkannya berdoa dengannya.” (HR. Al-Baihaqi. An-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih.”).

Pendapat yang lebih dekat adalah pendapat yang kedua, sebab hadits pendapat kedua menetapkan sedangkan hadits pendapat pertama mendiamkan. Dalil yang menetapkan lebih patut untuk diambil.

Faidah-faidah tentang isyarat

1- Isyarat ke arah kiblat, seandainya mushalli menggerakkannya maka dia menggerakannya dengan tetap menghadapkannya ke arah kiblat.
2- Isyarat ini merupakan isyarat tauhid dan ikhlas. Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas.
3- Isyarat cukup dengan satu jari, yaitu telunjuk kanan, makruh dengan dua jari atau dua telunjuk.
4- Seandainya mushalli tidak mempunyai telunjuk kanan maka jari yang lain tidak menggantikannya, karena hal itu berakibat ditinggalkannya sunnah pada jari yang lain.

5- Pada saat duduk tahiyat pandangannya tidak melebihi isyaratnya. Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu az-Zubair berkata, “Nabi saw meletakkan tangan kanan, menunjuk dengan jarinya dan (pandangannya) tidak melebihi isyaratnya.” Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih.” (Al-Majmu’ III/455).

Tasyahud

Imam an-Nasa`i dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Jabir tentang lafazh tasyahud yang diawali dengan ucapan, “Bismillah wabillah at-tahiyyat…dan seterusnya.
Hadits ini dhaif menurut para ulama hadits, di antara yang mendhaifkannya adalah al-Bukhari, an-Nasa`i, al-Baihaqi, al-Baghawi dan lainnya.

Assalamu alaika ayyuhan nabi atau as-salamu alan nabi?
Dalam lafazh tasyahud yang Nabi saw ajarkan kepada para sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Umar, Ibnu Umar dan Abu Musa al-Asy’ari, السلام عليك أيها النبي,

Sementara dalam hadits Aisyah, السلام على النبي (HR. Ibnu Abu Syaibah dan as-Siraj dalam Musnadnya. Al-Albani berkata, “Sanad keduanya shahih.”) Dalam tasyahud Ibnu Mas’ud terdapat tambahan dari ucapan Ibnu Mas’ud, “Kami mengucapkan, ‘Assalamu alaika ayyuhan nabi’ pada saat beliau ada di antara kami, namun ketika beliau wafat kami mengucapkan, ‘Assalamu alan nabi.”

Lafazh pertama lebih utama sebab ia diriwayatkan secara shahih dalam beberapa hadits sekaligus yang diajarkan oleh Nabi saw tanpa membedakan, Nabi saw tidak bersabda, “Jika aku mati atau setelah aku mati maka ucapkanlah, ‘Assalamu alan nabi.” Seandainya lafazh tersebut mesti dirubah setelah beliau wafat dengan assalamu alan nabi, niscaya Nabi saw akan menjelaskannya. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud merupakan ijtihad pribadi. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)