MUKADDIMAH

Mulai hari ini, kajian dalam syarah hadits akan mengetengahkan hadits-hadits yang terhimpun di dalam Kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah. Yaitu, koleksi sebanyak 40 Hadits yang dikategorikan sebagai Jawami’ al-Kalim.

Materi ini berisi syarah (penjelasan) hadits-hadits tersebut oleh pengarang aslinya, Imam an-Nawawi, kemudian oleh Ibn Daqiq al-‘Ied, Syaikh Nashir as-Sa’di dan juga Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahumllah.
Mudahan-mudahan bermanfaat bagi kita semua.!

TEKS HADITS

عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رضي الله عنه، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ a فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ a وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ اْلبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِاْلقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ قَالَ مَا اْلمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى اْلحُفَاةَ اْلعُرَاةَ اْلعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي اْلبُنْيَانِ قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ قُلْتُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ.

Dari Umar bin al-Khaththab RA, ia mengatakan, “Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW pada suatu hari, tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih pakaiannya, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh, dan tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Hingga ia menghampiri Nabi SAW lalu menyandarkan kedua lututnya pada dua lutut beliau, dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau seraya mengatakan, ‘Wahai Muhammad, kabarkan kepadaku tentang Islam.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Islam ialah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah jika kamu mampu me-nempuh perjalanan kepadanya.’ Ia mengatakan, ‘Kamu benar.’ Kami heran kepadanya, ia bertanya kepadanya dan membenarkannya. Ia mengatakan, ‘Sampaikan kepadaku tentang iman.’ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, dan beriman kepada qadar, baik dan bu-ruknya.’ Ia mengatakan, ‘Kamu benar.’ Ia mengatakan, ‘Sampaikan kepadaku tentang ihsan.’ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatNya. Jika kamu tidak melihatNya, maka Dia melihatmu.’ Ia mengatakan, ‘Sampaikan kepadaku tentang Kiamat.’ Beliau menjawab, ‘Orang yang ditanya tentang Kiamat tidak lebih tahu dibandingkan orang yang bertanya.’ Ia mengatakan, ‘Sampaikan kepadaku tentang tanda-tandanya.’ Beliau menjawab, ‘Bila sahaya wanita melahirkan tuannya, dan bila kamu melihat mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tidak berpakaian, fakir, dan penggembala kambing bermegah-megahan dalam bangunan.’ Kemudian laki-laki itu pergi, tapi aku masih tercengang cukup lama. Kemudian beliau bertanya kepadaku, ‘Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya tadi?’ Aku menjawab, ‘Allah dan RasulNya yang lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Ia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajar-kan kepada kalian tentang agama kalian’.”I (HR. Muslim).

SYARAH

1. Imam an-Nawawi

Sabdanya SAW, “Kabarkan kepadaku tentang iman.” Iman, menurut bahasa, ialah kepercayaan secara umum. Sedangkan menurut syariat, ialah ungkapan tentang kepercayaan khusus, yaitu mempercayai Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, dan qadar, baik dan buruknya.II Adapun Islam ialah ungkapan tentang melakukan berbagai kewajiban, yaitu kepatuhan pada amalan zhahir. Allah membedakan antara iman dan Islam, sebagaimana dalam hadits ini. Allah SWT berfirman,
“Orang-orang Arab badui itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kalian belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’.” (Al-Hujurat: 14).

Sebab, kaum munafik itu melaksanakan shalat, berpuasa dan bersedekah, tapi hati mereka mengingkarinya. Ketika mereka mengklaim beriman, Allah mendustakan klaim keimanan mereka, karena mereka mengingkari dengan hati, dan membenarkan klaim keislaman mereka karena mereka menjalankannya. Allah SWT berfirman,
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, ‘Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.’ Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Ra-sulNya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (Al-Munafiqun: 1).

Yakni, klaim kesaksian mereka terhadap kerasulan menyelisihi hati mereka, karena lisan mereka tidak selaras dengan hati mereka. Syarat kesaksian terhadap kerasulan ialah lisan harus selaras dengan hati. Ketika mereka berdusta dalam klaim mereka, Allah menjelaskan kedustaan mereka. Dan tatkala iman menjadi syarat sahnya keislam-an, maka Allah SWT mengecualikan orang-orang yang beriman lagi berserah diri, sebagaimana firmanNya,
“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri.” (Adz-Dzariyat: 35-36).

Ini istitsna muttashil (pengecualian yang bersambung), karena antara syarat dan yang disyaratkan bersambung. Karenanya, Allah menyebut shalat sebagai iman, sebagaimana firmanNya,
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (Al-Baqarah: 143).

Allah SWT berfirman,
“Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.” (Asy-Syura: 52). Maksud iman dalam kedua ayat tersebut adalah shalat.

Sabdanya SAW, “Dan beriman kepada qadar, baik dan buruknya.” Qadar dengan memfathah dal dan mensukunkannya adalah dua logat. Madzhab ahlul haq (golongan yang berada di atas kebenaran) ialah menetapkan qadar. Artinya, Allah SWT menentukan segala sesuatu di masa lampau, dan Dia mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu yang telah ditentukan di sisiNya, dan di tempat-tempat yang telah ditentukannya. Semua itu terjadi sesuai apa yang ditakdirkan Allah.

Ketahuilah, takdir itu ada empat macam:

Pertama, takdir dalam ilmu. Karenanya, dikatakan, inayah (perhatian) itu sebelum wilayah (kecintaan), kebahagiaan sebelum kelahiran, masa mendatang dibangun di atas masa lampau. Allah SWT berfirman,
“Dipalingkan darinya (Rasul dan al-Qur’an) orang yang dipalingkan.” (Adz-Dzariyat: 9).

Yakni, dipalingkan dari mendengarkan al-Qur’an dan beriman kepadanya di dunia, siapa yang telah dipalingkan darinya di masa azali. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak binasa di hadapan Allah, kecuali orang yang binasa.” Yakni, orang yang telah dicatat dalam ilmu Allah bahwa ia akan binasa.

Kedua, takdir yang tercatat di Lauhul Mahfuzh. Takdir ini bisa berubah. Allah SWT berfirman,
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisiNya-lah terdapat Ummul-Kitab (La-uhul Mahfuzh).” (Ar-Ra’d: 39).

Dari Ibnu Umar RA bahwa ia mengatakan dalam doanya, “Ya Allah, jika Engkau menetapkanku sebagai orang yang celaka, maka hapuskanlah, dan catatlah aku sebagai orang yang bahagia.”

Ketiga, takdir di dalam rahim, yaitu bahwa malaikat diperin-tahkan supaya menulis: rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka atau ba-hagia.

Keempat, takdir, yaitu dibawanya berbagai ketentuan kepada waktu-waktu yang ditentukan. Allah menciptakan kebaikan dan keburukan, serta menentukan kedatangannya kepada hamba pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Dalil bahwa Allah menciptakan kebaikan dan keburukan ialah firmanNya,
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka.(Dikatakan kepada mereka), ‘Rasakanlah sentuhan api neraka.’ Sesungguhnya Kami menciptakan segala se-suatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 47-49).

Ayat ini turun berkenaan dengan Qadariyah, dikatakan kepada mereka akan hal itu di neraka Jahannam. Dia berfirman,
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai shubuh, dari kejahatan makhlukNya’.” (Al-Falaq: 1-2).
Bagian ini, jika hamba mendapatkan kemurahan dari Allah, maka ia dipalingkan darinya sebelum sampai kepadanya. Dalam hadits disebutkan,

إِنَّ الصَّدَقَة وَصِلَةَ الرَّحِمِ تَدْفَعُ مِيْتَةَ السُّوْءِ وَتُقَلِّبُهُ سَعَادَةً.

“Sedekah dan silaturrahim dapat menolak kematian yang buruk, dan membalikkannya menjadi kebahagiaan.”III
Dalam hadits lainnya,
إ

ِنَّ الدُّعَاءَ وَاْلبَلاَءَ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ يَقْتَتِلاَنِ، وَيَدْفَعُ الدُّعَاءُ اْلبَلاَءَ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ.

“Sesungguhnya doa dan bala’ berada di antara langit dan bumi da-lam keadaan saling berperang, dan doa menolak bala’ sebelum turun (ke bumi).”IV

Qadariyah menyangka bahwa Allah tidak menentukan segala sesuatu di masa dahulu, ilmuNya tidak mendahuluinya, dan bahwa segala sesuatu itu bersifat spontanitas. Dia hanya mengetahuinya se-telah terjadinya. Mereka berdusta terhadap Allah SWT lewat pernyataan-pernyataan mereka yang dusta. Mahasuci Allah, Mahatinggi lagi Mahabesar. Mereka sudah sirna, dan Qadariyah di masa-masa be-lakangan mulai berpendapat bahwa kebaikan berasal dari Allah, sedangkan keburukan berasal dari selainNya. Mahasuci Allah dari ucapan-ucapan mereka. Shahih dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,

القَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هذِهِ اْلأُمَّةِ.

“Qadariyah adalah Majusi umat ini.”V

Beliau menyebut mereka sebagai Majusi karena madzhab me-reka menyamai madzhab Majusi. Tsanawiyyah (sekte Majusi) menyang-ka bahwa kebaikan itu berasal dari perbuatan cahaya dan keburukan berasal dari perbuatan kegelapan, sehingga mereka menjadi tsana-wiyyah (kaum yang memiliki dualisme keyakinan). Demikian pula Qadariyah menisbatkan kebaikan kepada Allah dan keburukan kepada selainNya, padahal Dialah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Imam al-Haramain berkata dalam kitab al-Irsyad, “Seba-gian Qadariyah mengatakan, ‘Kami bukan Qadariyah, tetapi ka-lianlah yang Qadariyah, karena kalian mengimani hadits tentang qadar.’ Sebagai jawaban atas kaum bodoh semacam mereka, bahwa mereka menisbatkan qadar kepada diri mereka. Siapa yang mengklaim keburukan untuk dirinya dan menisbatkannya kepadanya, lebih utama daripada pihak yang menisbatkan kepada selainnya dan menafikan dari dirinya.VI
Sabdanya,

فَأَخْبِرْنيِ عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ.

[]p“Kabarkan kepadaku tentang ihsan, beliau menjawab, ‘Kamu me-nyembah Allah seolah-olah kamu melihatnya’.”VII

Ini maqam musyahadah. Karena orang yang ditakdirkan dapat menyaksikan al-Malik (Allah, Raja), ia malu berpaling kepada selainNya dalam shalat, dan menyibukkan hatinya dengan selainNya. Maqam (kedudukan) ihsan adalah maqam shiddiqin. Isyarat mengenai hal itu telah disebutkan dalam hadits pertama.

Sabdanya, “Sesungguhnya Dia melihatmu” dalam keadaan lalai, ketika kamu lalai dalam shalat dan dirimu berkata-kata di dalamnya.
Sabdanya,

فَأَخْبِرْنيِ عَنِ السَّاعَةِ، فَقَالَ: مَاْلمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.

“Kabarkan kepadaku tentang Kiamat.’ Beliau menjawab, ‘Orang yang ditanya tentang Kiamat tidak lebih tahu dibandingkan orang yang bertanya’.”

Jawaban ini menunjukkan bahwa beliau tidak tahu kapan kia-mat terjadi, tetapi pengetahuan tentang Kiamat itu hanya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Mengenai hal itu, Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisiNya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat.” (Luqman: 34).

Dia berfirman,
“Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.” (Al-A’raf: 187).

Dia berfirman,
“Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (Al-Ahzab: 63).

Barangsiapa mengklaim bahwa usia dunia adalah 70 ribu tahun, dan masih tersisa 63 tahun, maka ini ucapan batil. Ini dituturkan oleh ath-Thaukhi dalam Asbab at-Tanzil dari sebagian ahli nujum dan ahli hisab. Siapa yang mengklaim bahwa umur dunia adalah tujuh ribu tahun, maka ini meramal perkara ghaib dan tidak halal meyakininya.
Sabda beliau,

فَأَخْبِرْنيِ عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ: أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا.

“Sampaikan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Beliau bersabda, “Bila sahaya wanita melahirkan tuannya.”

Amar dan amarah, dengan menetapkan ta’ dan membuangnya, adalah dua logat. Diriwayatkan: rabbaha dan rabbataha. Mayoritas ber-pendapat, ini adalah pengkabaran tentang banyaknya wanita gundik, dan anak-anaknya, karena anaknya dari tuannya, berkedudukan sebagai tuannya. Karena harta seseorang menjadi hak anaknya.

Konon, maknanya, sahaya wanita melahirkan raja-raja sehingga ibunya menjadi bagian dari rakyatnya. Ada kemungkinan bermakna bahwa seseorang mendapatkan anak dari sahaya wanita lalu men-jualnya. Ketika anak menjadi dewasa, ia membeli ibunya sendiri, dan ini salah satu tanda Kiamat.
Sabdanya,

وَأَنْ تَرَى اْلحُفَاةَ اْلعُرَاةَ، وَاْلعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ، يَتَطَاوَلُوْنَ فيِ اْلبُنْيَانِ.

“Dan bila kamu melihat mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tidak berpakaian, fakir, dan penggembala kambing bermegah-megahan dalam bangunan.”

Maknanya, bahwa penduduk badui dan sejenis mereka dari kalangan yang sangat membutuhkan lagi fakir meninggikan bangun-an, dan dunia dibentangkan kepada mereka sehingga mereka ber-megah-megahan dalam bangunan.VIII

Ucapannya, “Falabitsa maliyyan (kemudian ia masih tercengang).” Dengan fathah tsa’ yang berarti ia tidak hadir (orang ketiga hadir).

Konon, “Falabitstu maliyyan (kemudian aku masih tercengang). Dengan menambah ta’ mutakkallim. Keduanya benar. Maliyyan, dengan tasydid ya’, artinya waktu yang panjang.
Dalam riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi bahwa ia mengatakan, “setelah tiga hari.” Dalam Syarh at-Tanbih karya al-Baghawi bahwa ia mengatakan, “sete-lah tiga hari atau lebih.” Zhahirnya, bahwa ini sesudah tiga malam. Tapi zhahir ini menyelisihi pernyataan Abu Hurairah y dalam ha-ditsnya, “Kemudian laki-laki itu pergi, lalu Rasulullah SAW mengatakan, ‘Panggil kembali orang itu kepadaku.’ Ketika mereka mencoba me-manggil kembali, mereka tidak melihat suatu pun, maka beliau ber-sabda, ‘Ini Jibril.” Dapat dikompromikan di antara keduanya bahwa Umar y tidak mendengar ucapan Nabi SAW pada saat itu, tetapi ia telah berdiri dari majelis, lalu Nabi SAW mengabarkan kepada para hadirin pada saat itu, dan mengabarkan kepada Umar y setelah tiga hari. Sabdanya,

هذَا جِبْرِيْلُ، أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ أَمْرَ دِيْنِكُمْ.

“Ini Jibril, datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang perkara agama kalian.”

Di dalamnya berisikan dalil bahwa iman, Islam dan Ihsan, se-muanya disebut din (agama). Hadits ini juga berisikan dalil bahwa beriman kepada qadar adalah wajib, tidak larut membicarakan ten-tang berbagai perkara, dan kewajiban ridha terhadap qadha.

Seseorang menemui Ibnu Hanbal y lalu mengatakan, “Berikan nasihat kepadaku.” Maka dia mengatakan, “Jika Allah SWT telah men-jamin rizki, mengapa kamu bersedih? Jika ganti yang diberikan Allah itu nyata, untuk apa bakhil? Jika surga itu nyata, untuk apa bersantai? Jika neraka adalah nyata, untuk apa bermaksiat? Jika pertanyaan Mun-kar dan Nakir adalah nyata, untuk apa bersenang-senang? Jika dunia itu fana, untuk apa ketentraman? Jika hisab itu nyata, untuk apa mengumpul-ngumpulkan harta? Jika segala sesuatu ada qadha dan qadarnya, untuk apa takut?”

Faedah: Penulis Maqamat al-Ulama’ menyebutkan bahwa dunia itu terbagi menjadi 25 bagian, lima dengan qadha dan qadar, lima dengan ijtihad, lima dengan kebiasaan, lima dengan jauhar (esensi), dan lima dengan pewarisan.
Adapun lima yang berkenaan dengan qadha dan qadar ialah: rizki, anak, istri, kekuasaan, dan umur.

Lima yang berkenaan dengan ijtihad (kesungguhan) ialah: surga, neraka, iffah (memelihara diri), keperwiraan, dan perjanjian pembe-basan budak.
Lima yang berkenaan dengan kebiasaan ialah: makan, tidur, berjalan, nikah, dan buang hajat.

Lima yang berkenaan dengan esensi ialah: zuhud, zakat, berkor-ban, keindahan, dan kewibawaan.
Dan lima yang berkenaan dengan pewarisan ialah: kebaikan, komunikasi, per-musuhan, kejujuran, dan amanat. Ini semua tidak menafikan sabda Nabi SAW, “Segala sesuatu dengan qadha dan qadar.”IX Tetapi, maknanya, bahwa sebagian dari hal ini terjadi karena sebab, dan sebagiannya terjadi dengan tanpa sebab. Tapi semuanya dengan qadha dan qadar.

CATATAN KAKI:

I HR. Muslim, no. 8. Hadits yang semakna diriwayatkan dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah RA, yang diriwayatkan al-Bukhari, no. 50; dan Muslim, no. 9.
Al-Qurthubi 5 mengatakan, “Hadits ini patut disebut sebagai induk Sunnah, karena berisikan ilmu Sunnah secara umum.” Al-Qadhi Iyadh 5 mengatakan, “Hadits ini mencakup semua tugas-tugas ibadah yang zhahir dan yang batin berupa keyakinan iman, dahulu, kini, dan kelak, amalan-amalan anggota ba-dan, keikhlasan hati, dan memelihara dari amalan-amalan yang buruk. Bahkan, ilmu-ilmu syariat semuanya merujuk kepadanya dan bercabang darinya.” Lihat, Fathul Bari, 1/ 152).
II Imam Ahmad pernah ditanya tentang qadar, maka ia menjawab, “Qadar ialah qudrah ar-Rahman (kekuasaan Yang Maha Pengasih).” Ibnu al-Qayyim 5 mengatakan dalam al-Kafiyah:

فَحَقِيْقَةُ اْلقَدَرِ الَّذِي حَـارَ اْلوَرَى فيِ شَأْنِهِ هُـوَ قُدْرَةُ الرَّحْمنِ
وَاسْتَحْسَنَ ابْنُ عُقَيْلٍ ذَا مَنْ أَحْمَدَ لَمَّا حَكَاهُ عَنِ الرِّضَى الرَّبَّانِي

Hakikat qadar yang berlaku bagi makhluk dalam segala urusannya
Ialah qudrah ar-Rahman (kekuasaan Yang Maha Pengasih)
Ibnu Uqail membenarkan hal itu berasal dari Ahmad
Ketika menuturkannya tentang ridha Rabbani
Iman kepada qadar itu meliputi empat tingkatan, yaitu:
Pertama, iman kepada ilmu Allah yang qadim dan bahwa Dia mengetahui segala perbuatan para hamba sebelum mereka melakukannya.
Kedua, pencatatan (penetapan) hal itu dalam al-Lauh al-Mahfuzh.
Ketiga, masyi’ah (kehendak) Allah yang (pasti) terlaksana dan kekuasaanNya yang meliputi segalanya.
Keempat, Allah menciptakan segala ciptaan. Dia Khaliq dan segala selain adalah makhluk. Lihat, syarah Syaikh Ibnu Utsaimin pada lembar-lembar berikutnya.
III Saya tidak menjumpai hadits dengan lafal demikian, tetapi at-Tirmidzi meriwayatkan (no. 664) sebuah ha-dits yang senada dengannya, dengan lafal: “Sedekah itu sungguh akan memadamkan kemurkaan Rabb dan menolak kematian yang buruk.” Dan, ia menilainya sebagai hadits hasan gharib.
IV HR. al-Hakim, 1/ 669; ath-Thabrani dalam al-Ausath, 3/ 66; al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab, 2/ 48, dengan lafal yang mirip dengan apa yang disebutkan pengarang.
V Hadits hasan: Abu Daud, no. 4691; al-Hakim, 1/ 159; dan dari jalurnya al-Baihaqi meriwayatkannya, 10/ 203; dan dihasankan al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 4442.
VI Pengarang mengatakan dalam syarahnya atas Shahih Muslim: Abu Muhammad bin Qutaibah menceritakan dalam kitabnya, Gharib al-Hadits, dan Abu al-Ma’ali Imam al-Haramain dalam kitabnya, al-Irsyad fi Ushul ad-Din, bahwa Sebagian Qadariyah mengatakan, “Kami bukan Qadariyah, tetapi kalianlah yang Qadariyah, karena kalian meyakini ketetapan tentang qadar.” Ibnu Qutaibah dan Imam al-Haraimain mengatakan, “Ini penilaian yang salah dari kaum bodoh semacam mereka, kebohongan, dan tebal muka mereka. Sebab ahlul haq menyerahkan segala urusan mereka kepada Allah SWT, dan menisbatkan qadar serta perbuatan kepada Allah SWT. Sementara kaum yang bodoh semacam mereka menisbatkannya kepada diri mereka. Dan orang yang mengklaim sesuatu kepada dirinya dan menisbatkannya kepada dirinya, lebih layak dinisbatkan kepadanya daripada pihak yang meyakininya (dengan menisbatkannya) kepada selainnya, dan menafikan dari dirinya …” (Syarh an-Nawawi, 1/ 154).
VII Pengarang 5 mengatakan dalam syarahnya atas Shahih Muslim, “Ini merupakan salah satu dari Jawami’ al-Kalim yang diberikan kepada Nabi SAW. Karena seandainya kita mampu bahwa salah seorang dari kita beribadah dalam keadaan melihat Rabbnya q, niscaya ia tidak meninggalkan apa dimampuinya, berupa ketundukan, kekhusyu’an, bersikap baik, mengkonsentrasikan zhahir dan batinnya karena berusaha menyempurnakannya sebaik mungkin, melainkan melakukannya. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda, “Sembahlah Allah dalam segala ihwalmu sebagaimana kamu menyembah dalam keadaan melihat.” (Syarah an-Nawawi, 1/ 157, 158).
VIII Ini lafal pengarang dalam syarahnya atas Shahih Muslim, 1/ 159
IX HR. ath-Thabrani dalam al-Ausath, 6/ 147. Al-Haitsami mengatakan dalam al-Majma’, 7/ 208, “Dalam sanadnya terdapat sejumlah perawi yang tidak saya kenali.”

BERSAMBUNG