Mungkin di dunia ini Anda merasa sebagai orang yang paling sial, paling naas, paling sengsara dan paling melarat, bagaimana tidak sementara Anda adalah orang yang paling miskin, paling buruk rupa, paling banyak didera ujian-ujian kehidupan. Bolehlah Anda berperasaan demikian, bisa dimaklumi dalam batas-batas tertentu, karena sepintas Anda memang sengsara hidup dan melarat keadaan, tetapi cobalah merenung sejenak, berpikir sesaat, gunakan nalar jernih dan akal bersih, ternyata ada sisi baik, ada bagian mulia dan ada kue hikmah, pokoknya masih ada celah untuk mengucapkan ‘Alhamdulillah’. Selalu ada kata ‘Untung’ dalam setiap peristiwa yang tidak mengenakkan, masih ada kata ‘slamet’ di balik musibah dalam adat orang jawa.

Perhatikanlah orang ini, saya yakin Anda tidak sesial dia, Anda tidak seapes dia, dan Anda tidak senaas dia, laki-laki ini berkepala botak, berpenyakit sopak, buta kedua matanya, lumpuh kedua tangan dan kakinya. Apa yang tersisa darinya? Namun demikian dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari apa yang dengannya Dia menguji banyak orang dan memberiku keutamaan.”

Seorang laki-laki melewatinya, dia berkata kepadanya, “Dari apa Allah menyelamatkanmu? Kamu buta, berpenyakit sopak, botak dan lumpuh. Dari apa Dia menyelamatkanmu?”

Dia menjawab, “Celaka kamu wahai orang ini. Allah telah memberiku apa yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Dia memberiku lisan yang berdzikir, hati yang bersyukur, badan yang sabar dalam menerima ujian. Ya Allah nikmat yang aku terima atau diterima oleh seseorang di antara makhlukMu di pagi ini adalah dariMu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu bagiMu. BagiMu segala puji dan kepadaMu para makhluk bersyukur.”

Bacalah kisah laki-laki buta ini, dia datang menghadap kepada seorang khalifah. Khalifah bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu bisa buta?” Dia bercerita, “Suatu malam aku menginap di sebuah lembah. Di kalangan bani Abs, kabilahku, tidak seorang pun yang lebih besar hartanya daripada aku. Tiba-tiba banjir melanda. Hartaku seluruhnya ludes, keluargaku dan anak-anakku hanyut terbawa banjir. Yang tersisa hanyalah seekor onta dan bayi merah, anakku yang baru berumur beberapa minggu. Onta itu kabur. Aku meletakkan bayi itu untuk mengejar onta. Belum jauh aku mengejar onta aku mendengar tangisan bayiku. Aku kembali kepadanya ternyata seekor srigala berdiri di perutnya memangsanya, aku terlambat menolongnya, akhirnya aku meninggalkannya untuk memburu ontaku, hartaku yang masih tersisa. Ketika aku hendak menahannya, dia menyepak wajahku, akibatnya kedua mataku rusak dan aku pun buta, sekarang aku tanpa harta, tanpa keluarga, tanpa anak dan tanpa kedua mata.”

Bisa jadi Anda bertanya, di mana celah hamdalah? Celahnya ada pada kehidupannya. Benar kan? Dia masih hidup. Bukankah kehidupan dalam keadaan apa pun merupakan nikmat besar?

Al-Baihaqi meriwayatkan dari Dzin Nun al-Misri berkata, “Aku thawaf, aku bertemu dua orang wanita. Salah seorang dari keduanya berkata,

Aku bersabar, dan bersabar adalah sebaik-baik kendaraan
jika kesedihan berguna bagiku maka aku akan bersedih
Aku bersabar atas suatu perkara, jika sebagian darinya
dipikul oleh gunung di Radhwa niscaya ia terbelah
Aku menguasai air mata kemudian aku mengembalikannya
kepada orang yang memandangku, sementara mata hati menangis

Aku bertanya, “Dari apa wahai wanita?”
Dia menjawab, “Dari musibah yang menimpaku yang tidak menimpa siapa pun.”
Aku bertanya, “Apa itu?”

Dia berkata, “Aku mempunyai dua anak laki-laki yang bermain-main di depanku. Suamiku, ayah kedua anakku menyembelih dua ekor domba. Maka salah seorang anak berkata kepada saudaranya, ‘Saudaraku, aku tunjukkan kepadamu bagaimana ayah menyembelih domba.’ Lalu dia mengambil pisau dan menyembelih saudaranya lalu kabur. Manakala ayahnya pulang aku berkata kepadanya, “Anakmu kabur setelah sebelumnya menyembelih saudaranya.’ Lalu suamiku, ayah anak itu pergi mencarinya, dia mendapatinya telah dimangsa binatang buas. Lalu ayahnya pulang, di tengah jalan dia mati kelaparan dan kehausan.”

Berat ujian wanita ini, dia kehilangan dua anaknya dengan cara layaknya dalam sandiwara, dia ditinggal suaminya dalam keadaan nestapa, namun bagaimana pun wanita ini masih hidup, dia bisa membangun kembali kehidupannya dengan suami baru yang akan hadir dengan izin Allah dan disusul dengan anak-anak baru pula. Alhamdulillah ala kulli hal.

Barang kali Anda ditinggal anak kesayangan, dia pergi mendahului karena sang Khalik memanggilnya dan malaikat maut menjemputnya. Anda bersedih dan berduka, namun selalu ada celah untuk bertahmid.

Abu Sinan berkata, “Aku mengubur anakku, sementara Abu Thalhah Al-Haulani duduk di pinggir kubur. Manakala aku hendak keluar dari kubur dia memegang tanganku. Dia berkata, ‘Maukah kamu aku beri berita gembira wahai Abu Sinan?” Aku menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Ad-Dhaahhak bin Abdurrahman bin Arzab menyampaikan kepadaku dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Jika anak seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada para malaikat, ‘Kalian mengambil anak hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Allah berfirman, ‘Kalian mengambil buah hatinya?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Allah berfirman, ‘Apa yang diucapkan oleh hambaKu?’ Mereka menjawab, ‘Dia memujiMu dan beristirja.’ Allah berfirman, ‘Bangunkan untuknya rumah di surga beri nama dengan Baitul Hamdi.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi dan dia menyatakannya, hasan.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari hadis Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Tidak ada balasan di sisiKu bagi hambaKu yang beriman jika Aku mengambil orang yang dicintainya dari penghuni dunia kemudian dia berharap pahala dariKu kecuali Surga.

Jika satu bentuk musibah berbalas surga yang merupakan puncak kebaikan, bukankah hal itu membuktikan bahwa selalu ada celah untuk hamdalah dan bertahmid? Lalu bagaimana dugaanmu jika musibah itu berbentuk-bentuk? Wallahul musta’an.
(Izzudin Karimi)