Madzhab asy-Syafi’i dan Ahmad berkata, wajib. Madzhab Abu Hanifah dan Malik berkata, mustahab.

Madzhab pertama berdalil kepada firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56).

Imam asy-Syafi’i berkata, “Allah Ta’ala mewajibkan shalawat kepada Nabi saw dengan ayat ini dan ibadah shalat adalah keadaan yang paling pantas dengannya.”

Madzhab kedua berdalil kepada hadits Ibnu Mas’ud tentang tasyahud, di bagian akhir, “Jika kamu melakukan ini maka sempurnalah shalatmu.”

Pendapat pertama rajih berdasarkan keumuman perintah bershalawat kepada Nabi saw dalam tasyahud. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Kaab bin Ujrah, kami berkata kepada Nabi saw, “Ya Rasulullah, kami telah mengetahui bagaimana mengucapkan salam kepadamu –Yakni dalam tasyahud- Lalu bagaimana kami bershalawat kepadamu?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah, ‘Allahumma shalli ala Muhammad …Dan seterusnya.

Adapun tambahan di bagian akhir hadits Ibnu Mas’ud maka ia sisipan bukan dari Nabi saw seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi dari ad-Daraquthni dan al-Baihaqi.

Lafazh, ‘Sayyidina’ dalam doa tasyahud

Hafizh Ibnu Hajar yang bermadzhab Syafi’i ditanya tentang sifat shalawat kepada Nabi saw di dalam atau di luar shalat, terlepas apakah ia wajib atau mustahab, apakah harus memberikan sifat ‘sayyidina’ kepada Nabi saw di dalamnya dengan mengatakan, misalnya, ‘Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad.’ Atau, ‘Ala sayyidil khalqi.’ Atau, ‘Sayyidi waladi Adam.’ Atau cukup mengucapkan, ‘Allahumma shalli ala Muhammad.’ Mana yang lebih utama, menambahkan lafazh, ‘sayyidina’ sebab ia adalah sifat beliau atau tidak menambahkan lafazh sayyidina sebab ia tidak tercantum dalam hadits-hadits?

Hafizh Ibnu Hajar menjawab, “Mengikuti lafazh yang tercantum dalam hadits-hadits adalah rajih dan tidak boleh dikatakan, mungkin Nabi saw tidak menyebut lafazh, ‘sayyidina’ dalam hadits-hadits sebagai sikap tawadhu’ dan umat beliau tetap dianjurkan untuk mengucapkan hal itu setiap kali membaca shalawat karena kami mengatakan, seandainya lafazh ‘sayyidina’ memang dianjurkan niscaya ada sahabat atau tabiin yang mengucapkannya dan kami tidak mengetahui hal itu dari seorang sahabat dan tabiin bahwa dia mengucapkan, ‘sayyidina’ padahal atsar-atsar mereka dalam hal ini berjumlah banyak. Imam asy-Syafi’i sendiri, dia termasuk orang yang sangat mengagungkan Nabi saw, berkata dalam mukadimah kitabnya yang menjadi induk madzhabnya, ‘Allahumma shalli ala Muhammad…” (Shifah Shalah an-Nabi saw, hal. 173).

Doa sebelum salam

Nabi saw memerintahkan umatnya agar berlindung kepada Allah setelah tasyahud akhir sebelum salam dari empat perkara dan beliau sendiri mengucapkannya.

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذاَبِ جَهَنَّم وَمِنْ عَذاَبِ القَبْرِوَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَ مِنْ فِتْنَةِ المَسِيْحِ الدَّجَّالِ

Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari azab Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah al-Masih ad-Dajjal.

Imam an-Nawawi berkata dalam al-Majmu’ III/471, “Madzhab kami, boleh berdoa di dalam shalat dengan semua doa yang boleh diucapkan di luar shalat, meliputi perkara-perkara agama dan dunia, misalnya dia mengucapkan, ‘Allahummar zuqni kasban thayyiban wa waladan shalihah…Dan ini tidak membatalkan shalat. Madzhab ini adalah madzhab Malik. Sementara itu madzhab Abu Hanifah dan Ahmad, hanya boleh dengan doa-doa yang ma’tsur yang sesuai dengan al-Qur`an.”

Di antara dalil madzhab pertama adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, “Keadaan di mana seorang hamba paling dekat kepada Rabb-nya adalah pada saat dia sujud, maka perbanyaklah berdoa.” Di sini tidak mengikat doa, “Perbanyaklah berdoa.” Doa apa pun asalkan ia dibolehkan.

Di samping itu dalam hadits Ibnu Mas’ud di ash-Shahihain tentang tasyahud, di bagian akhir, “Kemudian dia memilih doa yang paling dia kagumi dan paling dia cintai.”

Madzhab kedua berdalil kepada sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim, “Tidak sesuatu pun dari ucapan manusia patut ada di dalam shalat, karena shalat itu adalah tasbih, takbir dan qiraat al-Qur`an.” Pendapat ini berkata, sebagaimana mushalli tidak menjawab salam dan tidak menjawab orang bersin yang mengucapkan, ‘Alhamdulillah.’ maka dia juga tidak berdoa kecuali dengan doa-doa yang ma’tsur. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)