Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya telah berhijrah ke Madiah dan telah menjadi negri Islam, maka mulailah wahyu yang berkaitan dengan syariat (yang berupa hukum-hukum ibadah amali) turun, pada ayat-ayat sebelumnya pada surat Al Baqarah ini dijelaskan tentang hukum qishash, washiat, dan pengawasan Allah akan hal itu, maka pada ayat ini Allah Ta’ala menjelaskan satu ibadah yang menjadikan seorang hamba tumbuh ketakwaan dan keimanannya yaitu dengan menjalankan shaum selama beberapa waktu (yaitu hanya sebulan lamanya…pada bulan Ramadhan), yang perintah ini turun pada tahun kedua dari hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {183} أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ {184}

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 183-184).

Tafsir Ayat : 183

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, mengajak bicara ummat ini, dan memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa. Puasa berari menahan diri dari makan, minum dan menggaul istri, dengan niat ikhlash karena Allah ‘Azza wa Jalla. Karena di dalamnya terdapat pembersihan,penyucian dan pemurnian jiwa dari pengaruh-penguaruh buruk dan akhlak-akhlak yang tercela.”

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata:“Allah Ta’ala mengabarkan tentang segala yang Dia karuniakan kepada hamba-hambaNya dengan cara mewajibkan atas mereka berpuasa sebagaimana Allah telah mewajibkan puasa itu atas umat-umat terdahulu, karena puasa itu termasuk di antara syariat dan perintah yang mengandung kemaslahatan bagi makhluk di setiap zaman, berpuasa juga menambah semangat bagi umat ini yaitu dengan berlomba-lomba dengan umat lain dalam menyempurnakan amal perbuatan dan bersegera menuju kepada kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan puasa itu juga bukanlah suatu perkara sulit yang merupakan keistimewaan kalian.”

Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan hikmah disyariatkannya puasa seraya berfirman, { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } “Agar kamu bertakwa,” karena sesungguhnya puasa itu merupakan salah satu faktor penyebab ketakwaan, karena berpuasa adalah merealisasikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Dan di antara gambaran yang meliputi ketakwaan dalam puasa itu adalah bahwa orang yang berpuasa akan meninggalkan apa yang diharamkan oleh Allah seperti makan, minum, melakukan jima’ dan semacamnya yang sangat diinginkan oleh nafsunya dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah seraya mengharapkan pahala dalam meninggalkan hal-hal tersebut, inilah hal yang merupakan ketakwaan, di antaranya juga sebagai gambaran bahwasanya orang yang berpuasa itu melatih dirinya dengan selalu merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, maka meninggalkan apa yang diinginkan oleh nafsunya padahal dia mampu melakukannya karena dia tahu bahwa Allah melihatnya.

Gambaran lain dalam puasa adalah bahwasanya puasa itu mempersempit gerakan setan karena setan itu selalu berjalan dalam tubuh manusia seperti jalannya darah, maka puasa akan melemahkan pengaruhnya dan meminimkan kemaksiatan, di antaranya juga bahwa seorang yang berpuasa biasanya akan bertambah ketaatannya, sedang ketaatan itu adalah gambaran dari ketakwaan, yang lainnya lagi adalah bahwa orang yang kaya bila merasakan susahnya kelaparan, pastilah ia menghibur kaum miskin lagi papa, dan ini pun dari gambaran ketakwaan.

Tafsir Ayat : 184

Ketika Allah Ta’ala menyebutkan kewajiban puasa bagi mereka, Dia mengabarkan bahwa puasa itu hanya pada hari-hari yang tertentu atau sedikit sekali dan sangat mudah, kemudian Allah memudahkan puasa itu dengan kemudahan lainnya, Dia berfirman, {فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” pada umumnya hal itu karena adanya kesulitan, sehingga Allah memberikan kemudahan bagi keduanya untuk berbuka, dan ketika menjadi suatu keharusan untuk mewujudkan kemaslahatan puasa bagi setiap orang yang beriman, maka Allah memerintahkan kepada mereka berdua agar mengganti puasanya itu pada hari-hari yang lain apabila penyakitnya telah sembuh atau berakhirnya perjalanan dan adanya istirahat.

Dalam firmanNya, { فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ } “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” sebuah dalil bahwa ia harus mengganti sejumlah hari bulan Ramadhan secara sempurna ataupun tidak, dan bahwa ia juga boleh mengganti hari-hari yang panjang lagi panas dengan beberapa hari yang pendek lagi sejuk seperti kebalikannya, dan firmanNya, { وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ } “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)” maksudnya mereka tidak mampu berpuasa, { فِدْيَةٌ } “membayar fidyah” dari setiap hari yang mereka batalkan, { طَعَامُ مِسْكِينٍ } “memberi makan seorang miskin” hal ini pada awal-awal kewajiban berpuasa ketika mereka belum terbiasa berpuasa dan saat itu kewajiban tersebut adalah suatu yang harus dilakukan oleh mereka yang akhirnya sangat berat bagi mereka untuk melakukannya, lalu Allah Rabb yang Maha Bijaksana memberikan jalan yang paling mudah bagi mereka, Dia memberikan pilihan bagi orang yang tidak mampu berpuasa antara melakukan puasa dan itulah yang paling baik dan utama atau memberikan makan.

Oleh karena itu Allah berfirman, { وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ } “Dan berpuasa lebih baik bagimu” kemudian setelah itu Allah menjadikan puasa itu harus dilakukan oleh orang yang mampu sedangkan orang yang tidak mampu, boleh berbuka lalu menggantinya pada hari yang lain. Dan pendapat lain berbunyi; dan orang-orang yang tidak mampu yaitu terbebani dan merasa sangat berat sekali untuk melaksanakannya seperti orang tua yang renta adalah membayar fidyah untuk tiap hari kepada seorang miskin, dan inilah yang benar.

Pelajaran dari Ayat :

  • Di fardhukannya shaum yaitu pada bulan ramadhan, bagi seorang mukmin sebagaimana hal itu telah diwajibkan bagi umat-umat sebelumnya.

  • Shaum membina tumbuhnya ketakwaan pada diri seorang mukmin.

  • Shaum juga dapat menghapuskan dosa-dosa, sebagaimana hadist rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala (dari Allah) maka baginya akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. (muttafaq ‘alaih)

  • Dalam shaum juga terdapat banyak sekali faidah baik secara diniyah atau secara ijtimaiyah (kemasyarakatan), yang hal itu diisyaratkan dalam firmanNya, “jika kamu mengetahui”.

  • Diantara faidah-faidah tersebut adalah :

    • Shaum membiasakan seseorang merasa takut (khasyah) kepada Allah Ta’ala baik dalam ketika sendirian atau ketika dihadapan orang lain

    • Melunturkan atau meredam syahwat yang tinggi, oleh karena itu seorang yang masih lajang (belum menikah) dianjurkan untuk berpuasa sebagaimana hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai para pemuda..! Barang siapa diantara kalian ada yang mampu menikah maka hendaklah ia menikah, sungguh ia (pernikahan) itu dapat lebih menahan pandangan dan dapat memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Sesungguhnya (berpuasa) itu adalah peredam baginya ”. (Muttafaq ‘alaih)

    • Berpuasa mendidik pelakunya untuk bersifat lembut, sayang terhadap diri dan orang lain

    • Didalam syariat berpuasa terdapat isyarat adanya keadilan antara orang kaya dan orang miskin, orang-orang yang memiliki jabatan dan rakyat biasa.

  • Sesungguhnya shaum yang di wajibkan atas kaum mukminin adalah hanya beberapa hari saja. Pengungkapan dengan firmanNya “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu”, menunjukkan perintah tersebut adalah ringan bagi orang yang diperintah. Dan hal itu menunjukkan karunia dan rahmat Allah Ta’ala terhadap hambaNya karena hanya mewajibkan shaum beberapa hari saja.

  • Dari ayat tersebut dapat diambil qaidah, “Anna al masyaqqah tajlibu at taisiir” (sesungguhnya kesulitan itu mendatangkan keringanan), sebagaimana dalam ayat “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain”. Karena sakit dan safar adalah kondisi yang dominannya terdapat kesulitan atau rasa berat.

  • Bolehnya berbuka (tidak berpuasa) bagi orang yang sakit. Akan tetapi yang dimaksud disini adalah sakit yang memberatkan apabila sambil berpuasa, atau memperlambat kesembuhannya, demikianlah menurut jumhurul ulama.

  • Seorang yang sakit itu ada beberapa keadaan, di antaranya :

    • Pertama, sakit yang ketika dia berpuasa maka tidak membahayakannya, atau tidak memberatkannya, maka yang kondisinya seperti ini baginya tidak ada rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa.

    • Kedua, sakit yang ketika dia berpuasa maka ia akan memberatkannya walaupun tidak membahayakannya, maka orang yang seperti ini makruh untuk berpuasa, karena tidak layak baginya untuk menolak rukhshah (keringanan) yang Allah berikan.

    • Kondisi ketiga, sakit yang ketika dia berpuasa maka akan membahayakannya, maka orang yang seperti ini haram hukumnya untuk berpuasa, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisaa’ : 29).

  • Bolehnya berbuka ketika safar. Bagi musafir kaitanya dengan puasa ada beberapa keadaan yaitu :

    • Pertama, safar yang tidak memberatkan sama sekali, baginya sama shaum ketika muqim atau ketika safar jenis ini, yaitu tidak memberatkan, maka dalam kondisi seperti ini shaum adalah lebih afdhal, dan jika ia ingin berbuka (tidak berpuasa) maka tidak apa-apa; berdasarkan hadits Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Kami keluar bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sebagian safar-safarnya di hari yang panas sehingga seseorang meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat; dan diantara kami tidak ada yang berpuasa kecuali rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ibnu Rawahah”. (HR, Bukhari dan Muslim). Diantara alasan lebih afdhal baginya untuk berpuasa adalah bahwa shaum ketika safar lebih cepat dalam melepas kewajiban dirinya; pada umumnya hal itu adalah lebih mudah baginya karena orang lain sama-sama melakukannya, dan terkadang mengqadha’ di waktu lain justru lebih berat baginya; dan pula bertepatanya dengan bulan untuk berpuasa yaitu ramadhan.

    • Kondisi kedua, musafir yang ketika ia berpuasa maka akan memberatkannya akan tetapi tidak sangat berat; kondisi seperti ini yang afdhal adalah berbuka (tidak berpuasa). Berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau safar lalu melihat sekumpulan orang sedang berkerumun dan seseorang yang di naungi maka beliau menanyakan tentang orang itu, mereka menjawab ‘dia orang yang berpuasa’, maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukanlah suatu kebaikan perpuasa ketika safar”. (HR. Bukhari dan Muslim)

    • Kondisi ketiga, musafir yang ketika ia berpuasa maka puasanya akan sangat memberatkannya, maka orang yang seperti ini diwajibkan untuk berbuka, sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang yang sedang safar bersamanya lalu merasa sangat berat karena puasanya, maka beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka adalah orang-orang yang bermaksiat..” (HR. Bukhari). Dan suatu perbuatan tidaklah di sebut maksiat kecuali perbuatan tersebut adalah sesutau yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban.

  • Safar yang dibolehkan untuk berbuka didalam ayat adalah tidak dibatasi oleh waktu, tidak pula jarak tempuh, karena keumuman safar yang disebutkan dalam ayat; oleh karena itu maka ukurannya adalah dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan), maka perjalanan yang dianggap oleh manusia pada umumnya sebagai safar maka itu disebut safar dan inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, karena membatasi perjalanan yang dianggap safar dengan ukuran waktu atau jarak tempuh membutuhkan kepada dalil.

  • Seseorang yang lemah tidak mampu berpuasa yang tidak lagi diharapkan kembali kekuatannya untuk berpuasa, maka wajib baginya membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya. Pendalilannya adalah bahwa Allah Ta’ala menjadikan ‘memberi makan’ sebagai ganti dari puasa ketika memilih keduanya, maka apabila terdapat udzur sehingga terhalang untuk berpuasa maka wajib berpindah kepada gantinya yaitu ‘memberi makan’.

  • Seorang wanita yang sedang hamil (mengandung) atau menyusui, maka baginya dibolehkan berbuka (tidak berpuasa) dengan mengqadha’ shaumnya di hari yang lain, demikian pula lansia yang lemah tidak mampu lagi untuk berpuasa dan orang yang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya maka baginya boleh berbuka dan tidak perlu mengqadha akan tetapi keduanya harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap harinya satu orang miskin. Dan jika bagi seorang wanita yang sedang hamil atau menyusui khawatir akan janinnya, atau anaknya atau dirinya maka baginya harus membayar fidyah yaitu dengan memberi makan satu orang miskin pada setiap harinya. Wallahu a’lam

Sumber :
1. Tafsir as-Sa’diy
2. Tafsir al-Qur’an al-Karim, karya Syaikh Ibnu Utsaimin.
3. Aisar at-Tafasir.
4. Tafsir Ibnu Katsir