Shalat merupakan sumber ketenangan, dasar ketenteraman dan pondasi kedamaian, kelurusan tingkah laku, kebenaran perbuatan dan kejujuran kata-kata berinduk kepada shalat, di tengah-tengah kehidupan yang beriklim panas dan bernuansa keringat dengan gesekan lumayan tinggi dan persaingan yang rada ketat, kesibukan mencari hidup dan memburu isi kantong membuat kening berkerut dan kepala beruban, semua itu memerlukan air pendingin dan udara sejuk guna meredam gejolak api kehidupan dan mengerem hasrat dunia yang menggebu sehingga jiwa bisa beristirahat sejenak melepaskan kepenatannya dan membuang keringatnya, dan air pendingin dan udara yang sejuk tersebut adalah ibadah agung ini.

Sebuah ibadah yang jika didirikan dengan baik, ditegakkan dengan bagus dan dikerjakan dengan tenang niscaya akan melahirkan sebuah ketenangan dan ketenteraman luar biasa, ketenteraman dan ketenangan yang melenakan segala bentuk penderitaan, melupakan segala bentuk kesulitan, melepaskan segala bentuk beban berat kejiwaan dan mencampakkan segala bentuk kesengsaraan.

Salah seorang salaf shalih dari kalangan tabiin yang mulia, Urwah bin az-Zubair, satu dari Fuqaha` Sab’ah, tujuh orang fuqaha`, beribu Asma` binti Abu Bakar dan berbibi Aisyah binti Abu Bakar, lahir tahun 23 H dan wafat tahun 93 H, telah membuktikan apa yang penulis coretkan di atas, judul di atas adalah kata-kata yang dia ucapkan manakala dia harus menghadapi operasi amputasi terhadap salah satu kakinya yang dimakan kanker ganas.

Sebuah hajat membuat Urwah berangkat meninggalkan Madinah ke Damaskus, hajat bertemu khalifah al-Walid bin Abdul Malik, belum jauh dia berjalan meninggalkan Madinah, kakinya terjangkiti oleh sebuah kanker yang ganas. Tiba di Damaskus kanker tersebut telah merayap ke setengah betisnya.

Khalifah menghadirkan para tabib ahli, mereka sepakat memotong kaki Urwah demi menyelamatkan sisa kakinya bahkan seluruh tubuhnya, mendengar kesepakatan para tabib jiwa Urwah menerima dengan lapang. Mereka berkata kepadanya, “Sebelumnya kami akan memberimu penenang.” Apa dia menjawab?

“Aku tidak mengira ada orang yang minum atau makan sesuatu yang menghilangkan akalnya sehingga dia mengenal Tuhannya, akan tetapi jika kalian hendak melakukan itu maka lakukanlah ketika aku shalat, aku tidak merasakannya.”

Urwah shalat, dalam kondisi demikian para tabib menggergaji kakinya di atas bagian yang rusak karena digerogoti kanker, Urwah tidak bergerak, tidak berguncang, dia tidak merasakan sakit karena sedemikain khusu’nya dia dalam shalatnya.

Selesai shalat orang-orang menghiburnya, dia berkata, “Ya Allah bagiMu segala puji, aku mempunyai empat anggota, Engkau mengambil satu dan menyisakan tiga, jika Engkau mengambil maka Engkau telah menyisakan, jika Engkau menguji maka Engkau telah memberi keselamatan. BagiMu segala puji atas apa yang Engkau ambil dan bagiMu segala puji atas keselamatan yang Engkau berikan.”

Pulang ke Madinah, di sana dia tidak mengadu kepada siapa pun, orang-orang menghiburnya, namun sebagian orang berkomentar miring, “Dia tidak mengalami apa yang dia alami kecuali karena dosa besar yang telah dilakukannya.” Mendengar itu Urwah mengucapkan bait Ma’an bin Aus,

لََعَمْرُكَ مَا أَهْوَيْتُ كَفِّي لِرِيْبَةٍ وَلا حَمَلَتْنِي نَحْوَ فَاحِشَةٍ رِجْلِي
وَلا قاَدَنِي سَمْعِي وَلابصري لها وَلا دَلَّنِي رَأْيِي عَلَيْهَا وَلا عَقْلِي

Aku bersumpah, tanganku tidak pernah menjulur kepada dosa
Kakiku tidak pernah membawaku kepada perbuatan keji
Pendengaran dan penglihatanku tidak pernah menggiringku ke sana
Pikiran dan akalku tidak juga menunjukkanku kepadanya.

(Izzudin Karimi)