Etimologi Ayat

Dan yang dimaksud firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang artinya: “ Pada Kitab yang terpelihara ” (Q.S al-Waqi’ah: 78) adalah “ Lauhul Mahfuzh “ .

Adapun huruf “Jar” dan isim “Majrur” dalam ayat
في كتاب مكنونyang terdapat di antara dua ayat (sebelumnya dan sesudahnya) menunjukkan bahwa “kata ganti“ dalam firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala لا يمسهkembali kepada kata yang terdekat (sebelum ayat ini),yaitu kata . كتاب

Dan sekiranya “kata ganti“ tersebut kembali kepada kata القرآن amatlah jauh bahkan tidak bisa dibenarkan. Karena berdasarkan tata bahasa dalam bahasa Arab dinyatakan bahwa “kata ganti“ kedudukannya kembali kepada kata yang lebih dekat dalam penyebutannya. Dan kata yang lebih dekat dalam dalam penyebutan dalam ayat tersebut adalah kata كتاب yang bersifat مكنون yang berarti terpelihara .

Dan manakalah penafsiran ayat ini sesuai dengan tata bahasa Arab (Nahwu), maka jelaslah bagi kita kesalahan perkataan orang yang mengatakan bahwa “dilarangnya menyentuh“ dalam ayat tersebut kembali kepada kata القرآن sebagaimana hal ini telah umum di kalangan orang awam maupun selain mereka. Ini dikarenakan penafsiran seperti ini tidak sesuai dengan ketentuan tata bahasa Arab. Kemudian kalimat المطهرون bermakna para Malaikat, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir.

Dan makna ini menunjukkan bahwa secara asal bahwa sifat suci, adalah sifat alami yang terdapat pada Malaikat dan bukanlah sifat yang didapat dari hasil proses. Karena sekiranya [I]Allah Subhaanahu wa Ta’ala mennyifati para Malaikat dengan sifat dari hasil proses, maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:
لا يمسه إلا المطهرون artinya : “Tidak menyentuhnya melainkan mereka yang berusaha bersuci“ dengan memberikan harakat kasrah pada huruf “ Ha’ ” dan bacaan seperti ini tidak ada asal usulnya. Dan pada kenyataanya bisa kita saksikan kaum muslimin menyentuh mushhaf (al-Qur’an), baik yang bersuci maupun tidak.

Dengan demikian jelaslah bagi kita sesungguhnya yang dimaksudkan Allah Subhaanahu wa Ta’ala bukanlah mushhaf (al-Qur’an), namun kitab yang lain, yaitu yang Allah Subhaanahu wa Ta’ala sifati dalam firmannya: مكنون yang maksudnya Lauhul Mahfuzh.

Kemudian firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala di atas bukanlah mengandung perintah, akan tetapi mengandung khabar (berita), maka tidak dibenarkan mengalihkan asal makna khabar (berita) kepada makna perintah kecuali berdasarkan dalil yang jelas atau ijma’. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm ( al-Muhalla: 1/77).

Dan sekiranya Allah Subhaanahu wa Ta’ala menghendaki sebagaimana yang Dia khabarkan, bahwa akan menjaga al-Qur’an agar orang selain Islam dan orang mukmin yang tidak berwudhu (berhadast kecil atau tidak) tidak boleh menyenyuhnya, maka dalam hal ini Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjadikan yang demikian atas dasar sebab yang tersembunyi dan atas dasar apa hal ini bisa terjadi…? Dan penjagaan seperti ini merupakan penjagaan dari sisi kesempurnaan dan keotentikan al-Qur’an sebagaimana firmanNya:
وإناله لحافظون artinya:“Dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S al-Hjr: 9).

Maka pada dasarnya secara eksplisit Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah menjadikan diantara sebab-sebab penjagaan terhadap al-Qur’an adalah dengan membolehkan selain orang mukmin atau orang yang tidak memiliki wudhu menyentuhnya sebagaimana penjagaan-Nya terhadap al-Qur’an dari kekurangan dan tambahan.

Jadi……khabar (berita) yang demikian tidaklah berbicara mengenai al-Qur’an yang ada di bumi, melainkan al-Qur’an yang ada di langit sebelum turunnya pada periode kedua ke langit dunia, yaitu kitab yang terjaga di dalamnya al-Qur’an ketika turun pada periode pertama di Lauhul Makhfudz.