Pada bagian lalu, telah dijelaskan tentang syarah Islam, Iman dan Ihsan. Berikut lanjutannya.!

II. Imam Ibnu Daqiq berkata:

Ini adalah hadits agung yang mencakup semua tugas amalan zhahir dan batin. Ilmu-ilmu syariat semuanya merujuk kepadanya dan bercabang darinya, karena hadits ini, meskipun ringkas, berisi-kan ilmu Sunnah. Ia sebagai induk Sunnah, sebagaimana al-Fatihah disebut Ummul Qur’an (Induk al-Qur’an) karena, meskipun ringkas, berisikan makna-makna al-Qur’an.

Hadits ini berisikan dalil agar memperbagus pakaian, penampil-an dan kebersihan ketika menemui ulama, fudhala’ dan raja (pemimpin). Karena Jibril datang untuk mengajarkan kepada manusia dengan penampilan dan perkataannya.

Ucapannya, “La yura ‘alaihi atsarus safar (Tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh).” Yang masyhur ialah didhammahkan ya’-nya (yura) dari kata yara (kata kerja aktif), karena fa’il (subyek)nya tidak disebutkan. Sebagian perawi meriwayatkan dengan nun yang difathah (nara) . Keduanya shahih.

Ucapannya, “Dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau seraya mengatakan, ‘Wahai Muhammad.” Demikianlah yang masyhur lagi shahih. An-Nasa’i meriwayatkan yang semakna dengan-nya, dengan redaksi, “lalu dia meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut Nabi SAW.” ( HR. an-Nasa’i 8/101) Sehingga hilanglah kemungkinan makna yang terda-pat dalam lafal kitab Muslim, karena ia mengatakan di dalamnya, “Lalu dia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya (sendiri).” Ini mengandung beberapa kemungkinan (penafsiran).

Dapat dipetik dari hadits ini bahwa Islam dan Iman adalah dua hakikat yang berbeda, baik secara bahasa maupun syariat. Inilah asal tentang istilah-istilah yang berbeda. Terkadang syariat memperluas (definisi) keduanya, sehingga definisi salah satunya mencakup yang lain karena melampaui batas. (X)

Pernyataannya, “Kami heran kepadanya, ia bertanya kepadanya dan membenarkannya.” Mereka hanyalah heran akan hal itu, karena ajaran yang dibawa Nabi SAW tidak diketahui kecuali dari pihaknya. Sementara penanya ini bukan termasuk orang yang dikenal pernah berjumpa Nabi SAW, atau mendengarkannya. Kemudian ia bertanya layaknya pertanyaan seorang yang mengerti, meneliti dan membenar-kan sehingga mereka heran terhadap hal itu.

Pernyataannya, “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya dan kitab-kitabNya.” Iman kepada Allah ialah mempercayai bahwa Dia itu maujud (Ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Ia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal, Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang dikehendakiNya.

Iman kepada para malaikat ialah mempercayai bahwa mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka tidak lancang kepa-danya dengan ucapan dan mereka mengerjakan perintahNya.

Iman kepada para rasul Allah, ialah bahwa mereka itu benar dalam apa yang mereka sampaikan dari Allah SWT yang meneguhkan mereka dengan mukjizat-mukjizat yang menunjukkan atas kebenaran mereka. Para rasul menyampaikan risalah dari Allah, dan menjelas-kan kepada para mukallaf apa yang Allah perintahkan kepada mere-ka. Wajib menghormati mereka dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka.

Iman kepada Hari Akhir ialah mempercayai Hari Akhir dan segala cakupannya, yaitu dihidupkan kembali setelah mati, hasyr (pengumpulan), nasyr (pengusiran), hisab, mizan, shirath, surga dan neraka; keduanya adalah negeri pahala dan balasanNya bagi orang-orang yang berbuat kebajikan dan orang-orang yang berbuat kebu-rukan, serta selainnya dari hal-hal disebutkan dalam riwayat yang shahih.

Iman kepada takdir ialah mempercayai apa yang telah dising-gung sebelumnya. Wal hasil ialah apa yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT, “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96).

Dan, firmanNya, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Al-Qamar: 49).

Dan sejenisnya, di antaranya, sabda Nabi SAW dalam hadits Ibnu Abbas,

وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَلَوِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ.

“Ketahuilah bahwa umat seandainya berkumpul untuk memberi sua-tu manfaat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk memberi suatu kemudharatan kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi kemu-dharatan kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Madzhab salaf dan para imam khalaf menyatakan bahwa siapa yang mempercayai hal-hal tersebut dengan kepercayaan kuat yang tiada keraguan di dalamnya, maka ia mukmin yang sesungguhnya, baik hal itu dari bukti-bukti yang pasti atau keyakinan-keyakinan yang kuat.

Pernyataannya tentang ihsan, “Kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatNya…” dan seterusnya, konklusinya merujuk ke-pada kemantapan ibadah, memelihara hak-hak Allah, merasakan pengawasanNya, dan merasakan kebesaran serta keagunganNya pada saat beribadah.

Sabdanya, “Sampaikan kepadaku tentang tanda-tandanya (amarah).” Kata “amarah”, dengan memfathah hamzah, bermakna tanda. Sedang-kan al-‘Amah bermakna wanita sahaya yang melahirkan anak, rab-bataha ialah majikannya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, ba’laha (suaminya). Diriwayatkan bahwa seorang Arab badui ditanya ten-tang unta ini, maka ia menjawab, “Ana ba’luha (aku pemiliknya).” Suami juga disebut ba’l.

Dalam hadits ini dikemukakan dalam bentuk mu’annats (rabbataha) . Diperselisihkan mengenai sabdanya, “Bila hamba sahaya melahirkan tuannya.” Konon, maksudnya ialah bahwa kaum muslimin akan menguasai negeri-negeri kafir sehingga banyak terjadi praktek pergundikan. Akibatnya, anak wanita sahaya dari tuannya berkedudukan sebagai tuannya pula karena ia menjadi mulia dengan ayahnya. Berdasarkan hal ini, maka perkara yang menjadi salah satu tanda hari Kiamat ialah penguasaan kaum muslimin atas kaum musy-rikin, banyak penaklukan, dan banyak pergundikan.

Konon, maknanya, bahwa ihwal manusia menjadi rusak sehing-ga seorang tuan menjual ibu-ibu dari anak-anak mereka. Mereka silih berganti di tangan-tangan para pembeli. Bisa jadi sahaya wanita tersebut dibeli oleh anaknya sendiri dan ia tidak menyadari hal itu. Atas dasar ini, yang menjadi salah satu tanda hari Kiamat ialah ke-bodohan yang merajalela tentang haramnya menjual mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa maksud hadits tersebut adalah banyak-nya anak yang durhaka, banyak anak yang menghina dan mencela ibunya sebagaimana seorang budak.

Kata ‘Alah, dengan takhfif lam, ialah jama’ dari A’il, yaitu orang yang fakir.
Dalam hadits ini dimakruhkan, meninggikan bangunan selagi tidak ada hajat yang mendorongnya. Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,

يُؤْجَرُ ابْنُ آدَمَ فيِ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ مَا وَضَعَهُ فيِ هذَا التُّرَابِ.

“Manusia diberi pahala dalam segala sesuatu, kecuali apa yang di-letakkannya di tanah ini.” ( HR. al-Bukhari, no. 5672, dari Khabbab bin al-Art )

Sabdanya, “Dan penggembala kambing.” Beliau hanya menyebut penggembala kambing secara khusus, karena mereka adalah pendu-duk gurun yang paling lemah. Artinya, kendatipun mereka lemah dan jauh dari kemungkinan mampu membangun gedung yang me-gah. Berbeda dengan pemilik unta, karena mereka pada umumnya bukan kaum fakir.

Ucapannya, “Falabitstu maliyyan (maka aku masih tercengang).” Diriwayatkan dengan ta’, yang berarti, Umar tercengang. Diriwayatkan pula dengan falabitsa, dengan tanpa ta’, yang artinya, Nabi bangkit setelah kepergiannya. Keduanya shahih maknanya.

Maliyyan, dengan tasydid ya’, artinya waktu yang lama, yaitu tiga hari. Demikian diterangkan dalam riwayat Abu Daud dan selainnya.

Sabdanya, “Ia datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada ka-lian tentang agama kalian.” Yakni, kaidah-kaidah agama kalian atau prinsip umum agama kalian. Ini dinyatakan oleh Syaikh Muhyiddin dalam penjelasannya untuk hadits ini dalam Syarah Shahih Muslim.

Perkara terpenting yang disebutkan dalam hadits ini ialah pen-jelasan Islam, Iman dan Ihsan, serta kewajiban mengimani qadar Allah SWT. Ia menyebutkan mengenai penjelasan Islam dan iman se-cara panjang lebar, dan menyebutkan di dalamnya berbagai pendapat segolongan ulama. Di antaranya apa yang dituturkan oleh Imam Abul Husain yang dikenal dengan Ibnu Baththal al-Maliki, bahwa ia me-ngatakan, “Madzhab segolongan Ahlus Sunnah dari salaful ummah dan khalafnya bahwa iman itu ucapan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang, berdasarkan dalil firman Allah, “Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al-Fath: 4).”

Dan ayat-ayat sejenisnya. Sebagian ulama mengatakan, tashdiq sendiri tidak bertambah dan berkurang, sedangkan iman syar’i bertambah dan berkurang dengan bertambah dan berkurangnya buah-buahnya yaitu amalan-amalan. Mereka mengatakan, dalam hal ini ada kesesuaian antara zhahir nas-nas yang menyebutkan bertambah dengan asal maknanya menurut bahasa. Inilah yang dikatakan oleh mereka. Meskipun itulah yang jelas, tetapi yang paling jelas -wallahu a’lam- bahwa tashdiq itu sendiri dapat bertambah dengan banyaknya mengkaji, karena dalil-dalil yang nyata. Karenanya, keimanan shid-diqin itu lebih kuat daripada selain mereka, di mana mereka tidak tertipu oleh syubhat dan iman mereka tidak goyah dengan suatu rintangan. Tetapi hati mereka masih tetap lapang lagi bercahaya, mes-kipun ihwal mereka berubah-ubah. Adapun selain mereka, seperti muallaf dan yang mendekati mereka, maka mereka tidak seperti itu. Dan ini tidak bisa dipungkiri. Tidak diragukan mengenai keyakinan Abu Bakar ash-Shiddiq ra bahwa keyakinannya tidak bisa ditandingi oleh keyakinan seorang manusia pun. Karena itu, al-Bukhari menga-takan dalam Shahihnya, “Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, ‘Aku menge-tahui 30 orang sahabat Rasulullah SAW, semuanya mengkhawatirkan nifak atas dirinya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengata-kan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril as dan Mikail as.”(XI) Adapun penyebutan nama iman secara mutlak atas amalan-amalan, maka ini disepakati oleh ahli kebenaran, dan dalilnya terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Allah SWT berfirman, “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (Al-Baqarah: 143).

Yakni, tidak menyia-nyiakan shalat kalian. Diceritakan dari Syaikh Abu Amr bin ash-Shalah mengenai sabda Nabi SAW,

اْلإِسْـلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْـمَ الصَّلاَةَ.

“Islam ialah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat” hingga akhirnya.
Kemudian beliau menafsirkan iman dengan sabdanya,

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ تَعَالىَ وَمَلاَئِكَتِهِ.

“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya” hingga akhirnya.

Ia mengatakan, “Ini penjelasan tentang pokok keimanan, yaitu keyakinan hati, dan penjelasan tentang pokok Islam, yaitu kepasrahan dan kepatuhan secara zhahir. Beliau menghukumi Islam secara zhahir, tampak dalam dua syahadat. Beliau hanyalah menghubungkan shalat, zakat, puasa dan haji kepadanya, karena semua itu adalah syiar-syiar Islam yang paling nyata dan paling besar. Dengan men-dirikannya maka menjadi sahlah kepasrahan seseorang.

Kemudian istilah iman itu mencakup semua tafsiran Islam da-lam hadits ini dan semua ketaatan, karena semua itu merupakan buah-buah keyakinan batin yang menjadi pokok keimanan. Karena itu, nama mukmin secara mutlak tidak diberikan kepada orang yang melakukan dosa besar atau meninggalkan kefardhuan; karena nama sesuatu secara mutlak diberikan kepada yang sempurna darinya, dan tidak dipergunakan untuk yang tidak sempurna kecuali dengan niat. Demikian pula boleh menafikan keimanan darinya, sebagaimana dalam sabdanya,

لاَ يَزْنيِ الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَلاَ يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ.

“Tidaklah pezina berzina ketika berzina dalam keadaan beriman, dan tidak pula pencuri mencuri ketika mencuri dalam keadaan beriman.” ( Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 2475; dan Muslim, no. 57)

Istilah Islam mencakup juga pokok keimanan, yaitu keyakinan batin, dan mencakup prinsip ketaatan. Sebab, itu semua adalah is-tislam (kepasrahan). Tapi ia keluar berdasarkan apa yang kami sebutkan bahwa iman dan Islam itu berkumpul dan berpisah, serta bahwasanya setiap mukmin itu muslim dan tidak semua muslim itu mukmin. Tahqiq ini sudah cukup, dengan taufiq Allah, berikut nash-nash al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan tentang iman dan Islam yang kerap kali banyak kalangan mengalami kekeliruan. Apa yang kami tahqiq dari hal itu selaras dengan madzhab jumhur ulama dari ahli hadits dan selainnya. Wallahu a’lam.

CATATAN KAKI:

X Al-Hafizh Ibnu Katsir 5 mengatakan—ketika menafsirkan firman Allah SWT, “Orang-orang Arab badui mengatakan, ‘Kami beriman”—, “Bisa dipetik dari ayat ini bahwa iman itu lebih khusus daripada Islam, sebagaimana pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ini ditunjukkan oleh hadits Jibril j ketika bertanya tentang Islam, kemudian tentang iman, kemudian tentang ihsan. Jadi, naik dari yang lebih umum kepada yang lebih khusus, kepada yang lebih khusus lagi.” Tafsir Ibnu Katsir (4/220)
XI Diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq dalam kitab Iman, Bab Khauf al-Mu’min ‘an Yahbatha ‘Ama-luhu wa Huwa laa Yasy’ur. BERSAMBUNG