Bahasan Ke Empat
Beberapa Sarana yang Mendukung Sikap Sabar

  • Mengenal Tabiat Kehidupan Duniawi

    Sesungguhnya orang yang telah mengenal tabiat kehidupan duniawi setelah mengenal apa yang terkandung dalam kehidupan itu berupa kesulitan dan kepayahan, maka hal tersebut akan mempermudah bagi dirinya untuk lebih bisa bersabar ketika menghadapi cobaan dan ujian dalam kehidupan ini, karena ia mengalami pada suatu keadaan yang memang telah ia duga terjadinya, dan sesuatu yang telah diketahui sumbernya bukanlah suatu hal yang mengejutkan, Allah Subhaanahu Wata’aala telah memberi tahu kita tentang hakekat ini, Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Al-Balad: 4), yaitu dalam keadaan susah payah, dan Allah juga berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja sungguh-sungguh menuju Rabbmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (Al-Insyiqaq: 6), lalu Allah Subhaanahu Wata’aala menerangkan bahwa kesusahan itu tidak terus menerus di setiap keadaan, akan tetapi hari ini adalah hari kebahagiaan bagimu dan esok adalah hari duka untukmu, sebagaimana firman-Nya:

    إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ وَتِلْكَ الأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

    “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)” (Ali-Imran: 140).

    Dalam sebuah sya’ir disebutkan:
    Dunia diciptakan di atas kekeruhan dan engkau menginginkannya jernih dari sesuatu yang menyakitkan dan menyedihkan.

    Dan orang yang menuntut hari-hari bertentangan dengan tabi’atnya bagaikan orang yang mencari perapian di dalam air.

    Sesungguhnya orang yang tidak mengenal hakekat hidup ini akan dikejutkan dengan berbagai macam keadaan, bagaikan seorang yang disirami air secara tiba-tiba di atas kepalanya, lalu ia menduga bahwa dialah satu-satunya di dunia ini orang yang paling menderita karena derita yang ia alami. Maka tidak jarang kita temukan bahwa sebagian manusia mengambil jalan yang menurutnya cara paling cepat untuk mengatasi problematika hidup yaitu dengan melakukan bunuh diri, hal itu dilakukan karena ia tidak mengetahui bahwa setiap ada kesedihan maka akan ada kebahagiaan, dan tidak ada tawa kecuali akan disusul dengan tangisan. Rumah yang dipenuhi dengan keceriaan pada suatu hari, maka akan datang hari yang lain yang memenuhi rumah itu dengan kedukaan. Sesungguhya jika ia meneliti kehidupan dunia ini maka ia akan melihat bahwa tidak sedikit manusia yang ditimpa dengan berbagai macam cobaan dan ujian kehidupan: baik karena ditinggalkan oleh orang yang paling ia cintai, atau mengalami sesuatu yang ia tidak sukai. Kebahagiaan di dunia ini hanyalah mimpi dalam tidur, atau bagaikan bayangan yang pasti akan hilang. Jika kehidupan dunia ini menjadikan dirinya tertawa sejenak, maka suatu saat kehidupan dunia akan menjadikannya bersedih, kenikmatan yang sekejap akan mendatangkan kedukaan yang panjang.

  • Anda harus tahu bahwa Anda dan apa yang ada di tangan Anda semuanya adalah milik Allah, dan kepada-Nya lah Anda akan kembali

    Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

    وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

    “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya)” (An-Nahl: 53).

    Allah Subhaanahu Wata’aala telah mengajari kita dalam kitab-Nya, hendaknya ketika kita tertimpa musibah kita mengucapkan:

    إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

    “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesunguhnya kepada-Nyalah kami kembali.” (Al-Baqarah: 156).

    Berkata Ibnul Qayyim: Bahwa ucapan ini merupakan formula yang paling manjur untuk mengatasi orang yang tertimpa musibah, dan kalimat ini adalah kalimat yang paling bermanfaat bagi orang yang tertimpa musibah untuk kehidupan di dunia saat ini dan untuk kehidupan akhirat kelak, karena ucapan itu mengandung dua hal yang amat penting, yang mana jika seseorang mengetahui kedua hal penting tersebut dalam kehidupannya, maka ia akan terhibur hatinya, dua hal terpenting itu adalah:

    Satu di antaranya adalah: bahwa seseorang beserta keluarga dan hartanya adalah milik Allah Subhaanahu Wata’aala, manusia diciptakan dalam keadaan telanjang bulat dan tidak memiliki suatu apa pun, pula keberadaannya di dunia ini dipagari oleh dua ketiadaan, yaitu: tidak ada sebelumnya dan tidak ada sesudahnya, hingga pada akhirnya dia hanyalah milik Allah yang sebenarnya, Allahlah yang melindungi dan menjaganya dari berbagai macam kelalaian manusia setelah ia berada di bumi ini, dan keberadaan manusia di kehidupan dunia ini tidaklah kekal, kemudian pada akhirnya ia tidak memiliki pengaruh apa pun dan tidak memiliki suatu apa pun yang hakiki.

    Kemudian yang kedua adalah: bahwa sesungguhnya perjalanan seorang anak manusia yang penghabisan dan tempat kembalinya yang terakhir adalah Allah Subhaanahu Wata’aala, sang Pemilik Yang Hakiki. Pada saatnya manusia harus meninggalkan kehidupan duniawi untuk datang kepada Tuhannya sebagaimana ia diciptakan pada saat pertama kalinya, ia datang menemui Tuhannya seorang diri tanpa keluarganya, tanpa harta dan pendamping kecuali seluruh perbuatannya selama di dunia, yang baik maupun yang buruk. Jika demikian awal dan akhir perjalanan anak manusia, maka untuk apa ia bergembira pada apa yang ada dan bersedih pada apa yang telah tiada? Maka dengan bertafakurnya manusia pada permulaan hidupnya dan pada akhir hidupnya adalah formula obat yang paling manjur untuk mengobati penyakit ini. Dari itu dianjurkan kepada kita saat berta’ziyah untuk mengucapkan: “Sesungguhnya milik Allah lah apa yang Dia ambil dan apa yang Ia berikan, dan sesungguhnya segala sesuatu itu di sisi Allah mempunyai ketetapan yang telah ditetapkan”. [Kisah ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari 3/135 dalam kitab Jenazah, Bab Orang yang tidak menampakkan kesedihannya ketika tertimpa musibah. dan dikeluarkan pula oleh Muslim No. 2144]

    Ummu Sulaim istri dari Abu Thalhah telah memahami makna kalimat di atas dengan tepat saat putra tercintanya meninggal dunia, dan ketika suaminya pulang dari suatu perjalanan ia bertanya kepada istrinya tentang putranya, lalu Ummu Sulaim menjawab: “Dirinya sedang tenang dan saya harap dia sedang tidur (maksud sang istri anak itu tidur untuk selama-lamanya),” Sementara Abu Thalhah menduga bahwa anaknya itu tidur sebagaimana biasanya, dan pada saat itu Ummu Sulain sudah mempercantik diri dan berdandan untuk suaminya sehingga Abu Thalhah menggaulinya, lalu ketika Abu Thalhah hendak keluar rumah untuk melaksanakan shalat Shubuh, berkata istrinya kepadanya: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika seseorang menitipkan suatu titipan pada penghuni suatu rumah, kemudian orang yang menitip itu meminta kembali titipannya, berhakkah penghuni rumah itu untuk mencegahnya mengambil titipan itu?”, Abu Thalhah menjawab: “Tidak, karena sesungguhnya titipan itu harus dikembalikan kepada yang berhak yaitu yang menitipkannya”, maka Ummu Sulaim berkata: “Sesungguhnya Allah telah menitipkan putra kita dan kini Allah telah mengambil titipan-Nya itu dari kita”, lalu Abu Thalhah mengucapkan kalimat istirja’ yaitu Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiuun…. sampai akhir kisah. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 3/124 kitab Jenazah Bab Sabda Nabi r “Mayit disiksa akibat tangisan keluarganya terhadapnya” , Dan Muslim No. 923]

  • Berkeyakinan dengan adanya ganjaran baik (pahala) di sisi Allah

    Di antara beberapa hal yang memotivasi manusia untuk melakukan suatu pekerjaan dan dapat menambah kemantapannya dalam melakukan pekerjaan itu adalah; ia mengetahui akan adanya ganjaran yang baik (pahala) bagi dirinya di akherat kelak. Dan kita tidak akan menemukan suatu perbuatan yang ganjaran kebaikannya melebih ganjaran kebaikan kesabaran, Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

    نِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ (58) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (59)

    “Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, (yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Rabbnya.” (Al-Ankabut: 58-59).

    Allah juga telah menerangkan bahwa orang-orang yang bersabar akan diberi balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan:

    مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُون

    “Apa yang dari sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 96).

    Allah menerangkan pula bahwa pahala bagi orang-orang yang bersabar adalah tidak terbatas dan tidak terhitung:

    إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

    “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (Az-Zumar: 10).

    Kaum Mu’minin telah diingatkan pada hakekat semua ini dalam kalimat istirja’ yang Allah perintahkan kepada mereka untuk mengucapkannya pada saat mengalami musibah, yaitu: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali” dengan mengucapkan ini mereka ingat dan sadar bahwa mereka akan kembali kepada Allah lalu mereka akan mendapatkan balasan karena perbuatan mereka dan karena kesabaran mereka dengan sebaik-baiknya balasan di sisi Allah.

    Berkata Abu Thalib Al-Makky dalam kitabnya Quutul Qulub: “Sedikitnya kesabaran pada diri seseorang disebabkan karena lemahnya keyakinan akan adanya ganjaran baik (pahala) di sisi Allah dari sikap sabar yang ia lakukan, karena jika keyakinan mereka itu kuat maka sesuatu yang dijanjikan itu akan cepat datang jika yang mempunyai janji itu adalah jujur, sementara Allah tidak akan mengingkari janjinya itu. Maka dengan demikian kesabaran seseorang akan menjadi kuat karena kuatnya keyakinan akan adanya ganjaran yang baik (pahala) di sisi Allah”.

  • Yakin akan tercapainya kelegaan

    Sesungguhnya keyakinan seorang hamba Allah bahwa kemenangan dapat dicapai dengan sikap sabar, bahwa setelah penderitaan akan datang kebahagiaan, bahwa setelah kesulitan akan datang kemudahan, akan menambah kekuatan sikap sabar pada dirinya dalam menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan. Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang mengandung arti seperti ini, yang mana keyakinan seperti ini memiliki pengaruh yang amat besar untuk menambah kemantapan jiwa dalam menghadapi kehidupan duniawi, Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

    فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)

    “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Asy-Syarh: 5-6).

    Sebagaian ulama berpendapat: “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan”, maksudnya adalah: kata “kesulitan” dalam kedua ayat ini diungkapkan dengan menggunakan huruf alif dan laam (lam ta’rif) yang dalam istilah tata bahasa Arab disebut kata “ma’rifah”, yaitu menunjukkan pada sesuatu yang telah diketahui, dengan demikian jika kata “ma’rifah” disebut berulang-ulang maka yang dimaksud dengan kata itu adalah satu. Lain halnya dengan kata “kemudahan” yang dalam kedua ayat ini diungkapkan tanpa menggunakan huruf alif dan laam yang dalam istilah ilmu tata bahasa Arab disebut kata “nakirah” yaitu kata yang menunjukkan pada sesuatu yang belum diketahui, dengan demikian jika kata “nakirah” itu disebut berulang-ulang maka yang dimaksud dengan kata itu adalah sebanyak pengulangan kata itu. Jika dalam kedua ayat ini diungkapkan kata “kemudahan” dengan ungkapan “nakirah” dua kali, maka maksudnya adalah dua kemudahan, sementara kata “kesulitan” diungkapkan dengan “marifah” dua kali, maka maksudnya adalah satu kesulitan.

    Dalam kedua ayat ini disebutkan, bahwa: (Sesungguhnya “bersama” kesulitan itu terdapat kemudahan), dan tidak diungkapkan dengan ungkapan; (Sesungguhnya “sesudah” kesulitan itu terdapat kemudahan), jadi yang digunakan kedua ayat ini adalah kata ma’a (bersama) dan bukan kata ba’da (sesudah), ungkapan ini bertujuan untuk menyatakan bahwa kemudahan akan datang sesudah itu dalam waktu yang amat dekat hingga seakan-akan kemudahan itu datang bersamaan dengan kesulitan itu sendiri. Juga merupakan suatu pernyataan bahwa setiap kesulitan akan disusul dengan kemudahan yang lebih banyak.

    Al-Qur’an telah berulang-ulang menyebutkan perintah untuk bersabar yang disertai dengan pernya-taan bahwa janji-janji Allah adalah benar dan tidak pernah mengingkari janji-Nya, Allah berfirman:

    وَعْدَ اللَّهِ لا يُخْلِفُ اللَّهُ الْمِيعَاد

    “Allah telah berjanji dengan sebenar-benarnya. Allah tidak akan memungkiri janji-Nya.” (Az-Zumar: 20)

    Dan Allah berfirman pula:

    فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لا يُوقِنُونَ

    “Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (Ar-Ruum: 60).

    Sunnatullah telah mengajari kita bahwa ketikan penderitaan telah sampai pada puncaknya, maka hal itu akan mengisyaratkan bahwa telah mendekatnya kemenangan dan pertolongan. Oleh karena itu kita dapati bahwa Nabi Ayub harapannya untuk bertemu dengan Yusuf lebih besar saat anaknya yang kedua hilang, saat itu ia berkata sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an: “Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semua-nya kepadaku.” (Yusuf: 83), kemudian ia berkata kepada anak-anaknya yang lain: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudara-nya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf: 87).

  • Memohon pertolongan kepada Allah

    Di antara sikap yang dapat membantu orang yang tertimpa musibah untuk bersabar adalah memohon pertolongan kepada Allah Subhaanahu Wata’aala, berlindung di bawah naungan-Nya dan dalam pengawasan-Nya. Barangsiapa yang berada dalam perlindungan Tuhannya maka ia tidak akan teraniaya, oleh karena itu Musa berkata kepada umatnya setelah Fir’aun mengancam Musa beserta para pengikutnya:

    قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِين

    “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersa-barlah; sesungguhnya bumi ini milik Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al-A’raf: 128).

    Bisa jadi kebutuhan orang-orang bersabar untuk meminta pertolongan kepada Allah dan tawakkal kepada-Nya adalah merupakan sebagian dari rahasia disandingkannya sikap sabar dengan tawakkal kepada Allah pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, seperti firman Allah yang berbunyi:

    نِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ (58) الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

    “Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, (yaitu) yang bersabar dan bertawak-kal kepada Rabbnya.” (Al-Ankabut: 58-59)

    Dan firman-Nya tentang apa yang diucapkan para Rasul-Nya:

    وَمَا لَنَا أَلا نَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ

    “Dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terha-dap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri.” (Ibrahim: 12)

  • Meneladani orang-orang yang sabar

    Dengan memperhatikan perjalanan hidup orang-orang sabar akan menimbulkan dorongan yang sangat kuat dalam diri kita untuk bersikap sabar, dari sini kita dapat mengetahui rahasia yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang menganjurkan untuk bersabar dengan menyebutkan kesabaran para nabi dalam menghadapi halangan dan rintangan yang datang dari kaumnya, inilah yang telah Allah nyatakan dalam firman-Nya yang berbunyi:

    وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِين

    “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Huud: 120)

    Dan Allah berfirman pula:

    وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ

    “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (Al-An’am: 34).

    Lalu datang perintah Allah secara jelas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meneladani orang-orang yang bersabar sebelum beliau:

    فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ

    “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul yang telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (adzab) bagi mereka.” (Al-Ahqaf: 35).

    Dan ketika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertimpa musibah, maka Allah mengingatkan mereka tentang musibah yang juga menimpa orang-orang sebelum mereka dengan firman-Nya:

    أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِين

    “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beri-man”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesung-guhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)

    Dan juga Allah berfirman kepada mereka:

    أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيب

    “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebe-lum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan berma-cam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah”. Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Al-Baqarah: 214).

  • Percaya kepada Taqdir Allah

    Sesungguhnya kepercayaan seorang hamba kepa-da taqdir Allah serta menyerahkan ketetapan taqdir itu kepada Allah merupakan pertolongan yang paling besar untuk mengatasi berbagai macam musibah, juga pengetahuan seorang hamba Allah bahwa kebaikan dan keburukan yang dialaminya adalah merupakan taqdir Allah yang telah ditetapkan kepadanya, pemahamannya yang seperti ini adalah buah dari keyakinannya kepada Allah yang dapat menyejukkan hatinya, Allah berfirman:

    مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور

    “Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Luhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesung-guhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada-mu.” (Al-Hadiid: 22-23).

    Keyakinan seorang Mu’min terhadap taqdir yang seperti ini adalah sikap yang amat mendukung untuk timbulnya sikap sabar dalam dirinya, karena merubah taqdir yang telah Allah tetapkan kepada seorang hamba adalah suatu hal yang mustahil.

    Dan perlu diketahui bahwa kesedihan, kegelisa-han dan kejemuan serta perasaan tertekan tidak dapat merubah taqdir Allah sedikitpun, maka langkah perta-ma yang harus dilakukan oleh seorang Mu’min yang tertimpa musibah adalah bersabar agar pahalanya tidak hilang. Sebabnya jika ia tidak bersabar pada benturan pertama itu maka pada benturan-benturan selanjutnya ia pasti akan bersabar, namun celakanya kesabarannya itu tidak mendatangkan pahala baginya. Orang bijak berkata: “Orang yang berakal akan bersikap sabar pada hari pertama saat musibah datang, sedangkan orang bodoh akan bersikap sabar pada hari ketujuh setelah musibah itu terjadi.”

    Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam kesedihan tidak dapat merubah musibah yang telah terjadi sedikit pun, bahkan sebaliknya akan menambah kesedihan dan kedukaan itu sendiri, maka dari itulah Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam utusan-Nya:

    قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ (33) وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (34) وَإِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكَ إِعْرَاضُهُمْ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَبْتَغِيَ نَفَقًا فِي الأَرْضِ أَوْ سُلَّمًا فِي السَّمَاءِ فَتَأْتِيَهُمْ بِآيَةٍ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَمَعَهُمْ عَلَى الْهُدَى فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْجَاهِلِين

    “Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hati-mu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zhalim itu menging-kari ayat ayat Allah. Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka. Tak ada seorang pun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesung-guhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu. Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat melihat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mu’jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (Al-An’am: 33-35).

    Pada ayat pertama Allah telah menghapuskan duka yang berada dalam hati utusan-Nya dengan menyatakan bahwa dusta orang-orang kafir itu bukan ditujukan kepada utusan-Nya melainkan ditujukan kepada Allah Subhaanahu Wata’aala, kemudian pada ayat-ayat selanjutnya Allah menghiburkan hati Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan memberitakan kepada beliau bahwa para utusan Allah yang sebelumnya juga telah bersabar, kemudian pada ayat selanjutnya Allah berfirman kepada beliau: “Jika keberpalingan mereka darimu menimbulkan kesedihan yang mendalam di hatimu maka tidak ada jalan bagimu wahai Muhammad kecuali bersabar, dan jika kamu tidak mau bersabar maka lakukanlah apa yang dapat kamu sanggupi, jika kamu sanggup mem-buat lobang di bukit atau tangga ke langit untuk membuat mu’jizat kepada mereka maka lakukanlah dan kamu tidak akan sanggup melaksanakan hal itu”.