Syubhat dan Jawaban

Dan sekiranya ada yang mengatakan: “Apabila di dalam ayat-ayat (tersebut di atas) tidak ada yang menunjukkan terhadap kejelasan hukum ini, yaitu tidak diperbolehkannya menyentuh al-Qur’an bagi mereka yang belum bersuci ( dari hadats kecil atau besar ), maka di dalam as-Sunnah ada yang menunjukkan demikian, yaitu sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “ Tidaklah menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang bersuci.” ( Irwa’ul Ghalil, hal. 122).”
Dan bukankah orang yang suci itu akan suci dengan cara bersuci……….?????

Dan jawaban kita terhadap yang demikian (syubhat) dari dua sisi:

Pertama: Bahwa yang dimaksudkan dengan kata “ Thahir “ adalah orang mukmin, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan: “ Sesungguhnya orang mukmin tidak najis.” (HR. Bukhari, no. 283 dan Muslim, no. 371 dari Abi Hurairah). Maka hadits (di atas) bermakna: “ Tidaklah menyentuh al-Mushhaf (al-Qur’an) melainkan orang mukmin.”

Dan yang dimaksudkan demikian adalah tidak adanya kesempatan menyentuhnya bagi orang musyrik, sebagaimana hadits (sabda Nabi Shallallaahu a’laihi wa sallam):“ Dilarang bepergian dengan membawa al-Qur’an ke bumi (daerah) musuh.” (Tamamul Minnah, 1/107), dan hal ini jika dalam kondisi tidak terpaksa.

Kedua: Bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika menulis (surat) ke raja-raja (negara) kafir dan surat beliau mengandung ayat-ayat dari al-Qur’an, dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa mereka pada saat itu menyentuhnya, atau menyentuhnya orang yang membacakannya untuk mereka dari orang yang terpercaya yang beragama seperti agama mereka.

Dan bagi orang yang mengatakan: ’’Bagaimana tergabungkan antara sabda Nabi Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci” dan idzin beliau bagi selain orang muslim untuk menyentuhnya sementara mereka adalah najis sebagaimana Allah Ta’ala telah memberikan sifat terhadap kesyirikan mereka, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis”.(QS. at-Taubah:28), dan tidak diragukan lagi bahwa dosanya penyimpangan (yang dilakukan) oleh orang musyrik karena menyentuhnya adalah lebih besar daripada penyimpangan (yang dilakukan) oleh orang muslim (yang berhadats) karena menyentuhnya.

Dan jawaban (terhadap hal ini) adalah, “Benar, bahwa di sana ( dua konteks diatas) saling bertentangan, akan tetapi merupakan pertentangan secara dhahir (teks dalil) tidak pada hakekatnya, karena sesungguhnya surat-surat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu adalah ajakan (da’wah) kepada mereka agar masuk Islam, dan Islam tidak akan diketahui melainkan dengan nash-nash wahyu, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, maka bagaimana akan dapat berda’wah kepada mereka jika mereka tidak diseru dengan nash-nash yang demikian khususnya nash-nash yang berbicara tentang aqidah; sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:
Artinya: “ Katakanlah: Hai Ahil Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun…..” (QS. Ali Imran: 64).

Padahal aqidah adalah perkara pertama kali dengannya orang kafir dan musyrik diseru; karena dengan tegaknya aqidah tegaklah Islam secara keseluruhan, dan dengan goncangnya aqidah goncanglah Islam secara keseluruhan, dan dengan hilangnya aqidah hilanglah segala sesuatu, dan tidak akan diterima setelahnya suatu apapun.
Juga firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:
Artinya: “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah…” (QS. At-Taubah: 5)
Di dalam ayat ini terdapat landasan atas prinsip yang demikian, dan pembenaran terhadapnya.

Sementara hakekat mendengarkan (yang sebenarnya) tidaklah akan terjadi melainkan dengan talaqqi (bertemu) terhadap apa yang bisa menetapkan dan menguatkan hakekat tersebut, dan jalan (cara) untuk mewujudkannya adalah dengan al-Qur’an keseluruhannya atau sebagiannya, sesuai dengan kebutuhan yang mendakwahkan. Jika (dipandang) cukup dengan satu dalil atau dua dalil, maka cukuplah dengan keduanya. Dan jika (dipandang) tidak cukup dengan keduanya maka bisa ditambahkan atasnya (dalil yang lain), meskipun (jika perlu) mushhaf (al-Qur’an) keseluruhannya.

Maka berdakwah hukumnya adalah wajib bagi ummat, dan sesuatu yang kecuali dengannya akan terwujud perkara yang wajib, maka sesuatu itu menjadi wajib.