Ketahuilah bahwa madzhab yang terpilih yang dijadikan pedoman oleh para pakar fikih, hadits, dan jumhur ulama dari segala golongan (latar belakang), dari kalangan salaf dan khalaf, menyatakan bahwa berdoa itu sunnah yang (sangat) dianjurkan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمْ اُدْعُونِي أَسْتُجِبْ لَكُمْ

“Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu’.” (Al-Mukmin: 60).
Dan FirmanNya,

أُدُعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (Al-A’raf: 55).

Dan ayat-ayat tentang hal tersebut sangat banyak dan masyhur.
Sedangkan hadits-hadits shahih tentang hal ini adalah terkenal dan masyhur, dan lebih jelas dari pada harus disebutkan, dan sungguh telah kami sebutkan doa-doa kurang lebih dalam bab ad-Da’awat yang mana di dalamnya lebih dari cukup.

Kami meriwayatkan dalam Risalah al-Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi rahimahullah dia berkata, “Orang-orang berselisih tentang sikap yang paling utama, apakah berdoa ataukah diam dan ridha? Di antara mereka ada yang berpendapat, ‘Doa itu ibadah sebagaimana hadits terdahulu,

اَلدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ.

“Doa itu adalah ibadah.”

Takhrij Hadits: Shahih, Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, no. 801; Abdurrazaq dalam at-Tafsir, no.2685; Ibnu Abi Syaibah, no. 29158; Ahmad 4/267, no. 271 dan 276; al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 714; Ibnu Majah, Kitab ad-Du’a`, Bab Fadhlu ad-Du’a`, 2/1258, no. 3828; Abu Dawud, Kitab ash-Shalah, Bab ad-Du’a`, 1/466, no. 1479; at-Tirmidzi, Kitab at-Tafsir, Bab Surah al-Mukmin, 5/374, no. 3247 dan 3372; an-Nasa`i dalam al-Kubra, no. 11643-Tuhfah; Ibnu Hibban, no. 890; ath-Thabrani dalam ad-Du’a`, no. 1-7; al-Hakim 1/490; Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 8/120; al-Qudha`i, no. 29; al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 1105; dan al-Baghawi, no. 1384: dari dua jalur sanad, dari Dzar, dari Yusai’ al-Kindi, dari an-Nu’man bin Basyir dengan hadits tersebut.

Al-Baghawi berkata, “Hadits ini tidak diketahui kecuali dari hadits Dzar.” Saya berkata, Hal ini tidak membahayakannya, karena dia tsiqah dan termasuk perawi asy-Syaikhain, dan Yusai’ al-Kindi juga tsiqah, maka sanadnya bersih, dan haditsnya shahih, as-Sakhawi telah menghasankannya, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Mundziri, an-Nawawi, adz-Dzahabi, al-Asqalani dan al-Albani menshahihkannya.

Juga karena doa adalah menampakkan rasa butuh kepada Allah. Sekelompok orang berkata, ‘Diam dan tenang di bawah mengalirnya hukum sunnatullah adalah lebih sempurna, dan ridha dengan takdir yang lewat adalah lebih utama.’ Sekelompok orang yang lain berkata, ‘Orang yang berdosa, hendaklah berdoa dengan lisannya dan ridha dengan hatinya, hendaklah dia datang dengan keduanya sekaligus.’

Al-Qusyairi berkata, “Dan yang lebih utama untuk dikatakan adalah bahwa waktu berbeda-beda. Di beberapa kondisi, doa adalah lebih utama daripada diam, dan ia merupakan adab. Dan di beberapa kondisi lainnya, diam adalah lebih utama daripada doa, dan ia juga merupakan adab. Hal tersebut hanya dapat diketahui dari waktu. Apabila dia mendapatkan isyarat dalam hatinya untuk berdoa, maka doa adalah lebih utama. Dan apabila dia mendapatkan isyarat untuk diam, maka diam adalah lebih utama.” Dia berkata, “Dan benar pula jika dikatakan bahwa apabila kaum Muslimin mendapatkan bagian di dalamnya, atau Allah subhanahu wata’ala memiliki hak di dalamnya, maka doa adalah lebih utama, karena ia merupakan ibadah. Dan apabila kamu mendapatkan bagian di dalamnya maka diam adalah lebih utama.”
[Tidak mungkin digambarkan bahwa diam lebih utama daripada berdoa dalam kondisi apa pun. Doa bisa dalam bentuk pujian dan bisa berupa harapan. Bila berbentuk pujian, maka tidak ada perselisihan bahwa ia lebih sempurna dan lebih utama daripada diam dalam semua kondisi apa pun, kecuali kalau pada kondisi dan waktu yang dimakruhkan dzikir di dalamnya sebagaimana pembahasan yang isyaratnya telah terdahulu dalam awal kitab. Bahkan doa harapan, juga dibela oleh banyak dalil-dalil bahwa berdoa lebih utama daripada diam dalam segala kondisi. Karena ia lebih jelas sebagai bentuk kebutuhan dan keperluan kepada Allah serta lebih utama dalam kedudukan ibadah. Akan tetapi sebagian manusia lebih mengutamakan diam adalah karena dugaan mereka bahwa doa menodai sifat ridha. Padahal doa tidaklah demikian menurut para ahli peneliti. Cukuplah kami kemukakan seperti ini, dan untuk menjelas-kannya secara terperinci ada pada tempat lain, pent]

Dia (Al-Qusyairi) berkata, “Di antara syarat-syarat berdoa adalah hendaklah makanannya halal.”

Dan Yahya bin Mu’adz ar-Razi rahimahullah pernah berkata, “Bagaimana aku berdoa kepadaMu sedangkan aku bermaksiat? Dan bagaimana aku tidak berdoa kepadaMu sedangkan Engkau Maha Dermawan?”

Dan di antara adab-adabnya adalah hadirnya hati, dalilnya akan disebutkan nanti Insya Allah.

Dan sebagian mereka berkata, “Yang dimaksud dengan berdoa adalah menampakkan kepapaan (rasa butuh), jika tidak, maka Allah subhanahu wata’ala melakukan apa yang dikehendaki-Nya.” [Maksud mereka adalah bahwa doa tidak bernilai dan tidak berpengaruh terhadap qadha` dan qadar Allah. Ini merupakan perkataan yang paling jelek dan paling jauh dari kebenaran. Ahlussunnah wa al-Jama’ah berpendapat bahwa Allah menakdirkan segala sesuatu yang ditakdirkannya dengan segala sebabnya. Dia tidak menakdirkan sesuatu dalam keadaan terlepas dari sebab-sebab. Maka ketika seorang hamba membawa sebab-sebab tersebut -dan doa adalah di antara sebab-sebab tersebut- maka terjadilah sesuatu yang ditakdirkan. Dan ketika seorang hamba tidak membawa sebab-sebab tersebut maka hilanglah sesuatu yang ditakdirkan, pent.]

Dan al-Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Ihya` berkata bahwa adab berdoa itu ada sepuluh:

Pertama, hendaklah menunggu waktu-waktu yang mulia, seperti hari Arafah, Bulan Ramadhan, Hari Jumat, Akhir sepertiga malam, waktu sahur, dan lain-lain.

Kedua, hendaklah mempergunakan situasi yang mulia, seperti pada keadaan sujud, sewaktu bertemu musuh, turun hujan, ketika melaksanakan shalat dan sesudahnya. Saya berkata, ‘Dan pada waktu lembutnya hati.’

Ketiga, Menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan mengusap wajahnya dengan keduanya pada akhir doa. [Hadits-hadits yang muncul tentang mengusap wajah di akhir doa adalah sangat lemah sekali. An-Nawawi sendiri memastikan dalam al-Majma’ bahwa mengusap wajah tidak disunnahkan. Dan dinukilkan dari al-Izz bin Abdussalam perkataan, “Tidaklah orang yang mengusap wajahnya dengan tangannya sesudah berdoa melainkan hanyalah orang bodoh.” Pent] (bersambung)

Sumber: dikutib dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)