Terlepas dari tolak ukur kebahagiaan yang berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, ada keluarga yang memandang kebahagiaan dari sisi materi, ada keluarga yang memandang kebahagiaan dari sisi kedudukan, ada keluarga yang memandang kebahagiaan dari sisi keteguhan memegang sebuah kaidah dan prinsip dan ada pula keluarga yang memandang kebahagiaan dari sisi berbeda lainnya, namun dari semua itu bisa ditarik sebuah benang merah yang menurut hemat penulis bisa mengikat perbedaan pandangan dalam perkara kebahagiaan.

Kebahagiaan adalah terwujudnya harapan dan tertepisnya kekhawatiran. Jika dua perkara ini terealisasikan pada diri seseorang atau pada sebuah rumah tangga maka dia akan merasakan kebahagiaan. Satu dari keduanya tidak cukup menciptakan, jika harapan terwujud akan tetapi apa yang dikhawatirkan terjadi, atau sebaliknya apa yang dikhawatirkan tidak terjadi namun harapannya tidak terwujud, dalam kondisi ini kebahagiaan tidak terwujud sempurna. Walaupun penulis juga menyadari bahwa harapan dan kekhawatiran sebuah keluarga tidaklah sama dengan keluarga yang lain.

Meskipun apa yang diharapkan oleh seseorang dan apa yang dia khawatirkan beragam dan beraneka sehingga titik pertimbangan dalam menilai sebuah kebahagiaan secara otomatis beragam dan beraneka pula, namun penulis yakin bahwa para pembaca dengan keberagaman mereka menyetujui bahwa perkara-perkara di bawah ini merusak kebahagiaan dalam rumah tangga, memperkeruh beningnya jalinan kasih di antara anggotanya, bahkan bisa lebih parah dari itu tergantung beratnya perkara tersebut.

Pertama, berbohong atau berdusta

Berdusta berarti menyampaikan atau memberitakan sesuatu menyelisihi realita, bisa dengan kata-kata, bisa dengan perbuatan, bisa dengan isyarat atau bahasa tubuh bahkan bisa pula dengan diam.

Semua orang bahkan anak kecil sekali pun mengetahui bahwa dusta merupakan perangai tercela dan perbuatan buruk. Dusta menyeret kepada fujur (perbuatan dosa) dan fujur menyeret ke neraka. Demikian peringatan Rasulullah saw terhadap akhlak tercela ini.

Dusta termasuk sebab ditolaknya perkataan, runtuhnya kepercayaan kepada pelakunya dan pandangan kepadanya dengan mata pengkhianatan, padahal kepercayaan dalam rumah tangga merupakan salah satu kunci kebahagiaannya. Apalah arti sebuah bangunan rumah tangga yang tidak didasari dengan sikap saling percaya karena adanya kedustaan dari salah seorang pilarnya atau keduanya, di mana dalam hal ini adalah suami dan istri?

Siapa pun sadar bahwa dusta sekecil apa pun akan menyeret kepada dusta berikutnya, sehingga tidak ada cara yang paling manjur menurut pendusta untuk menutupi dusta pertama selain dusta kedua dan begitu seterusnya. Hal ini karena dusta ibarat tambang pendek yang jika diruntut sebentar saja maka akan tertangkap ujungnya, demikian pula dengan dusta yang jika diruntut dengan sedikit kecermatan maka akan terkuak kedoknya, agar ujung tambang tidak tertangkap maka ia harus disambung, agar dusta tidak terkuak maka harus ditimpali dengan dusta yang baru, dan begitu seterusnya. Betapa buruknya sebuah perangai yang menyeret pelakunya kepada perangai berikutnya di mana kedua-duanya sama-sama buruk. Betapa susahnya hidup orang yang memilih jalan seperti ini.

Imam al-Mawardi berkata, “Dusta adalah kunci segala keburukan, dasar setiap celaan karena akibatnya yang buruk dan hasilnya yang busuk, ia menelurkan namimah dan namimah melahirkan kebencian dan kebencian menyeret kepada permusuhan, tidak ada rasa tenang dan aman dengan adanya permusuhan, dari sini maka dikatakan, qalla shidquhu fa qalla shadiquhu (sedikit kejujurannya maka sedikit pula kawannya).”

Penulis yakin bahwa Anda wahai pembaca yakin bahwa siapa pun tidak berharap didustai atau dikibuli. Anda pasti merasa sakit dan kecewa jika seseorang mendustai Anda. Sakit dan kecewa ini akan semakin tinggi dan berat jika ia terjadi dari orang yang telah Anda percayai, karena semakin tinggi sebuah kepercayaan semakin sakit sebuah pengkhianatan, sebagaimana semakin tinggi Anda jatuh semakin sakit pula yang Anda rasakan. Lalu siapa orang yang paling Anda percayai dalam kehidupan Anda? Bukankah dia adalah orang-orang terdekat Anda? Benar, pasangan hidup Anda. Bagaimana jika pasangan Anda ini mendustai Anda? Penulis yakin Anda telah mengantongi jawabnya, oleh karena itu jangan coba-coba mendustai. Jangan melakukan apa yang tidak Anda ingin dilakukan oleh pasangan Anda kepada Anda, termasuk dusta.

Di samping itu untuk apa Anda membohongi pasangan? Dengan alasan dan atas dasar apa Anda mendustainya? Dusta biasanya dilakukan oleh para pengecut yang tidak berani bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Bohong pada umumnya diperbuat oleh orang-orang rendah yang ingin kerendahannya tidak terungkap. Namun tahukah Anda bahwa pada saat kebohongan dan kedustaan itu terungkap, dan pasti terungkap, maka rasa kecewa dan rasa sakit dari korban kebohongan jauh lebih berat dibanding jika dia mengetahui apa adanya dari awal, jika dia mengetahui dari awal karena Anda tidak berdusta maka tidak menutup kemungkinan yang bersangkutan tidak akan mempersoalkannya atau memakluminya karena dia sadar bahwa manusia tidak sempurna. Jadi untuk apa berdusta?

Dengan asumsi pasangan Anda akan marah dan kecewa jika Anda berterus-terang dan meninggalkan kedustaan dan kepalsuan, bahkan dia mungkin berubah sikap atau mungkin menghukum Anda, namun penulis jamin bahwa semua itu akan lebih besar, marah pasangan akan lebih besar, perubahan sikapnya akan lebih ekstrim dan hukumannya kepada Anda akan lebih berat pada saat dia mengetahui Anda telah mendustainya. Anda bukan anak kecil yang takut cubitan atau jeweran dari ibu jika dia berkata jujur bukan?

Rasa kecewa dan menyesal pada saat didustai benar-benar merusak kebahagiaan, menciderai ketenteraman dan menenggelamkan kepercayaan kepada pasangan. Sekali dua kali barangkali dimaklumi oleh pasangan, walaupun tidak semua pasangan bisa seperti itu, akan tetapi jika hal ini terus terulang, maka jangan pernah bermimpi meraih kebahagiaan dalam rumah tangga Anda, mendingan kalau pasangan tidak melakukan hal serupa, tetapi siapa yang berani jamin sementara manusia cenderung membalas. Semakin runyam perkaranya, semakin kusut benangnya, semakin becek tanah basahnya jika dusta telah berbalas dusta.

Stop kebohongan sekarang juga, kalimat bijak berkata, “Ash-shidqu manja wal kadzibu mahwa.” Jujur itu menyelamatkan dan dusta itu mencelakakan.

Kedua, menghina dan mencela

Kata orang, luka di tubuh bisa diobati, tetapi luka di hati sulit dicari kesembuhannya. Benar, karena hati ibarat kaca, jika ia pecah maka tidak bisa ditambal. Menghina dan mencela melukai hati, sekali pun orang yang dihina dan dicela karena sesuatu memang demikian, namun dia akan tetap merasa sakit dan hal itu bukan merupakan pembenaran bagi orang lain untuk mencela dan menghinanya.

Dalam batas-batas tertentu orang cenderung mengacuhkan hinaan dari orang lain, karena bisa jadi dirinya memang seperti yang dikatakan oleh orang lain itu, bisa pula dirinya merasa tidak mempunyai urusan dengan orang lain tersebut, apa pedulinya. Bodoh amat. Namun hal ini akan berbeda manakala hinaan dan celaan datang dari orang yang ada di samping kita, orang yang paling kita sayangi, suami atau istri. Sudah barang tentu hal ini akan lebih menyakitkan hati, rasa kecewa yang dipikul pun lebih berat. Bayangkan orang yang kita sayangi dan kita cintai justru malah berani menghina dan mencela. Sakit bukan? Kalau sudah demikian lalu bagaimana? Apa pun, penulis yakin hal ini mengganggu kebahagiaan Anda.

Ini dari sisi korban hinaan dan celaan. Kalau dari sisi pelaku maka penulis katakan bahwa mencela atau menghina merupakan perilaku tercela dan terhina, tidak ada manusia termasuk istri atau suami Anda bahkan Anda sendiri yang merasa nyaman dicela dan dihina, jika demikian maka Anda tidak patut melakukannya, lebih-lebih kepada orang yang selalu mendampingi Anda. Satu hal yang jarang disadari oleh seorang pencela atau penghina, bahwa celaan dan hinaan yang berasal darinya merupakan indikasi dari apa yang bercokol di dalam jiwanya. Mencela dan menghina bersumber dari jiwa yang hina dan cela, layaknya air keruh yang berawal dari mata air yang keruh pula. Kalau sebuah jiwa itu bersih maka yang keluar darinya adalah kata-kata dan sikap yang bersih, ibarat mata air yang jernih mengalirkan air yang bening dan menyejukkan. Dari sini maka orang yang mencela dan menghina, lebih-lebih jika celaan dan hinaan dialamatkan kepada suami atau istri, lebih berhak dan lebih layak mendapatkan hinaan dan celaan tersebut, dirinya lebih patut untuk dia cela, karena dengan mencela menunjukkan bahwa dirinya busuk.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala manakala Dia melarang kaum muslimin, termasuk kaum muslimat, saling mengejek di antara mereka. Dia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olok wanita-wanita yang lain, karena bisa jadi wanita-wanita yang diperolok-olok itu lebih baik daripada wanita-wanita yang memperolok-olok.” (Al-Hujurat: 11).

Dalam ayat di atas Allah menyatakan bahwa pihak yang diejek bisa jadi lebih baik, ini menunjukkan bahwa dengan mengejek, seseorang telah meletakkan dirinya pada posisi yang lebih rendah daripada orang yang dia ejek. Kalau suami menghina atau mencela istri, berarti secara tidak langsung dia memposisikan diri lebih rendah, konsekuensinya adalah bahwa dirinyalah yang lebih berhak mendapatkan hinaan yang dia katakan itu. Kata orang, ketika kamu menunjuk kepada seseorang, maka satu jari mengarah kepadanya dan empat jari mengarah kepada dirimu sendiri. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)