Ketiga, berselingkuh

Di samping perbuatan ini merupakan dosa besar kepada Allah Ta’ala, ia merupakan pengkhianatan terhadap ikatan suci pernikahan, karena ikatan suci ini berkonsekuensi membatasi hubungan hanya dengan istri atau suami seorang, manakala salah satu dari keduanya melakukan ini berarti dia telah merobek dan memotong jalinan suci ini. Maka tidak heran jika dosa ini menempati nomor wahid dalam deretan perusak rumah tangga. Adanya PIL atau WIL. Alih-alih orang baik, bersih dan berakhlak luhur, orang yang tidak demikian pun menolak dan tidak menerima jika pasangannya melakukan dosa ini, karena fitrah yang lurus dan tabiat yang bersih memang menuntut demikian. Siapa sudi menerima alih-alih membersihkan bejana yang telah dijilat anjing yang mungkin sebelum itu anjing ini telah menjilat beberapa bejana yang belum tentu bersih? Siapa mau menerima anjing berperilaku kotor, sudah tersedia yang halal lagi baik, dia mendapatkannya kapan dia ingin, namun dia masih melongok dan mengais-ngais sampah di seberang jalan?

Penulis tidak berpanjang lebar dalam poin ini, di sini penulis hanya mengingatkan, karena sebelumnya penulis telah menulis dalam LINK yang sama dengan judul “Selingkuh Penghancur Rumah Tangga.”

Keempat, memukul

Memukul yang dikenal oleh masyarakat dengan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) termasuk faktor yang berperan penting dalam merusak kebahagiaan, hal itu karena, istri yang mendapatkan perlakuan seperti ini tidak akan menemukan ketenangan, dia selalu dalam ketakutan, lebih-lebih jika suami bertindak asal pukul, benar atau salah istri selalu kena pukul, lebih-lebih jika pukulannya kasar dan brutal. Istri yang diperlakukan seperti ini pasti berontak, dia akan menuntut berpisah dari suaminya dan dia memang berhak untuk itu.

Ayat 34 surat an-Nisa` membolehkan suami memukul istri, akan tetapi tidak asal memukul, ayat ini meletakkan batasan dan ketentuannya. Pertama, ia dilakukan ketika istri nusyuz, yakni durhaka dengan tidak manaati suami dalam batas-batas yang dibolehkan, ini berarti jika istri belum terbukti nusyuz maka suami belum boleh melakukan, setelah terbukti istri nusyuz maka tidak otomatis suami langsung memukulnya, suami terlebih dulu harus melakukan dua tahapan sebelumnya yaitu menasihatinya, jika istri adalah muslimah yang shalihah dan dia terbukti nusyuz maka cukuplah nasihat baginya, dia akan menyadari kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar. Dengan demikian selesailah persoalannya tanpa ada kekerasan.

Kalaupun dengan nasihat belum cukup maka masih ada langkah kedua yang mesti dilalui yaitu berpisah darinya di tempat tidur. Dalam tahap ini kalau istri memang muslimah yang shalihah dan terbukti dia nusyuz maka dia akan menyadari, jadi suami tidak perlu melakukan langkah yang terakhir. Kalau tahap-tahap ini dilaksanakan dengan baik niscaya tidak akan terjadi pemukulan, jika suami memukul setelah dia menjalankan tahap-tahap tersebut dengan baik maka dalam kondisi ini istri adalah wanita dungu. Jadi siapa yang salah? Kambing yang tidak mempan dihardik dengan mulut memang pantas dihardik dengan tongkat.

Walaupun memukul diizinkan akan tetapi ia adalah cara pamungkas yang harus didahului oleh beberapa cara yang baik dan lembut, penulis yakin jika cara-cara ini dijalankan dengan baik niscaya tidak akan ada kekerasan dalam rumah tangga, dan agama Islam tidak dikambing-hitamkan sebagai pemicu kekerasan dalam rumah tangga hanya karena ia membolehkan memukul.

Lihatlah teladan Rasulullah saw, Aisyah berkata, “Rasulullah saw tidak sekalipun memukul sesuatu dengan tangannya, tidak wanita, tidak pula pembantu kecuali dalam keadaan jihad di jalan Allah.”(HR. Muslim).

Di samping itu batasan memukul juga mesti diperhatikan, karena tujuannya adalah mendidik bukan menyakiti maka memukul yang dibolehkan adalah memukul yang tidak melukai dan tidak mematahkan, tidak melukai daging dan tidak mematahkan tulang, ditambah tidak memukul anggota yang diharamkan misalnya wajah sebagaimana dalam hadits Hakim bin Muawiyah di atas.

Batasan-batasan memukul yang diletakkan syariat ini tidak menemukan penerapannya di masyarakat. Yang kita lihat adalah bahwa suami memukul tanpa mengindahkan aturan-aturan dan batasan-batasannya. Dari sini muncul suara sumbang kepada Islam. Suara ini berkata, gara-gara Islam membolehkan memukul, maka para suami melakukan. Penulis berkata, lagi-lagi Islam yang terkena getahnya akibat ulah orang-orang bodoh yang tidak menengok aturan luhurnya. Islam benar, lurus dan bersih. Sebagian orang Islamlah yang menodai kebersihannya. Jadi jangan gebyah uyah, tidak semua sayur itu asin.

Kelima, memaksa

Kebahagiaan sulit terwujud dengan pemaksaan, karena pemaksaan berarti tekanan. Orang yang terkenan berada dalam ketakutan dan kecemasan, lalu di mana bahagianya? Dari sini kita memahami mengapa dalam akad pernikahan seorang wali dianjurkan untuk meminta persetujuan anak perempuan dan tidak memaksa nya menikah dengan orang yang tidak disukainya. Karena jika hal ini dilakukan, maksud penulis wali memaksakan kehendaknya, maka anak perempuan ini berada dalam tekanan, dia masuk ke dalam rumah dan hidup bersama orang asing dengan keterpaksaan. Dalam kondisi ini akan sulit baginya meraih kebahagiaan. Sebaliknya jika si gadis masuk ke dalam pernikahan dengan rela maka dia akan melakukan segalanya dalam rumahnya dengan rela karena itu sudah menjadi pilihannya atas dasar kerelaan darinya.

Jika kebahagiaan tidak terwujud dengan adanya pemaksaan, maka sebaliknya yang benar. Kebahagiaan terwujud dengan adanya kerelaan dan keikhlasan, hati yang ridha dan dada yang lapang. Di antara suami istri ada hak dan kewajiban yang setara dan sederajat sesuai dengan posisi masing-masing secara adil dan berimbang. Jika sesuatu itu sudah menjadi hak pasangannya yang sekaligus berarti kewajibannya, maka hendaknya yang bersangkutan menunaikannya dengan rela dan ikhlas, tanpa merasa terpaksa dan terkenan. Dengan ini semua urusan rumah tangga akan berjalan baik dan lancar. Kebahagiaan pun terwujud.

Rasulullah saw telah memberikan bimbingan kepada para suami agar pandai-pandai bermuamalah dengan istri ketika beliau menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk, beliau menyatakan bahwa tabiat tulang rusuk itu bengkok, jika kamu membiarkannya maka ia tetap bengkok, namun jika kamu meluruskannya maka kamu mematahkannya. Wanita pun demikian, jika dia dihadapi dengan kekerasan dan pemaksaan maka ibarat tulang rusuk yang hendak diluruskan, patah dan akhirnya memerlukan usaha-usaha perbaikan yang tidak mudah.

Ada wilayah-wilayah di mana suami dengan istri sebagai dua pribadi yang berbeda tidak bertemu padanya, kita tidak mungkin menemukan pasangan yang seia-sekata seratus persen, cocok dalam segala hal tanpa ada perbedaan. Sikap bijak adalah membiarkan wilayah-wilayah ini selama tidak merusak kebahagiaan, justru kalau dipaksakan malah bisa merusak. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)