Ubay bin Khalaf

Salah seorang pemuka Quraisy yang getol memusuhi dakwah Nabi saw, dia menyuruh Uqbah bin Abi Muaith meludah di wajah Rasulullah dan dia melakukannya, dia menumbuk tulang-tulang lapuk dan menaburkannya di wajah Rasulullah, dia menyiapkan seekor kuda dan berjanji membunuh Rasulullah di atas punggung kuda tersebut, suatu kali dia berkata kepada Nabi saw, “Wahai Muhammad, aku menyiapkan seekor kuda, aku memberinya jagung setiap hari, aku akan membunuhmu di atas punggungnya.” Nabi saw menjawab, “Justru aku yang akan membunuhmu insya Allah.”

Dalam perang Uhud, ketika Rasulullah membawa mundur kaum muslimin di sebuah celah di gunung Uhud, mendekatlah Ubay bin Khalaf seraya berteriak nyaring, “Mana Muhammad, aku tidak selamat kalau dia selamat.” Kaum muslimin berkata, “Ya, Rasulullah, apakah salah seorang dari kami menghadapinya?” Rasulullah menjawab, “Tidak perlu, biarkan saja.” Ketika Ubay semakin dekat Rasulullah mencabut tombak milik al-Harits bin ash-Shimnah, Rasulullah menyongsong Ubay dan beliau menusuknya tepat di lehernya yang merupakan cela di antara baju perang dan topi baja pelindung kepala, lukanya tidak seberapa tetapi cukup membuat Ubay hampir terpelanting dari kudanya beberapa kali. Akhirnya Ubay mundur bergabung dengan rekan-rekannya sementara darah dari lukanya sudah berhenti. Ubay berkata, “Muhammad membunuhku.” Rekan-rekannya berkata, “Dasar penakut. Lukamu tidak seberapa.” Ubay berkata, “Muhammad pernah berkata kepadaku di Makkah, ‘Aku membunuhmu’, demi Allah seandainya Muhammad meludahiku niscaya dia membunuhku.” Mereka pulang ke Makkah dan di tengah jalan Ubay mati.

Amir bin Thufail

Pengkhianat, dia mengkhianati tujuh puluh orang Qurra sahabat yang dikirim oleh Rasulullah sebagai dai ke daerah Nejd, dia yang menghasung suku Ushayah, Ra’al dan Dzakwan untuk memerangi para Qurra tersebut dan mereka semua terbunuh kecuali seorang, Kaab bin Zaid bin an-Najjar.

Amir bin Thufail datang kepada Rasulullah saw bersama delegasi Bani Amir bin Sha’sha’ah dengan kebencian dan permusuhan menyala di dalam dada. Mendekati Madinah Amir dengan kawannya Arbad bin Qais menyusun rencana membunuh Nabi saw. Ketika delegasi tiba, Amir datang dan berpura-pura berbicara dengan Nabi saw sementara Arbad menyusup di belakang Nabi saw dengan pedang di tangan. Ketika pedang hendak diayunkan tangan Arbad tertahan tidak bisa digerakkan. Nabi saw berdoa atas dua orang ini.

Keduanya pulang dengan kegagalan, di tengah jalan Allah mengirim petir menyambar Arbad berikut unta yang dikendarainya, keduanya hangus terbakar. Amir sendiri singgah di rumah seorang wanita dari suku Salul –suku yang dipandang rendah oleh suku-suku Arab lainnya- dia terserang penyakit kelenjar unta di lehernya dan mati karenanya, sebelum dia mati dia berkata, “Kelenjar seperti kelenjar unta dan mati di rumah wanita Saluliyah.”

Ibnu Zayyat

Dalam buku-buku sastra dan sejarah terdapat biografi Ibnu Zayyat yaitu Muhammad bin Abdul Malik bin Aban bin Abi Hamzah, Abu Ja’far, yang terkenal dengan Ibnu Zayyat. Mempunyai hubungan khusus dengan Amirul Mukminin Al-Mu’tashim, martabatnya terangkat dan diberi jabatan perdana menteri. Ibnu Zayyat adalah seorang sastrawan ahli bahasa dan nahwu.

Ayahnya seorang zayyat (penjual minyak) yang cukup kaya. Muhammad bin Zayyat ini orang yang sangat keras, dingin tanpa belas kasihan dan kelembutan. Dia berkata, “Belas kasih adalah kelemahan tabiat.”

Suatu hari dia menerima sepucuk kertas dari seorang laki-laki. Dia meminta bantuannya karena hubungan ketetanggaan antara keduanya. Di bawah kertas itu Ibnu Zayyat menulis, “Ketetangaan adalah milik tembok dan berbelas kasih adalah milik para wanita.”

Ibnu Zayyat ini menjadi perdana menteri dari tiga Khulafa’ Abbasiyah. Mereka adalah,
Al-Mu’tasim…
Al-Watsiq…
Al-Mutawakkil…

Kemudian al-Mutawakkil murka kepadanya setelah empat puluh hari menjabat. Dia menangkapnya, menyita hartanya. Penyebabnya adalah ketika al-Watsiq sakit, Ibnu Zayyat berusaha untuk menjadikan anaknya sebagai khalifah sesudahnya dan menghalang-halangi al-Mutawakkil, tetapi dia gagal. Al-Mutawakkil lolos menjadi khalifah, maka dia membalasnya dengan menyiksanya sampai dia mati.

Ibnu Zayyat ini telah membuat semacam tungku besi dengan ujung-ujung besi tajam besar. Pada masa dia menjadi perdana menteri dia menyiksa para pejabat yang mengambil kekayaan (negara) dengan alat ini, jika salah seorang yang disiksa bergerak atau berbalik karena tidak tahan panasnya siksaan maka paku-paku tajam menusuk tubuhnya, mereka mendapatkan rasa sakit yang bukan main. Tidak seorang pun yang menggunakan cara penyiksaan ini sebelumnya. Jika ada yang memohon, “Tuan Perdana Menteri, kasihanilah aku” maka dia menjawab, “Belas kasih adalah kelemahan tabiat”.

Ketika al-Mutawakkil menangkapnya, dia memerintahkan agar Ibnu Zayyat dibawa ke tungku bikinannya, dia diikat dengan bandul besi seberat lima belas ritl. Dia berkata, “Ya Amirul Mukminin, kasihanilah aku.” Maka al-Mutawakkil menjawabnya dengan ucapannya sendiri, “belas kasih adalah kelemahan tabiat.” Seperti yang dia katakan kepada orang-orang.

Al-Mutawakkil berkata kepadanya, “Kami terapkan padamu hukum yang kamu terapkan kepada orang-orang.” Maka dia didudukkan di atasnya. Selang tiga malam dia mati, dan itu pada tahun 233 H. Dia dikubur tetapi tidak digali dengan dalam, maka anjing-anjing membongkarnya dan memakannya. Allah membalasnya seperti apa yang dia lakukan kepada manusia. Senjata makan tuan. Hikmah yang mendalam. Apakah ada peringatan yang berguna?

Padahal sebelum itu apabila dia berjalan orang-orang mengelilinginya seperti pengantin, dunia menyanjungnya dan dia bersikap dengan penuh kesombongan. Benar-benar awal dan akhir yang bertolak belakang. Kami berlindung kepada Allah dari takdir buruk-Nya. Begitulah.

Segala sesuatu berakhir dengan ketiadaan
kecuali Tuhanku dan amal-amal yang shalih

“Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Al-An’am: 11).

“Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya azabNya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (Hud: 102).

(Rujukan: Zaadul Maad Ibnu Qayyim jilid 3, Makarim al-Akhlaq Ali Hazza’)