Pada musim haji banyak kita lihat jama’ah haji yang mondar-mandir dari Makkah keluar ke Tan’im ataupun Jiranah kemudian masuk lagi ke Makkah untuk melaksanakan umrah yang mereka sebut umrah sunnah.

Bagaimana sebenarnya? Penjelasan Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi (wafat 1279H) dalam kitabnya Ajwibah al-masaail ats-tsaman fis sunnah wal bid’ah, walkufr, wal iimaan sebagai berikut:

Ketahuilah bahwa umrah itu adalah sunnah yang dilakukan oleh penduduk Makkah dan seluruh penduduk dunia. Umrah itu adalah ihram (dengan memakai pakaian ihram), thawaf (mengelilingi Ka’bah 7 kali), dan sa’i (berjalan antara bukit Shafa dan bukit Marwah bolak-balik 7 kali).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ al-Fatawa (26/248): “Adapun orang yang berada di Makkah (berasal) dari penduduk, tetangga dekat, pendatang, dan lainnya, maka thawafnya di Baitullah itu lebih utama baginya daripada umrah, dan sama juga dalam hal ini keluar ke tanah halal yang terdekat –yaitu Tan’im yang dibangun di sana masjid-masjid baru yang disebut masjid-masjid Aisyah!—, ataupun ke tanah halal terjauh. Dan ini muttafaq ‘alaih (telah disepakati atasnya) di kalangan salaful ummah (pendahulu ummat ini), dan tidak saya ketahui adanya perbedaan pendapat dari para imam Islam dalam hal umrah Makkiyyah.”

Adapun umrah yang disunnahkan itu hanyalah bagi orang yang memasuki Tanah Haram (Makkah), bukan orang yang keluar darinya. Karena Nabi Shallallahu alaihi wasalam ¥setelah berumrah sebanyak 4 kali, salah satunya umrah Hudaibiyah dan telah dihalangi (oleh orang kafir), kedua umrah qadha’, ketiga umrah Ji’ranah setelah Fathu Makkah, perang Hunain, dan kembalinya dari perang Thaif, dan keempat umrah beserta haji.

Semua umrah ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam hanyalah ketika ia masuk ke Makkah, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, tidak keluar dari Makkah lalu masuk lagi ke Makkah seperti yang dilakukan orang-orang pada hari ini!

Aisyah ke Tan’im karena qadha’
Adapun Umrah Aisyah Shallallahu alaihi wasalam dari Tan’im ada sebab khusus padanya. Karena Aisyah radiallahu anha waktu itu ihram bersama Nabi Shallallahu alaihi wasalam dalam haji wada’ untuk ibadah haji dan umrah dari Dzil Hulaifah –Abaar Ali atau sekarang disebut Bi’r Ali, lalu ketika Aisyah memasuki Sarif (nama tempat) dekat Makkah, dia haidh, lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam memerintahkannya untuk menunaikan perbuatan-perbuatan haji seluruhnya, dan meninggalkan thawaf (mengelilingi ka’bah), karena orang yang haidh dilarang memasuki Baitullah, shalat, dan thawaf.

Setelah menunaikan ibadah haji, Nabi Shallallahu alaihi wasalam ingin kembali ke Madinah, maka menangislah Aisyah ra, dan berkata: “Kalian pulang membawa haji dan umrah, sedang saya hanya membawa haji saja!? Sedangkan semula Aisyah berniat umrah bersamaan dengan haji dalam berihramnya. Luputnya umrah dari diri Aisyah itu hanyalah karena haidh, maka Nabi Shallallahu alaihi wasalam memerintahkan saudara Aisyah, yaitu Abdur Rahman radiallahu anhu, untuk mengantarkan saudarinya, Aisyah radhiallahu anha, untuk umrah dari tanah halal (luar Makkah).

Tidak diragukan lagi bahwa tanah halal yang paling dekat dengan Makkah adalah Tan’im. Maka Abdur Rahman memboncengkan Aisyah di atas onta dan membawanya umrah dari Tan’im. Adapun Abdur Rahman sendiri dia tidak berumrah dari Tan’im, dan tidak diriwayatkan mengenai dia tentang hal itu sama sekali.

Dan tidaklah Nabi Shallallahu alaihi wasalam memerintahkan untuk membawa Aisyah keluar ke Tan’im dan membawanya berihram untuk umrah dari sana, kecuali karena umrah ini adalah umrah qadha’.

Imam Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad 2/175 membantah orang yang menjadikan hadits Aisyah ini sebagai dalil atas disunnahkannya mengulang-ulang umrah dari Tan’im, beliau berkata: “…dan tidak ada hujjah (argumen) bagi mereka dalam (umrah) Aisyah; karena umrahnya adalah sebagai qadha’ (ganti) bagi umrah yang gugur –karena dia haidh—, sehingga dia wajib mengqadha’nya.”
Dan qadha’ itu harus dilakukan sesuai dengan ada’ (pelaksanaan pada waktunya), sedangkan Aisyah radhiallahu datang dari luar Makkah, dan ia berihram untuk umrah dan haji dari miqat (tempat mulai ihram) di luar Makkah, tepatnya di Dzil Hulaifah, maka yang paling dianjurkan adalah melaksanakan ihram umrah qadha’ dari Tanah Halal (luar Makkah), sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih yang jelas dalam kitab-kitab mu’tabarah (terpercaya) dari para imam yang tsiqah (terpercaya).

Adapun umrah penduduk Makkah dan penduduk Al-Haram (Tanah Haram) adalah dari Makkah dan Al-Haram, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih. Untuk lebih jelasnya kami sebutkan beberapa di antaranya.

Berkata imam mujaddid Syaikh Islam Ahmad Ibn Taimiyyah dalam kitab Manaasik-nya (5/1) yang teksnya sebagai berikut:
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wasalam ketika berhaji wada’ beliau menggiring al-hadyu (binatang sembelihan) dan menggabungkan antara haji dan umrah, maka beliau berkata:
“Aku penuhi panggilanMu ya Allah –dalam keadaan- haji dan umrah.” Dan tidak seorang pun berumrah dari Tan’im di antara orang-orang yang bersama Nabi Shallallahu alaihi wasalam kecuali Aisyah radhiallahu anha sendiri, karena dia telah haidh dan tidak memungkinkannya thawaf, karena Nabi Shallallahu alaihi wasalam bersabda:
“Orang yang haidh melaksanakan manasik haji seluruhnya kecuali thawaf di Baitullah.” (HR Al-Bukhari 294, dan Muslim 1211 dari Aisyah).
Kemudian Aisyah meminta kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam untuk membawanya umrah, maka Nabi Shallallahu alaihi wasalam mengirimkannya bersama saudaranya, Abdur Rahman, dan Aisyah pun berumrah dari Tan’im.

Tan’im adalah tanah halal yang paling dekat dengan Makkah, dan di sana dibangun masjid sepeninggal Nabi Shallallahu alaihi wasalam, oleh karenanya masjid ini dan shalat di dalamnya bukanlah sunnah, bahkan menyengaja yang demikian itu dan mempercayai bahwasanya itu disunahkan adalah bid’ah makruhah (yang dibenci). Tetapi barangsiapa keluar dari Makkah untuk umrah, kemudian memasuki salah satu masjid dan shalat di dalamnya karena ihram, maka tidak apa-apa yang demikian itu.”

Pentahqiq (editor) kitab ini, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabi Al-Atsari berkomentar: Saya tidak mengetahui dalil yang mengkhususkan ihram dengan shalat tertentu. Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam kitab Manasik-nya halaman 15: “Tidak ada shalat yang dikhususkan untuk ihram, tetapi apabila shalat telah masuk waktu sebelum ihramnya maka shalatlah, kemudian ihram setelah shalatnya, karena hal itu dicontohkan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, dimana beliau ihram setelah shalat zhuhur. Tetapi orang yang miqatnya di Dzul Hulaifah: disunnahkan baginya untuk shalat di sana, tidak karena kekhususan ihram, tetapi hanyalah karena kekhususan tempat dan berkahnya…”

Tidak ada pada masa Nabi Shallallahu alaihi wasalam dan khulafa’ur Rasyidin seorangpun yang keluar dari Makkah untuk berumrah kecuali karena udzur tidak di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan lainnya, dan orang-orang yang berhaji bersama Nabi n tidak ada yang berumrah dari Makkah setelah berhaji, kecuali Aisyah –seperti yang telah kami tuturkan, yakni karena qadha’, dan hal ini tidak ada (pula) dalam perbuatan Khulafa’ur Rasyidien.

Dan di dalam bab umrah di kitab al-Hajji dalam Shahih Al-Bukhari (1/213) dari Aisyah radhiallahu anha bahwasanya ia berkata: Kami keluar beserta Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersamaan dengan tanggal awal Dzulhijjah, maka beliau bersabda pada kami: “Barangsiapa di antara kalian ingin berihram untuk haji maka ihramlah dengannya, dan barangsiapa ingin berihram untuk umrah maka ihramlah untuk umrah, maka seandainya aku tidak membawa hewan sembelihan (hadyu) pasti aku berihram untuk umrah. (Diriwayatkan Al-Bukhari 317, 1783, dan 1786; dan Muslim 1211).

Aisyah berkata: Maka saya waktu itu termasuk orang yang berihram untuk umrah, lalu masuk hari Arafah aku haidh, maka aku mengaduh kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam, lalu beliau berkata: “Tundalah umrahmu, uraikan (rambutmu), dan bersisirlah, lalu berihramlah untuk haji.” Maka ketika malam melontar jumrah beliau melepasku bersama Abdur Rahman ke Tan’im, maka aku berihram untuk umrah sebagai pengganti umrahku (yang kutunda).

Dan dalam satu riwayat: (maka ia mengganti) umrahnya, maka Allah telah menetapkan haji dan umrahnya.

Pada bagian awal kitab haji dalam Shahih Al-Bukhari 1/184 bab tempat ihram penduduk Makkah untuk haji dan umrah: Dari Ibnu Abbas ra bahwasanya ia berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wasalam menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al-Juhfah, bagi penduduk Nejd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam, tempat-tempat itu masing-masing untuk mereka dan untuk orang-orang yang ingin berhaji dan umrah yang datang padanya dari selain tempat-tempat itu; dan barangsiapa berada lebih dekat dari tempat-tempat tersebut maka (miqatnya) dari mana saja ia memulai, sehingga penduduk Makkah (miqatnya) dari Makkah. (Diriwayatkan Al-Bukhari 1524, 1526, 1529, 1530, 1845; dan Muslim 1181 dari Ibnu Abbas).

Bukan sunnah
Walhasil keluar dari Makkah ke Tan’im atau Ji’ranah dengan maksud ihram darinya untuk umrah maka hukumnya bukan sunnah, bukan pula mustahab sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti, maka camkanlah.

(Dipetik dari Ajwibah al-masaail ats-tsaman fis sunnah wal bid’ah wal kufr wal iimaan, oleh As-Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi, ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halbi Al-Atsari, Darur Rayah, Riyadh Cetakan I, 1417H). Hartono