Mengontrol diri dalam bergaul dengan tetangga

Istri yang membahagiakan tidak memasukkan seseorang ke dalam rumahnya tanpa izin dari suaminya, karena dia sadar bahwa kerelaan suami adalah nomor wahid. Bergaul dengan tetangga yang tidak terkontrol dan saling berkunjung secara terus menerus tanpa ada kendali dengan mereka termasuk salah satu sebab datangnya banyak persoalan dan darinya lahir persinggungan-persinggungan yang tidak menyenangkan serta mengakibatkan terbengkalainya rumah tangga dan anak-anak, padahal semestinya yang akhir ini adalah yang patut didahulukan, di samping itu membuka pintu untuk membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat dan dosa.

Rasulullah saw telah menjelaskan bahwa di antara hak suami atas istri adalah hendaknya istri tidak memasukkan seseorang ke dalam rumahnya kecuali dengan izinnya, beliau bersabda, “Ketahuilah bahwa kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian dan istri-istri kalian mempunyai hak atas kalian, hak kalian atas mereka adalah hendaknya mereka tidak mengizinkan orang yang tidak kamu sukai menginjak permadanimu dan tidak mengizinkan seseorang yang tidak kamu sukai berada di dalam rumahmu.” (HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”)

Makna dari, “Hendaknya mereka tidak mengizinkan orang yang tidak kamu sukai menginjak permadanimu.” sebagaimana yang dikatakan oleh al-Khatthabi, hendaknya mereka tidak mengizinkan seorang laki-laki untuk berbincang dengannya, perbincangan antara laki-laki dengan wanita termasuk salah satu adat orang-orang Arab, [Penulis berkata, tidak hanya orang Arab saja] mereka tidak memandangnya sebagai aib dan tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu dicurigai, pada saat ayat hijab diturunkan dan wanita-wanita telah dibatasi maka mereka dilarang duduk-duduk dan berbincang-berbincang dengan kaum laki-laki.

Sebagian istri menjadikan rumah tetangganya layaknya rumahnya, dari pagi, begitu suaminya berangkat kerja, sampai sore, menjelang suaminya pulang dia berada di rumah tetangga, entah apa yang dibicarakan dan dilakukan, sudah tentu –minimal- kurang manfaat, akan lebih bermanfaat jika dia di rumah, kalau istri cerdik dan kreatif banyak hal berguna yang bisa dikerjakan dan dihasilkan dari rumah, untuk apa nenangga yang tidak ada jluntrungannya.

Menjalani hidup untuk saat ini saja

Tidak perlu mengungkit masa lalu suami yang tidak diketahui, karena dalam beberapa kondisi ketidaktahuan justru berguna, ada sebagian istri ngotot bertanya kepada suaminya tentang cintanya di masa lalu, wanita dengan sifat bagaimana yang membuat suami tertarik, salah seorang dari mereka pada saat dia bertanya kepada suami tentang hal itu, menegaskan bahwa dia tidak akan marah atau cemburu dan bahwa hal itu tidak berpengaruh terhadap jalinan keduanya dan kelangsungan rumah tangga.

Jika suami memenuhi permintaannya yang ngotot ini maka dia telah melakukan kesalahan yang tidak ringan, bisa berpengaruh langsung terhadap hubungan istri dengannya, karena walaupun istri bersumpah bahwa keterusterangan dan keterbukaan suami tidak berpengaruh padanya, tetapi sebenarnya dia menipunya dan menipu dirinya, pengakuan apapun dari suami tentang kehidupan masa lalunya atau perasannya kepada sebagian wanita tak ubahnya mirip dengan percikan api yang dia lemparkan kepada kehidupan rumah tangga, sangat mungkin berubah menjadi api yang membakar dalam sesaat.

Dari sini maka istri yang mulia tidak bernafsu untuk mengetahui masa lalu perasaan suami, karena dia mengetahui bahwa dalam kondisi tertentu ketidaktahuan ternyata berguna, atau dia berpikir sesuai dengan jalan ayat, “Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.” (Al-Maidah: 101).

Kalau pun seorang istri ingin mengetahui masa lalu suami, hendaknya dia menitikberatkan pada sisi-sisi baik dan mulia yang membuatnya berbangga kepadanya, bukan sebaliknya. Mengetahui kehidupan masa kecilnya yang lucu dan mengundang senyum, kehidupannya bersama keluarga, kesukaannya ketika dia masih bersama keluarganya, hal ini bisa dijadikan sebagai kado kejutan dalam kondisi tertentu. Sebagai contoh, jika istri mengetahui bahwa sewaktu kecil suami suka makan A, mamanya selalu perhatian dengan membuat makanan itu untuknya, karena dia sudah tidak bersama sang mama maka tidak ada lagi yang membuat makanan itu untuknya, ketika suami sedang suntuk, gelisah atau marah karena suatu perkara, maka istri membuat makanan tersebut, dijamin membahagiakan suami.

Meyakini bahwa harta bukan bukti cinta paling tulus

Di antara wanita ada yang meyakini bahwa fulus, duit, uang, harta yang diberikan suami kepadanya merupakan bukti cinta paling tulus, begitu suaminya memberinya lebih maka dia meyakini bahwa cinta suami lebih, atau ketika suami memberinya kurang atau bahkan tidak memberinya karena tidak berpunya maka dia meyakini bahwa suami tidak lagi menyintainya, ini sesuai dengan kata-kata, “Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.” Ini sih model istri mata duitan. Segala sesuatu ditimbang dan diukur dengan duit. Punggung Anda akan remuk dan pundak Anda akan patah jika kebetulan Anda mempunyai istri yang seperti ini.

Keyakinan ini tidak memiliki tempat dan ruang dalam akal wanita shalihah yang membahagiakan, karena dia mengetahui dan menyadari dengan seksama dan persis bahwa bukti cinta itu bermacam-macam, tidak melulu uang dan duit, selainnya ada kata-kata indah, tindakan yang ekpresif dan perasaan yang lembut, bisa jadi harta merupakan salah satu cara yang digunakan oleh sebagian laki-laki untuk mengungkapkan cintanya, penulis katakan salah satu cara dan bukan segalanya, ia bukan satu-satunya timbangan yang dipakai oleh wanita shalihah yang mulia untuk mengukur cinta suami. Yang sering justru harta tidak dianggap sebagai bukti cinta seorang laki-laki, akan tetapi harta sebagai salah satu cara untuk merayu dan mempengaruhi, dan hal itu pada umumnya dilakukan bukan oleh suami tetapi oleh musang berbulu ayam yang sedang bertaktik untuk mencicipi lembutnya daging ayam.

Mengerem diri dalam perkara makan dan minum

Istri mulia yang membahagiakan adalah wanita yang bersikap berimbang dalam segala hal, tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan, kontrol diri seimbang dan rem pribadinya pakem, ini adalah syiar dan mottonya selalu dan untuk seterusnya, salah satu bukti dari hal ini adalah bahwa dia tidak israf, berlebih-lebihan dalam perkara makan dan minum karena dia memenuhi panggilan akal dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala yang berfirman, “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31).

Istri yang membahagiakan sadar betul dampak buruk israf, menyia-nyiakan nikmat Allah, membuang-buang rizki Allah yang semestinya bisa dimanfaatkan oleh diri sendiri atau disedekahkan kepada yang memerlukan, membebani pundak suami, memberatkan punggungnya, karena dengan israf otomatis biaya dan beban hidup menjadi lebih besar, jika sikap ini tidak dikendalikan dan dimenej dengan baik bisa-bisa pepatah, “Besar pasar daripada tiang” terwujud dalam kehidupan rumah tangga, mau? Kalau Anda adalah istri yang membahagiakan, penulis yakin jawaban Anda adalah ‘Ogah.’

Sebagai bukti tidak israf dalam rumah adalah mendidik keluarga agar selalu menghabiskan makanan dan minuman yang ada di tangannya, tidak menyisakannya. Bagaimana kalau tetap tersisa? Gampang, tekankan kepada keluarga agar mengambil makanan dan minuman secukupnya atau sedikit dulu, nanti kalau kurang baru nambah. Coba bayangkan sendainya satu gelas teh manis yang terhidang menemani sarapan pagi atau susu, yang terminum darinya hanya setengahnya, setengahnya lagi akan terbuang, jika setiap pagi ada empat atau lima gelas, berapa teh, gula atau susu yang terbuang? Kalikan seminggu, sebulan. Bukan jumlah yang remeh bukan? Kalau hal seperti ini tidak disadari oleh istri atau ibu sebagai nahkoda makan dan minum dalam rumah tangga, lalu siapa yang diharapkan akan sadar? Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)