Menimbang sesuatu secara proporsional

Secara umum wanita lebih cenderung emosional, memandang sesuatu dengan kaca mata emosi, suka atau tidak suka, jika dia suka maka hasil pandangnya cenderung baik walaupun sebenarnya belum tentu baik, sebaliknya jika dia tidak suka maka hasil pandangnya tidak baik walaupun sebenarnya baik, akibatnya hasil pandang sering subyektif, kata orang, cinta itu membutakan dan benci itu membukakan. Mata rela selalu tertutup terhadap segala aib, sedangkan mata benci menampakkan keburukan.

Namun hal ini tidak terjadi pada istri yang membahagiakan, dia mampu mengontrol emosinya dengan baik, dia tidak menimbang secara emosional namun secara proporsinal. Pada saat dia menilai dan melihat kepada suatu perkara, dia menimbangnya sesuai dengan kadarnya, penilaiannya –misalnya- terhadap sifat-sifat suami selalu berimbang, ada yang dia sukai, ada yang dia benci, namun semuanya secara berimbang, karena dia memiliki batasan logika minimal yang menjaganya sehingga dia tidak mengurangi hak seseorang, lebih-lebih suaminya.

Demikian juga pandangannya terhadap keluarga suami, mertua dan iparnya, pandangan dan berimbang dan obyektif, bukan emosional dan subyektif, dia melihat dirinya telah menjadi bagian dari mereka, dia melihat mereka memiliki sisi positif dan negatif, ada like atau dislike, akan tetapi hal itu bukan penghalang baginya untuk memberikan hak mereka secara berimbang dan proporsional.

Menyikapi aib diri dan aib suaminya secara positif

Tidak ada manusia yang luput dari aib dan kekurangan, ketika seseorang belum menyandang status suami atau istri, dia mungkin dalam batas tertentu menyembunyikan aibnya, namun hal itu sulit dia lakukan jika dia telah menjadi sumi atau istri, maka orang yang paling tahu tentang aib seseorang adalah pasangan hidupnya setelah Allah Ta’ala. Pernikahan ibarat cahaya kuat yang mendominasi kepribadian, maka ia membeber kekurangan-kekurangan dan aib-aibnya seperti di siang bolong. Sikap positif terhadap aib bukan berarti menjaganya atau mempertahankannya, akan tetapi maksudnya adalah upaya memperbaikinya sebatas kemampuan, itupun tidak akan bisa menghilangkan segala aib, disinilah perlunya sikap ini, bersikap positif dalam hal ini berarti memaklumi aib yang sudah diusahakan untuk dihilangkan namun belum kunjung hilang dengan melihat kepada sisi sebaliknya, dengan itu kita bisa bersikap arif dan bijak.

Istri yang membahagiakan lebih perhatian terhadap aibnya sendiri sebelum aib suami, dia tidak selalu berusaha membeber aib suami dan mengkritik tindakan-tindakannya seolah-olah itu merupakan tugas utamanya, karena dia sadar bahwa segala sesuatu itu dimulai dari diri terlebih dahulu.

Salah satu bentuk sikap positif terhadap aib suami terlihat manakala istri memilih waktu yang pas untuk membicarakan aib suaminya dari sudut pandangnya, memilih cara yang baik dan kata-kata yang lembut sehingga tidak melukai perasaanya sambil menjelaskan bahwa maksudnya adalah dia ingin melihat suaminya dalam penampilan terbaik, bahwa dia melakukan itu sebagai ungkapan perhatian dan keseriusan kepadanya, kalau dia tidak penting dan mulia baginya niscaya dia tidak akan mengindahkannya.

Tentu hal ini berlaku timbal balik, dalam arti dia juga harus siap menerima jika suami melakukan hal yang sama kepadanya, dia mendengar pandangan suami terhadap dirinya dengan baik, berusaha memahami apa yang dikatakannya kepadannya dan bertekad bulat merubah diri apa yang semestinya dirubah.

Menjauhi sikap mudah menyalahkan

Mengeluh dan mudah menyalahkan adalah bentuk penyiksaan jiwa di mana tidak sedikit istri yang begitu ahli di dalamnya. Sifat suka menyalahkan terkadang dimulai sambil lalu atau sekedar gumaman, akan tetapi dengan cepat ia berubah menjadi kebiasaan mendarah daging. Penulis yakin semua orang sadar bahwa dia mungkin berbuat salah, tetapi dia kurang berkenan jika selalu dijadikan biang kesalahan. Hal yang sama terjadi pada suami, dia mungkin menerima dituding bersalah oleh istrinya sekali dua kali, tetapi tidak lebih dari itu. Demikian halnya dengan istri, oleh karena itu istri yang membahagiakan tidak mudah tunjuk hidung suami sedangkan bahasa tubuhnya berkata, “Kamulah sumber kekeliruan ini.” Lebih-lebih dalam perkara ijtihad rumah tangga yang tidak ada al-Qur`an dan haditsnya.

Di antara bentuk terburuk dari sifat ini adalah ketika seorang istri menyalahkan suaminya dengan dasar membandingkannya dengan orang lain, kata hatinya yang tidak terucapa, “Mengapa engaku tidak mendapatkan uang seperti fulan? Saudaraku telah membeli ini dan ini, dia pandai mencari duit, seandainya aku menikah dengan fulan niscaya keadaanku tidak seperti ini.” Dan seterusnya. Padahal siapa yang memaksanya untuk menikah dengan suaminya sekarang?

Istri yang mulia menjauhi sikap sampah tersebut, dengan perasannya yang halus dan nalarnya dan seimbang dia menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang menghancurkan kepercayaan seorang laki-laki kepada dirinya, merobohkan kejiwaannya, membunuh angan-angannya dan menggoncang sendi-sendi kehidupan rumah tangga daripada kata-kata beracun ini.

Seorang suami penyair memberi nasihat kepada istrinya,

Jadilah kamu pemaaf bagiku agar kasih sayangku kepadaamu langgeng
Janganlah kamu membantahku pada saat kemarahanku belum meredah.
Janganlah kamu banyak mengeluh, akibatnya kamu menghilangkan kekuatan
Dan hatiku pun menolakmu dan hati itu memang berbolak balik
Sesungguhnya aku melihat cinta dan benci, jika keduanya
Terkumpul dalam hati, maka cinta akan segera lenyap.

Meredam amarah suami

Suami adalah manusia, walaupun mungkin dia bertabiat lembut, kalem dan tenang, namun satu dua kali dia bisa marah juga, lebih-lebih bila kita ingat bahwa tidak semua suami demikian, ada suami yang pemarah, panasan, tersenggol sedikit saja naiklah emosinya, karena hal ini terkadang kembali kepada watak atau tabiat, maka rada sulit mengangkatnya atau menghilangkannya sama sekali, dan memang tidak tidak baik kalau dihilangkan, yang diperlukan adalah sikap ngadem-ngademi, mendinginkan dan meredahkan luapan amarah itu sehingga tidak merembet kepada hal-hal negatif.

Di sinilah peran istri yang membahagiakan, pada saat dia melihat suami bersungut-sungut, bermuka merah padam, dia mampu menurunkan dan mengembalikan keadaan seperti semula, tentu dengan kelembutan ucapan, kelembutan sikap, kehangatan pelukan dan upaya-upaya lainnya, dia memposisilan dirinya laksana air dingin yang menyiram bara api sehingga memadamkannya, tidak sebaliknya, membantu mendinginkan tidak, dia malah ngompori, memanas-mansi dan meninggikan tensi amarah dengan berkomentar, bersikap dan berulah. Amarah adalah api, manakala Islam menemukan lahan yang mungkin disambar maka dia akan menyambarnya dan api pun membesar sehingga sulita untuk dipadamkan.

Pada saat suami marah, istri yang membahagiakan sadar bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah meredam bukan menyudutkan dan menyalahkan sekali pun amarah suami bukan merupakan sikap yang benar, istri ini sadar bahwa mempersoalkan mana yang benar dan mana yang salah tidak bisa dibahas dalam keadaan marah karena hasilnya pasti salah, tidak akan ada benarnya, akan tetapi nanti setelah suami meredah amarahnya, ketika nalar dan akalnya kembali normal tidak lagi tersumbat oleh luapan emosi.

Menjauhi sikap dan tempat pemicu tuduhan

Istri yang membahagiakan bisa membawa diri dan menempatkannya pada posisi dan keadaan yang baik sehingga dia tidak akan pernah diterpa oleh gosip dan isu tidak sedap sekalipun ia bersih darinya. Anda tentu sepaham dengan penulis bahwa salah satu kebiasaan buruk yang dipegang oleh banyak orang adalah cepatnya mereka berburuk sangka kepada orang lain karena sebab yang paling remeh atau karena kesamaran yang paling rendah, jiwa mereka cenderung membenarkan apa yang menjadi buah bibir sekali pun ia adalah ucapan paling dusta, selanjutnya sangkaan buruk ini beredar dari mulut ke mulut. Bukan sikap yang benar memang, akan tetapi bukan sebuah kenyamanan jika diri kita menjadi pahlawan yang diperbincangkan orang sedangkan yang mereka percincangkan bukan sisi kepahlawanan, namun sisi yang kurang sedap. Dari sini alangkah baiknya jika istri yang membahagiakan tidak meletakkan diri pada situasi dan posisi yang mengundang orang untuk berburuk sangka kepadanya.

Perhatikan bimbingan Allah Ta’ala kepada Ummahatul Mukminin berikut, “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Al-Ahzab: 32). Ini adalah tindakan preventif, antisipasi diri sebelum ada dugaan dan tuduhan yang tidak patut, jangan tunduk dalam berbicara, karena ia …Dan seterusnya. Mungkin yang berbicara tidak bermaksud demikian, namun lawan bicara yang hatinya berpenyakit tergugah dengan pembicaran itu. Lebih baik cari amannya saja. Untuk apa beresiko jika tidak ada keuntungan di baliknya.

Jika seorang wanita tidak bersikap demikian, walaupun dia bersih dan suci, dia akan menimpakan banyak kesulitan kepada dirinya sendiri padahal semestinya dia bisa terbebas darinya, dia mungkin digunjing dan digosip sana sini padahal semestinya dia bisa istirahat darinya. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)