Ada empat kemungkinan: musabaqah (mendahului), muwafaqah atau muqaranah (bersamaan atau beriringan), ta`akhkhur (tertinggal) dan mutaba’ah (mengikuti).

Pertama, musabaqah

Para ulama bersepakat haram berdasarkan beberapa dalil, di antaranya hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Nabi saw, “Apakah salah seorang dari kalian tidak takut jika dia mengangkat kepalanya sebelum imam Allah akan merubah kepalanya menjadi kepala keledai atau merubah wajahnya menjadi wajah keledai.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, pada suatu hari Rasulullah saw menghadap kepada kami setelah beliau melaksanakan sebuah shalat, beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahluiku dengan ruku’, sujud, berdiri dan salam. Sesungguhnya aku melihat kalian di depanku dan di belakangku.”

Apakah shalatnya sah?

Jika musabaqah dalam takbiratul ihram maka shalatnya tidak sah tanpa perbedaan di antara para fuqaha`. Imam asy-Syafi’i berkata dalam al-Um I/156, “Barangsiapa bertakbiratul ihram sebelum imamnya maka shalatnya batal.”

Jika musabaqah dalam selainnya maka menurut pendapat yang kuat, batal jika yang bersangkutan mengetahui hukumnya dan sengaja melakukannya berdasarkan larangan yang tercantum dalam hadits-hadits Nabi saw di atas.

Tidak batal jika yang bersangkutan lupa atau tidak mengetahui hukum, akan tetapi dia harus kembali sehingga dia melakukan rukun tersebut setelah imam.

Imam Ahmad berpendapat, batal secara mutlak, sengaja atau lupa, mengetahui atau tidak mengetahui. Wallahu a’lam.

Kedua, muwafaqah atau muqaranah

Ini juga keliru sebab di sini tidak terwujud iqtida` atau mutaba’ah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Imam dijadikan sebagai imam agar dia diikuti, maka jangan berselisih atasnya, jika dia bertakbir maka bertakbirlah, jika dia ruku’ maka ruku’lah, jika dia mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’ maka ucapkanlah, ‘Rabbana lakal hamdu’, jika dia sujud maka sujudlah, jika dia shalat dengan duduk maka shalatlah dengan duduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Muwafaqah terjadi dalam ucapan dan perbuatan. Yang pertama, misalnya makmum bertakbiratul ihram bersama imam dan dia selesai dari takbir sebelum imam, dalam kondisi ini shalatnya tidak sah karena selesainya makmum dari takbir sebelum imam berarti musabaqah imam dalam takbiratul ihram. Ini adalah pendapat Imam yang tiga, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad. Imam Abu Hanifah berpendapat sah.
Muqaranah dalam salam, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 4/235 berkata, “Dalam hal ini terdapat dua pendapat di kalangan ulama-ulama kami dari Khurasan, yang paling shahih, makruh dan tidak membatalkan. Yang kedua, membatalkan.”

Yang kedua, misalnya ruku’ atau sujud berbarengan dengan imam, pendapat yang rajih dalam hal ini adalah makruh dan tidak membatalkan shalat. Imam an-Nawawi berkata, “Dengan kesepakatan.”

Ketiga, ta`akhkhur

Jika karena udzur dan imam mendahuluinya satu rakaat atau lebih maka dia tetap mengikuti imam dan dia mengqadha` apa yang tertinggal itu seolah-olah dia adalah makmum masbuq, jika imam mendahuluinya kurang dari itu maka dia menyusul imam.

Jika ta`akhkhur terjadi pada dua rukun tanpa udzur maka Imam an-Nawawi berkata, “Batal dengan kesepakatan.” Wallahu a’lam.

Keadaan keempat, mutaba’ah

Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 4/132 menjelaskan hakikat mutaba’ah, “Makmum melakukan setelah imam, di mana permulaannya terhadap setiap gerakan setelah permulaan imam dan mendahului selesainya imam dari gerakan tersebut.”

Lebih jelasnya, perbuatan-perbuatan makmum dilakukan setelah selesainya imam dari perbuatan tersebut, artinya makmum memulainya setelah selesainya imam. Al-Barra` bin Azib berkata, “Ketika Rasulullah saw mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah’ kami tetap berdiri sehingga kami melihat beliau meletakkan keningnya di tanah kemudian kami mengikuti beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits Abu Hurairah, “Imam dijadikan sebagai imam agar dia diikuti, maka jangan berselisih atasnya, jika dia bertakbir maka bertakbirlah, jika dia ruku’ maka ruku’lah…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Sabda Nabi saw, “Jika dia bertakbir maka bertakbirlah.” berarti takbir makmum ba’da takbir imam.

Dalam al-Mughni 2/208-209 karya Ibnu Qudamah disebutkan, Ibnu Mas’ud melihat orang yang mendahului imam, maka dia berkata kepadanya, “Kamu tidak shalat sendiri dan tidak pula mengikuti imam.” Ucapan senada dikatakan oleh Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Umar memintanya mengulang shalat. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)