NASKAH HADITS
(Ini adalah hadits ke-31 dari hadits-hadits yang terdapat dalam kitab “al-Arba’in” karya al-Imam an-Nawawi)

عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ جُرْثُوْمِ بْنِ نَاشِرٍ رضي الله عنه، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ، فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ، فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا.

Dari Abu Tsa’labah al-Khusyani Jurtsum bin Nasyir ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban maka jangan menyia-nyiakannya, menentukan berbagai batasan maka jangan melanggarnya, mengharamkan berbagai hal maka jangan melakukannya, dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka jangan mencari-cari (ma-salah tentangnya).” (Hadits hasan, riwayat ad-Daruquthni dan selainnya).[1]

SYARAH

Imam an-Nawawi berkata:

Sabdanya, “Mengharamkan berbagai hal maka jangan melakukannya.” Yakni, jangan memasukinya.

Dan sabdanya, “Dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian.” Telah disebutkan maknanya.

Imam Ibnu Daqiq berkata:

Sabdanya, “Faradha,” artinya, mewajibkan dan menetapkan.

Sabdanya, “Fala tantahikuha (jangan melakukannya).” Yakni, jangan memasukinya. Adapun larangan membahas apa yang didiam-kan oleh Allah, maka ini selaras dengan sabdanya,

ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.

“Biarkanlah padaku apa yang aku biarkan terhadap kalian. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah mereka banyak bertanya dan menyelisihi para nabi mereka.” [2]

Sebagian ulama mengatakan, dahulu Bani Isra’il bertanya lalu mereka mendapatkan jawaban, dan mereka diberi segala yang mereka minta sehingga hal itu menjadi fitnah bagi mereka dan menyebabkan kebinasaan mereka.

Para sahabat rhum telah memahami hal itu dan tidak bertanya ke-cuali dalam perkara yang harus ditanyakan. Mereka heran ketika kaum badui datang untuk bertanya kepada Rasulullah saw, lalu mereka mendengarkan dan memahaminya. Bahkan suatu kaum sampai-sampai berpendapat, tidak boleh bertanya mengenai kasus-kasus sehingga terjadi. Salaf juga mengatakan hal yang semisal, “Tinggalkanlah sehingga terjadi.” Hanya saja para ulama tatkala mereka khawatir hilangnya ilmu, maka mereka menyusun ushul dan furu’, membuat pengantar, dan memberi garis besar pembahasannya.

Para ulama berselisih mengenai hal-hal sebelum syariat datang untuk menghukuminya; apakah ia terlarang, dibolehkan, atau ber-henti (menunggu hukumnya)? Ada tiga pendapat, dan itu disebukan dalam kitab-kitab ushul.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:

Sabdanya, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban maka jangan menyia-nyiakannya.” Yakni, mewajibkan secara pasti atas hamba-hambaNya berbagai fardhu yang sudah dimaklumi, dan Alhamdulillah, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, ber-bakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, dan selainnya.

“Maka jangan menyia-nyiakannya.” Yakni, jangan meremehkan-nya, baik dengan meninggalkan, mengentengkan, maupun meng-uranginya.

“Menentukan berbagai batasan.” Yakni, mewajibkan berbagai ke-wajiban dan menentukannya dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan (rincian-rincian).
“Maka jangan melanggarnya.” Yakni, jangan melampauinya.

“Mengharamkan berbagai hal maka jangan melakukannya.” Dia mengharamkan berbagai hal seperti syirik, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan hak, khamr, mencuri, dan banyak hal lainnya.

“Maka jangan melanggarnya.” Yakni, jangan terjerumus di dalamnya. Karena dengan kalian terjerumus di dalamnya berarti melanggarnya.

“Dan mendiamkan banyak hal.” Yakni, tidak memfardhukan dan mewajibkannya serta tidak mengharamkannya.

“Sebagai rahmat bagi kalian.” Karena rahmat dan keringanan bagi kalian.

“Bukan lupa.” Karena Allah swt tidak pernah lupa, sebagaimana kata Musa j,

“Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” (Thaha: 52).

Jadi, Allah membiarkannya sebagai rahmat bagi makhlukNya, bukan karena lupa terhadapnya.

“Maka jangan bertanya mengenainya.” Yakni, jangan membahasnya.

Dalam hadits ini terdapat sejumlah faedah

1. Penjelasan Rasulullah saw yang sangat baik, di mana beliau mengemukakan hadits dengan pembagian yang sangat jelas ini.

2. Allah swt mewajibkan atas hamba-hambaNya berbagai fardhu yang diwajibkanNya atas mereka secara pasti dan meyakinkan. Fardhu, menurut ulama, terbagi menjadi dua macam: fardhu kifayah dan fardhu ‘ain. Fardhu kifayah ialah apa yang diniatkan untuk dikerjakan tanpa memandang siapa yang mengerjakannya. Hukumnya, jika telah dilakukan oleh orang yang secukupnya, maka kewajiban tersebut gugur dari yang lainnya. Sementara fardhu ‘ain ialah apa yang dijadikan sasaran olehnya; amal (itu sendiri) maupun yang beramal, dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang secara individu.

Adapun yang pertama ialah seperti adzan, iqamah, shalat jenazah dan selainnya. Sedangkan yang kedua, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa dan haji.

Sabdanya, “Dan Dia menentukan berbagai batasan.” Yakni, mewajibkan kewajiban-kewajiban tertentu dengan syarat-syaratnya.

3. Manusia tidak boleh melanggar batasan-batasan Allah. Bercabang dari kaidah ini, bahwa tidak boleh berlebih-lebihan dalam agama Allah. Karena itu, Nabi saw mengingkari orang-orang yang salah se-orang dari mereka mengatakan, “Aku akan berpuasa dan tidak akan berbuka (tidak puasa).” Yang kedua mengatakan, “Aku akan bangun malam (untuk shalat) dan tidak akan tidur.” Sedangkan yang ketiga mengatakan, “Aku tidak akan menikahi wanita.” Beliau mengingkari mereka seraya bersabda,

وَأَمَّا أَنَا فَأُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُوْمُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنيِّ.

“Adapun aku, maka aku shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka (tidak puasa), dan menikahi sejumlah wanita; barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan golonganku.[3]”

4. Diharamkan melanggar hal-hal yang diharamkan, berdasarkan sabdaNya, “Maka jangan melanggarnya.” Kemudian hal-hal yang diharamkan itu ada dua jenis: Kaba’ir (dosa-dosa besar) dan shagha’ir (dosa-dosa kecil). Kaba’ir tidak diampuni kecuali dengan taubat, sedangkan shagha’ir dihapuskan dengan shalat, haji, dzikir dan semisalnya.

5. Apa yang didiamkan Allah adalah dimaafkan. Jika kita mengalami kesulitan tentang hukum sesuatu, apakah ia wajib ataukah tidak wajib, sedangkan kita tidak menjumpai dasar kewajibannya, ma-ka ia termasuk perkara yang dimaafkan oleh Allah. Jika kita ragu apakah ini haram atau tidak haram, sedangkan ia pada asalnya tidak haram, maka ini juga termasuk perkara yang dimaafkan oleh Allah.

6. Menafikan kelalaian dari Allah saw. Ini menunjukkan atas kesem-purnaan ilmuNya, dan Allah swt Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia tidak lupa terhadap apa yang diketahuinya, dan ilmuNya tidak didahului oleh kebodohan. Tetapi Dia Maha Mengetahui segala sesuatu sejak azali dan untuk selama-lamanya.

7. Tidak sepatutnya mencari-cari dan bertanya kecuali apa yang dibutuhkan. Ini di masa Nabi saw, karena ini masa tasyri’, dan dikhawatirkan seseorang bertanya tentang sesuatu yang tidak diwajibkan lalu Allah mewajibkannya karena pertanyaannya, atau tidak diharamkan lalu diharamkan karena pertanyaannya. Karena itu, Nabi a melarang membahasnya, dengan sabdanya, “Maka jangan membahasnya.”

CATATAN KAKI:

[1] HR. ad-Daruquthni, 4/ 184; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 10/ 12; dan ath-Thabrani dalam al-Kabir, 22/ 222)
[2] Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 7288; dan Muslim, no. 1337
[3] Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 5063; dan Muslim, no. 1401