REDAKSI HADITS

عَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَحْمنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ y، قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ a وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْقَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، فَوَالَّذِي لاَ إِلهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا.

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud ra, ia mengatakan, “Rasulullah saw menceritakan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shadiq al-Mashduq (yang benar lagi dibenarkan perkataannya), Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk sperma, kemudian menjadi segumpal darah seperti (masa) itu, kemudian menjadi segumpal da-ging seperti itu pula. Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan dengan empat kalimat: menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau ba-hagia. Demi Allah yang tiada Ilah selainNya! Sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal satu hasta, tapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka lantas ia memasukinya. Dan sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka sehingga jarak antara diri-nya dengan neraka hanya tinggal satu hasta, tapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga lantas ia memasukinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). (Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, no. 3208; dan Muslim, no. 2643)

SYARAH

Imam an-Nawawi

Pernyataan, “Dan beliau adalah ash-Shadiq al-Mashduq (yang benar lagi dibenarkan perkataannya).” Yakni, Allah bersaksi bahwa dia adalah orang yang benar. Sedangkan mashduq, bermakna mushaddaq fih (orang yang dibenarkan).

Sabdanya, “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan dalam perut ibunya,” mengandung kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah dihimpunnya antara sperma laki-laki dan ovum wanita lalu anak dicipta darinya, sebagaimana firmanNya, “Dia diciptakan dari air yang terpancar.” (Ath-Thariq: 6).

Bisa juga bahwa yang dimaksudkan ialah dihimpun dari badan seluruhnya. Sebab, konon, sperma itu pada tahapan pertama berjalan di tubuh wanita selama 40 hari, yaitu masa-masa mengidam. Kemu-dian setelah itu ia berhimpun dengan lumpur bayi sehingga menjadi segumpal darah. Kemudian terus berlanjut pada tahap kedua, lalu membesar sehingga menjadi segumpal daging. Disebut mudhghah (segumpal daging) karena sebesar suapan yang dikunyah. Kemudian pada tahap ketiga Allah membentuk segumpal daging tersebut, dan membuat pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan membentuk usus-usus dalam rongganya. Allah swt berfirman, “Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehen-dakiNya.” (Ali Imran: 6).

Kemudian setelah tahap ketiga selesai, yaitu 40 hari, bayi telah berusia empat bulan, maka ruh ditiupkan di dalamnya.* Allah swt berfirman, “Hai manusia, apabila kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur); maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah.” (Al-Hajj: 5). Yakni bapak kalian, Adam as (diciptakan dari tanah).

“Kemudian dari setetes mani,” yakni anak keturunannya. Nuthfah bermakna mani, dan pada asalnya bermakna air yang sedikit. Bentuk pluralnya, nithaf. “Kemudian dari segumpal darah,” yaitu darah yang keras dan membeku. Sperma itulah yang menjadi darah yang keras. “Kemudian dari seumpal daging, yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna.” (Al-Hajj: 5).

Ibnu Abbas ra mengatakan, “Diciptakan dengan sempurna, dan ghairi mukhallaqah (tidak sempurna), cacat penciptaan.” Mujahid berkata, “Mushawwarah wa ghairi mushawwarah, ** yakni gugur.” Ibnu Mas’ud ra berkata, “Ketika sperma telah menetap di rahim, maka malaikat memegang dengan telapak tangannya seraya mengatakan, ‘Wahai Rabb, mukhallaqah (diciptakan dengan sempurna) atau ghaira mukhallaqah (tidak diciptakan)?’ Jika Allah mengatakan, ‘Ghaira mukhallaqah’, maka ia membuangnya dari rahim berupa darah dan tidak menjadi janin. Jika mengatakan, ‘Mukhallaqah’, maka malaikat bertanya, ‘Wahai Rabb, laki-laki ataukah perempuan, menderita atau-kah bahagia? Apa rizkinya? Kapan ajalnya? Di bumi manakah ia akan mati?’ Maka dijawab, ‘Pergilah ke Ummul Kitab (Lauhul Mahfuzh), karena kamu akan mendapati semua itu di dalamnya.’ Ia pun pergi lalu mendapatinya dalam Ummul Kitab lantas mencatatnya. Semua itu tetap bersamanya hingga ia sampai pada akhir kriteria tersebut.” Karena itu, dikatakan, ‘Kebahagiaan itu sebelum kelahiran.”

Sabdanya, “Tapi catatan (takdir) mendahuluinya.” Yakni, yang sudah diketahui sebelumnya, yang telah tertulis dalam Lauhul Mahfuzh, atau yang telah disampaikan di perut ibunya. Telah disinggung sebelumnya bahwa takdir itu ada empat.

Sabdanya, “Sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya ting-gal satu hasta.” ***

Ini tamsil (perumpamaan) dan pendekatan makna. Maksudnya, ialah suatu waktu dari akhir umurnya, dan yang di-maksud bukanlah hasta yang sebenarnya, dan pembatasan waktu. Sebab, orang kafir ketika mengatakan “La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah” (tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bah-wa Muhammad adalah utusan Allah), kemudian mati, maka ia masuk surga. Dan orang muslim ketika mengucapkan kalimat kufur di akhir hayatnya, maka ia masuk neraka.

Hadits ini berisi dalil atas ketidak bolehan memvonis masuk surga atau neraka, meskipun ia melakukan semua jenis kebajikan atau melakukan semua jenis kefasikan, serta seseorang tidak boleh puas dengan amalnya atau merasa bangga dengannya. Karena ia tidak tahu apa penutupnya. Setiap orang seyogyanya memohon kepada Allah swt husnul khatimah, dan berlindung kepada Allah dari su’ul khatimah serta kesudahan yang buruk.****

Jika dikatakan: Allah swt berfirman, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shalih, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang menger-jakan amalan(nya) dengan baik.” (Al-Kahfi: 30).

Zhahir ayat ini bahwa amal shalih dari orang yang ikhlas di-terima (oleh Allah). Jika amalnya telah diterima, sesuai janji Dzat Yang Maha Pemurah, maka ia, dengan begitu, terbebas dari su’ul khatimah. Jawabannya, dari dua aspek:

Pertama, hal itu bertalian dengan syarat diterimanya amal dan husnul khatimah. Bisa juga berarti bahwa siapa yang beriman dan ikh-las dalam amalnya, maka amalnya tidak ditutup kecuali dengan kebajikan selamanya.

Kedua, su’ul khatimah itu hanyalah berlaku untuk orang yang buruk amalnya, atau mencampurnya dengan amal shalih yang ter-nodai dengan sejenis riya’ dan sum’ah. Ini ditunjukkan oleh hadits lainnya,

إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ اْلجَنَّةِ فِيْمَا يَبْدُوْ لِلنَّاسِ.

“Sesungguhnya ada salah seorang dari kalian benar-benar melakukan amalan ahli surga, dalam apa yang nampak kepada manusia.” *****

Yakni, dalam apa yang nampak kepada mereka berupa kesha-lihan zhahirnya, namun batinnya rusak dan nista. Wallahu a’lam.

Hadits ini juga berisikan dalil atas dianjurkannya bersumpah untuk mengukuhkan suatu perkara dalam jiwa. Allah swt bersumpah, “Maka demi Rabb langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi).” (Adz-Dzariyat: 23).

Dia berfirman, “Katakanlah, ‘Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan’.” (At-Taghabun: 7). Wallahu Ta’la A’lam.

Imam Ibnu Daqiq

Pernyataannya, “Dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan.” Yakni, benar dalam ucapannya lagi dibenarkan dalam apa yang dibawanya berupa wahyu yang mulia.

Menurut sebagian ulama, makna sabdanya, “Sesungguhnya seorang dari kalian dihimpun penciptaannya dalam perut ibunya,” bahwa air mani jatuh dalam rahim dengan tercerai berai lalu Allah meng-himpunnya di tempat kelahiran dari rahim tersebut di masa ini. Di-sebutkan dari Ibnu Mas’ud penafsiran mengenai hal itu, “Jika sperma jatuh dalam rahim lalu Allah swt hendak menciptakan makhluk dari-nya, maka sperma tersebut berkelana di tubuh wanita di bawah tiap-tiap kuku dan rambut, kemudian menetap selama 40 hari, kemudian menjadi darah di dalam rahim. Itulah berkumpulnya, yaitu waktu sperma menjadi segumpal darah.”

Sabdanya, “Kemudian malaikat diutus kepadanya.” Yakni, malai-kat yang ditugaskan pada rahim.

Sabdanya, “Seorang dari kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli surga… hingga akhirnya.” Zhahir hadits ini bahwa orang yang beramal ini amalnya benar dan ia sudah dekat dengan surga, karena sebab amalnya, hingga tinggal satu hasta lagi baginya untuk memasukinya. Dan yang menghalangi dirinya untuk memasukinya hanya-lah takdir yang mendahuluinya yang tampak pada akhir kehidupannya.

Jadi, amalan itu sesuai ketentuan terdahulu. Tetapi karena ketentuan terdahulu itu tidak terlihat oleh kita, sedangkan penutupnya nyata, maka disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya amalnya itu tergantung penutupnya.” Yakni, bagi kita, bila dinisbatkan pada pan-tauan kita tentang sebagian individu dan tentang sebagian perbuatan. Adapun hadits yang disebutkan Muslim dalam Shahihnya, dalam kitab al-Iman, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar beramal dengan amalan ahli surga dalam apa yang tampak kepada manusia, padahal ia termasuk ahli neraka,” maka amalnya itu sendiri tidak benar. Tetapi amalnya karena riya’ (pamrih) dan sum’ah (cari popularitas). Yang bisa dipetik dari hadits ini, ialah jangan ter-paku (puas) dengan amal perbuatannya dan bersandar kepadanya, serta mengharapkan kemurahan dan rahmat Allah.

Sabdanya sebelum itu, “Dan ia diperintahkan kepada empat kalimat: menulis rizki dan ajalnya.”

Sabdanya, “Syaqiyyun aw sa’idun (sengsara atau bahagia). Marfu’, karena sebagai khabar mubtada’. Takdirnya, Huwa syaqiyyun aw sa’idun.

Sabdanya, “Demi Allah yang tiada Ilah selainNya! Sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga” –hingga sabdanya, “Lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka lantas ia memasuki-nya.” Maksudnya, ini jarang terjadi pada manusia, bukan suatu yang dominan pada mereka. Dan itu merupakan kelemah-lembutan Allah dan keluasan rahmatNya. Perubahan manusia dari keburukan ke-pada kebajikan itu sangat banyak. Adapun perubahan mereka dari kebaikan kepada keburukan itu sangat jarang terjadi. Segala puji dan karunia bagi Allah atas hal itu. Ini senada dengan firmanNya, “Sesungguhnya rahmatKu mendahului kemurkaanKu.” Dalam suatu riwayat, “Mengalahkan kemurkaanKu.”

Hadits ini berisikan penetapan takdir sebagaimana yang menjadi madzhab Ahlus Sunnah, dan bahwa semua peristiwa itu menurut qadha Allah dan qadarNya, baik dan buruknya, manfaat dan mu-dharatnya. Allah swt berfirman, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Al-Anbiya’: 23).

Tiada penolakan terhadapNya dalam kerajaanNya, Dia melakukan dalam kerajaanNya apa yang dikehendakiNya. Imam as-Sam’ani berkata, “Jalan untuk mengetahui masalah ini ialah tauqif (mendasarkan) dari Kitab dan Sunnah, bukan dengan qiyas dan akal semata. Siapa yang menyimpang dari tauqif mengenainya, maka ia tersesat jalan di tempat kebingungan, tidak mencapai kesembuhan jiwa, dan tidak sampai pada apa yang menentramkan jiwa. Karena qadar itu salah satu rahasia Allah yang tertutup oleh tirai, yang menjadi kekhususanNya, dan Dia menutupinya dari akal dan pengetahuan makhluk, karena suatu hikmah yang diketahuiNya. Kewajiban kita ialah berhenti pada apa yang digariskan untuk kita dan kita tidak melampuinya. Allah swt menutupi pengetahuan tentang qadar ini dari makhlukNya, sehingga tidak diketahui malaikat yang paling dekat (kepadaNya) dan tidak pula oleh nabi yang diutus. Konon, rahasia qadar itu akan terkuak kepada mereka, ketika mereka masuk surga, dan tidak terkuak sebelum itu.*****

Banyak hadits menyebutkan larangan meninggalkan amal dan pasrah terhadap suratan takdir, tetapi berbagai amalan dan tugas yang disebutkan oleh syariat wajib dilaksanakan. Setiap orang di-mudahkan kepada apa yang ditakdirkan untuknya, ia tidak mampu melakukan selainnya. Barangsiapa termasuk ahli kebahagiaan, Allah memudahkannya untuk beramal amalan ahli kebahagiaan. Sebalik-nya, barangsiapa termasuk ahli kesengsaraan, maka Allah swt memu-dahkannya untuk beramal amalan ahli kesengsaraan, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Allah swt berfirman,
“Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (Al-Lail: 7).
“Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 10).

Para ulama mengatakan, pencatatan Allah swt, Lauh, dan qalam-Nya, semua itu merupakan perkara yang wajib diimani. Adapun hakikat hal itu dan sifatnya maka ilmunya diserahkan kepada Allah swt. Mereka tidak mengetahui sesuatu pun dari ilmuNya kecuali apa yang dikehendakiNya, wallahu a’lam.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:

Ini hadits keempat dari hadits-hadits an-Nawawiyyah, yang menjelaskan tahapan penciptaan manusia dalam perut ibunya, berikut pencatatan ajalnya, rizkinya, dan selainnya. Abdullah bin Mas’ud y mengatakan, “Rasulullah saw menuturkan kepada kami, dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan.” Orang yang benar dalam ucapannya lagi dibenarkan dalam apa yang diwahyukan kepadanya. Abdullah bin Mas’ud memulai dengan mukadimah ini, karena ini merupakan perkara-perkara ghaib yang tidak diketahui kecuali dengan wahyu. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari… hingga akhirnya.”

Dalam hadits terdapat beberapa faedah

1. Menjelaskan fase penciptaan manusia dalam perut ibunya, yaitu ada empat fase:
Pertama, fase sperma selama 40 hari.
Kedua, fase segumpal darah selama 40 hari.
Ketiga, fase segumpal daging selama 40 hari.
Keempat, fase terakhir setelah peniupan ruh di dalamnya.
Janin dalam perut ibunya berfase sedemikian rupa.

2. Janin sebelum empat bulan tidak dihukumi sebagai manusia hi-dup. Atas dasar hal itu, seandainya ia gugur sebelum sempurna empat bulan, maka ia tidak dimandikan, tidak dikafani, dan tidak dishalatkan, karena ia belum bisa disebut sebagai manusia.

3. Setelah empat bulan ruh ditiupkan padanya, dan berlaku untuknya hukum sebagai manusia hidup. Seandainya ia gugur setelah itu, maka ia dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, sebagaimana se-kiranya ia telah sempurna sembilan bulan.

4. Dalam rahim terdapat malaikat yang ditugaskan padanya, ber-dasarkan sabdanya, “Kemudian malaikat diutus kepadanya.” Yakni, malaikat yang ditugaskan pada rahim.

5. Hal ihwal manusia itu dicatat saat ia berada dalam perut ibunya: rizkinya, amalnya, ajalnya, dan sengsara atau bahagia.

6. Menjelaskan hikmah Allah r, dan bahwa segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ajal yang telah ditentukan dan tertulis dalam kitab, tidak didahulukan dan diakhirkan.

7. Manusia itu wajib senantiasa dalam kekhawatiran dan ketakutan, karena Rasul a mengabarkan bahwa,

الرَّجُلُ يَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ اْلجَنَّةِ حَتىَّ مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ اْلكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا.

“Ada seseorang beramal dengan amalan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal satu hasta, tapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka lantas ia memasukinya.”

8. Tidak semestinya manusia berputus harapan. Sebab, adakalanya manusia melakukan kemaksiatan dalam masa yang panjang, kemudian Allah memberi hidayah kepadanya, sehingga mendapat-kan petunjuk di akhir usianya.

Jika seseorang bertanya: Apa hikmahnya Allah membiarkan orang yang beramal dengan amalan ahli surga ini sehingga jarak antara dirinya dengannya hanya satu hasta, tapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka?

Jawabannya: Hikmah mengenai hal itu bahwa orang yang ber-amal dengan amalan ahli surga tersebut hanyalah beramal dengan amalan ahli surga dalam apa yang terlihat oleh manusia. Jika tidak, maka ia sebenarnya memiliki amalan yang nista dan niat yang rusak. Niat yang rusak ini mendominasinya sehingga menutup kehidupan-nya dengan su’ul khatimah –kita berlindung kepada Allah dari hal itu. Atas dasar ini, maka yang dimaksud dengan sabdanya, “Sehingga jarak antara dirinya dengannya hanya sehasta,” yakni dekat ajalnya, bu-kan kedekatannya pada surga dengan amalnya.

CATATAN KAKI:

* Ibnu Rajab 5 mengatakan, “Allah swt menyebutkan ketiga tahapan ini: sperma, segumpal darah, dan segumpal daging, di beberapa tempat dalam al-Qur’an. Di bagian lain Allah menyebutkan tambahan atas hal itu, sebagaimana firmanNya dalam surat al-Mukminun, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (Al-Mukminun: 12-14). Ini adalah tujuh tahapan yang disebutkan Allah dalam ayat ini untuk penciptaan Adam, sebelum meniupkan ruh di dalamnya.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, hal. 107).

** Atsar ini diriwayatkan Ibnu Jarir dalam at-Tafsir, 17/ 117: Dari Mujahid mengenai firmanNya, “Mukhallaqah”, ia mengatakan, “Gugur, mukhallaqah wa ghairu mukhallaqah.”

*** Penyusun 5 mengatakan dalam syarahnya atas Shahih Muslim, “Yang dimaksud dengan hasta ialah per-umpamaan tentang kedekatan dari kematiannya dan akhir kehidupannya sudah masuk, serta bahwasanya negeri tersebut untuk dicapainya tidak lain hanyalah seperti orang yang antara dirinya dengan suatu tempat di bumi ini tinggal sehasta lagi.

**** Al-Afani 2 mengatakan dalam Sakb al-‘Ibrat: Sebab-sebab Husnul Khatimah:
1. Istiqamah
Istiqamah adalah anugrah terbesar dan sebab terbesar untuk meraih husnul khatimah. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ (Fushshilat: 30). Dan Dia berfirman, “Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Rabb kami ialah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (Al-Ahqaf: 13).
2. Takwa
Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102).
Syaikh Ahmad Farid mengatakan, “Allah menjanjikan orang-orang yang bertakwa berupa jalan keluar dari kesempitan, sebagaimana firmanNya, ‘Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.’ (Ath-Thalaq: 2).
Tidak diragukan lagi bahwa hamba pada saat sekarat dan dalam kesempitan, maka jalan keluar dan keselamatan terletak dalam dzikir dan ketaatan serta mengucapkan kalimat tauhid.
3. Berbaik sangka kepada Allah swt.
Rasulullah saw bersabda, “Allah berfirman, ‘Aku menurut persangkaan hambaKu kepadaKu. Jika menyang-ka baik, maka baik dan jika menyangka buruk, maka buruk pula.'”
4. Jujur (Shidq)
Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu ber-sama orang-orang yang benar.” (At-Taubah: 119).
Kejujuran adalah asas bangunan agama, dan tiang benteng keyakinan. Siapa yang tidak memiliki kejujuran, maka ia orang yang terputus lagi binasa. Sebaliknya, siapa yang memiliki kejujuran, maka kejujuran tersebut mengantarkannya ke haribaan Dzat yang memiliki keagungan, dan menjadi sebab husnul khatimahnya serta klimaks yang baik.
5. Taubat
Allah swt berfirman, “Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu ber-untung.” (An-Nur: 31).
Dalam hadits Muslim tentang wanita al-Ghamidiyyah, Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh ia telah bertaubat dengan suatu taubat yang sekiranya dilakukan oleh pencukai, niscaya Allah mengampuninya.”
6. Mengingat kematian, melihat orang-orang yang sekarat, memandikan orang mati, dan berziarah kubur.
7. Berhati-hati terhadap sebab-sebab su’ul khatimah, yaitu:
a. Akidah rusak dan beribadah dengan bid’ah.
b. Zhahir berbeda dengan batinnya.
c. Lengket dengan berbagai kemaksiatan dan tetap meneruskannya.
d. Mencintai harta duniawi.
e. Tidak istiqamah.
f. Hati bergantung kepada selain Allah r.
g. Meremehkan taubat. (Sakb al-‘Ibrat, hal. 57-64 dengan dirangkum).

***** Muttafaq ‘alaih, dikeluarkan oleh al-Bukhari 2898, Muslim 122 dari riwayat Sahl bin Sa’ad as-Saidi ra.

***** Imam ath-Thahawi 5 mengatakan, “Qadar pada dasarnya ialah rahasia Allah berkenaan dengan makh-lukNya, yang tidak diketahui oleh malaikat yang paling dekat dan nabi yang diutus. Mendalami dan memikirkan mengenai hal itu adalah jalan menuju kehinaan, tangga keharaman, dan tingkat kezhaliman. Oleh karenanya, berhati-hatilah terhadap hal itu, baik mengamati, memikirkan, maupun sekedar was-was. Karena Allah melipat ilmu tentang qadar dari para hambaNya, dan melarang mereka bertanya-tanya tentang hal itu, sebagaimana firmanNya, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Al-Anbiya’: 23). Barangsiapa yang bertanya, “Untuk apa Dia melakukannya?” berarti ia menolak hukum Kitab, dan siapa yang menolak hukum Kitab, berarti ia termasuk kaum yang kafir.” (Syarh ath-Thahawiyyah, hal. 249).