Makna Thalaq

Thalaq secara bahasa berarti mengurai ikatan. Secara syari’at adalah memutus ikatan pernikahan (atas kehendak suami). Thalaq telah dikenal dan dipraktikkan oleh umat-umat terdahulu. Menurut Imam Al-Haramain (semoga Allah merahmatinya) thalaq adalah terminologi Jahiliyah yang dikukuhkan oleh Islam.
Thalaq tidak terjadi jika hanya keinginan, dan belum dilafalkan (menurut Jumhurul Ulama’)
2Tetapi menyebut kata ‘thalaq’ berati thalaq (cerai) walaupun tanpa niat.

Kata cerai terbagi dua; sharih dan kinayah.
Sharih adalah kata yang bermakna cerai dan tidak membutuhkan niat. Alqur’an menggunakan tiga kata sharih yang bermakna cerai.

  • Ath-Thalaq – seperti firman Allah; “Thalaq itu dua kali”. (Al-Baqarah: 229)

  • At-Tasrih – seperti firman Allah; “atau menceraikan dengan cara yang ma’ruf” (Al-Baqarah: 229)

  • Al-Mufaraqah – seperti firman Allah; “Atau lepaskanlah mereka dengan baik” (Ath-Thalaq: 2).

Kinayah adalah kata/kalimat yang mengandung makna cerai dan bukan cerai, dan dibutuhkan niat. Kata/kalimat kinayah bermakna cerai jika disertai niat, menurut Ijma’. (Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi’i, Kifayatul Akhyar 2/86 dan 84). Sewaktu Rasulullah menyuruh Ka’b bin Malik radhiyallah ‘anhu , menjauhi istrinya ia mengatakan kepada istrinya ‘ilhaqi bi ‘ahliki (kembalilah ke rumah orangtuamu). Tatkala taubatnya diterima oleh Allah (At-Taubah/19:118) Rasulullah tidak memisahkan antara keduanya. Hal ini disebabkan kalimat ‘ilhaqi bi ‘ahliki adalah kalimat/kata kinayah. (Taqiyyuddin ‘Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi’i, Kifayatul Akhyar 2/84-86).

Kata cerai tidak bisa digunakan untuk bercanda, bergurau, berkelakar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga hal sungguh-sungguhnya adalah kesungguhan dan berguraunya adalah kesungguhan; menikah, cerai dan rujuk.”(HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan ‘Ibnu Majah dishahihkan oleh Al Hakim)

Para Fuqaha’ membagi thalaq menjadi thalaq sunni dan thalaq bid’i. Thalaq sunni adalah menthalaq istri di waktu suci yang tidak dicampurinya atau mencerainya di waktu hamil. Allah berfirman, “Ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya” (At-Thalaq: 1).3 Thalaq bid’i ialah mencerai istri di waktu haidh atau ketika suci yang dicampuri. Ketika ‘Ibnu ‘Umar radhiyallah ‘anhu menceraikan istrinya di waktu haidh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk : merujukinya, menunggunya hingga suci, dan haidh lagi. Setelah suci merujukinya jika ia menginginkan, atau menceraikannya sebelum ia mencampurinya (Muttafaqun ‘alaih).

Sedangkan menthalaq istri yang telah meraih usia ‘ayisah (monopause), yang belum haidh (shaghirah) atau yang belum dicampuri semenjak menikah tidak termasuk dalam kategori thalaq sunni atau thalaq bid’i.

Pada masa awal-awal Islam seorang suami berhak merujuki istrinya sekalipun menthalaqnya seratus kali selagi pada masa ‘iddah. Islam membolehkan merujuki istri hanya terbatas dua kali thalaq. Pada thalaq kali ketiganya suami tidak boleh merujukinya kembali kecuali jika si bekas istrinya telah menikah dengan pria lain. “Jika sisuami mencerainya (sesudah thalaq kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia kawin dengan suami (pria) lain.” (Al-Baqarah: 230). Pernikahan antara bekas istri yang telah dithalaq tiga kali bukan hanya sekedar aqad tetapi keduanya harus saling telah merasai.

Bekas istri Rifa’ah yang telah dithalaq tiga kali, dinikahi oleh ‘Abdurrahman bin Az Zubair radhiyallah ‘anhu seorang pria yang tidak berfungsi kelelakiannya. “Kamu ingin kembali kepada Rifa’ah? tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”Tidak boleh, kamu harus merasai madunya, dan ia harus pula merasai madumu”. (HR. Asy Syafi’i, ‘Abdurrazzaq, ‘Ibnu ‘Abi Syaibah, Ahmad, Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i. ‘Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari ‘A’isyah – semoga Allah meridhai dan merahmati mereka semua). Bahkan agama melarang orang yang melakukan pernikahan dengan niat hanya untuk menghalalkan bagi sisuami pertama.

‘Iddah

‘Iddah adalah masa tunggu, masa belum boleh menikah dengan pria lain bagi wanita yang berpisah dengan suami. Pada masa ‘iddah wanita dilarang meninggalkan rumah, dan bagi suami dilarang pula mengeluarkannya dari rumah. Allah berfirman; “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan yang keji” (Ath-Thalaq: 1). Pada potongan ayat selanjutnya Allah menjelaskan hikmah yang dapat diraih dari larangan tersebut. “Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru (keinginan untuk rujuk kembali)”. (Ath-Thalaq: 1). Masa ‘iddah adalah masa dibolehkan bagi suami untuk merujuk istrinya. Suami mempunyai hak merujuki istrinya, jika ia menghendaki ishlah. “Dan suami-siaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah” (Al Baqarah: 228). Rujuk mewajibkan untuk dipersaksikan oleh dua orang yang adil. “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”. (Ath-Thalaq: 2). Merujuki istri yang telah berlalu masa ‘iddahnya harus dengan aqad nikah yang baru dan sesuai persyaratan-persyaratan nikah yang ada.

Bilangan ‘Iddah

‘Iddah bagi wanita yang dicerai hidup atau mati adalah;

  • Thalaq yang telah dicampuri
    Thalaq bagi wanita yang telah dicampuri dan masih mendapatkan haidh (menstruasi) maka ‘iddahnya adalah menuggu selama tiga quru’. Allah berfirman; “Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menungggu) tiga kali quru’. (Al Baqarah: 228). Quru asal maknanya waktu. Quru’ dapat berarti masa haidh -menurut ‘Umar, ‘Ali, ‘Ibnu Mas’ud, ‘Abu Musa, Mujahid, Qatadah, Adh Dhahhaq, ‘Ikrimah, As-Sudi ,Ahmad bin Muham-mad bin Hanbal dan ‘ahlulkufah,- atau masa suci -menurut ‘A’isyah, ‘Ibnu ‘Umar, Zaid bin Tsabit, Az-Zuhri, ‘Aban bin ‘Utsman, Asy-Syafi’i dan ahlulhijaz- (semoga Allah meridhai mereka semua).

    Perempuan-perempuan yang telah dicampuri tetapi tidak haidh lagi atau perempuan-perempuan yang tidak haidh sama sekali masa iddahnya adalah tiga bulan. Allah berfirman; “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempunmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya maka iddah mereka adalah tiga bulan ; dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid. (Ath Thalaq/65:4)

  • Thalaq yang belum dicampuri
    Wanita yang belum dicampuri tidak memiliki masa ‘iddah. Allah berfirman, artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mecampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”. (Al-Ahzab: 49).

  • Thalaq wanita hamil
    Wanita hamil masa ‘iddahnya sampai ia melahirkan. Allah berfirman; “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.(Ath Thalaq: 4)

Nafkah dan Mut’ah

Suami yang menthalaq istrinya berkewajiban untuk memberikan mut’ah (pemberian) kepadanya. “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa” (Al-Baqarah: 241).

Ukuran pemberian mut’ah adalah menurut kepatutan yang berlaku di masyarakat dan sesuai dengan kondisi ekonomi sisuami. “Orang yang mampu menurut kemampuannya (memberi mut’ah siistri), dan orang yang miskin menurut kemapuannya (pula)” (Al Baqarah/2:236). Nafkah istri yang diceraikan selama masa ‘iddah menjadi tanggung jawab suami. Istri yang dithalaq dalam keadaan hamil diberikan nafkah hingga melahirkan. “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalain” (Ath-Thalaq: 6).
Pemberian nafkah sesuai pula dengan kemampuan suami. “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuan-nya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (Ath-Thalaq: 7). Wallahu ‘a’lam.(Asri Ibnu Tsani)

Rujukan:

  • Al-Qur’an dan Terjemahnya

  • Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, Al-Hafizh ‘Imaduddin ‘Isma’il bin Katsir, cetakan pertama, Riyadh, Maktabah Darus Salam, 1413/1992

  • Fathul Qadir, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy-syaukani, raja’ahu wa ‘allaqa ‘alaih Hisyam Al-Bukhari dan Khudr ‘Ukari, Beirut, Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah, 1417/1997

  • Subulus Salam, Muhammad bin ‘Isma’il bin Shalah Ash-Shan’ani, shahahahu wa ‘allaqa ‘alaih DR. Husain bin Qasim Al-Husaini, Mathbu’at Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyyah, 1408

  • Al-Qadhi ‘Abul Walid Muhammad bin Muhammad bin Rusyd Al-Andalusi, Semarang, Maktabah wa Mathba’ah Toha Putra.

  • Kifayatul Akhyar, Taqiyyuddin ‘Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini Asy-Syafi’i, Surabaya, Syarikah Nur ‘Amaliyah

  • Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Jakarta, Balai Pustaka Indonesia, 1995