Pegadaian Dapat Dilakukan Di Mana Pun

Mungkin ada dari kita yang bertanya-tanya, “Bukankah pada teks ayat di atas, Allah Ta’ala mempersyaratkan berlangsungnya syariat pegadaian adalah ketika sedang dalam perjalanan?”

Pertanyaan ini sebenarnya telah timbul dan dipermasalahkan oleh sebagian ulama sejak zaman dahulu. Bahkan, sebagian ulama, diantaranya Mujahid bin Jaber, ad-Dhahhak, dan diikuti oleh Ibnu Hazm –berdasarkan teks ayat di atas– berfatwa bahwa pegadaian hanya diperbolehkan ketika dalam perjalanan saja. [1]

Adapun jumhur (mayoritas) ulama memperbolehkan akad pegadaian di mana pun kita berada, baik ada saksi atau tidak ada, baik ada juru tulis atau tidak.[2] Hal ini berdasarkan hadits riwayat Anas bin Malik berikut ini:

لَقَدْ رَهَنَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ درعاً لَهُ بِالْمَدِيْنَةِ عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيْراً لِأَهْلِهِ، وَلَقَدْ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: مَا أَمْسَى عِنْدَ آلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ صَاعَ برٍّ وَلاَ صَاعَ حُبٍّ وَإِنًّ عِنْدَهُ لتِسْع نِسْوَةٍ

“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggadaikan perisainya kepada seorang Yahudi di Madinah, dan beliau berutang kepadanya sejumlah gandum untuk menafkahi keluarganya. Sungguh aku pernah mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Di rumah keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tersisa lagi gandum, walau hanya ada satu sha’ (takaran sekitar 2,5 kg),’ padahal beliau memiliki sembilan isteri.” (Hr. Bukhari)

Pada hadits ini, dengan jelas kita dapatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggadaikan perisainya di Madinah, dan beliau tidak sedang berada dalam perjalanan.

Adapun teks hadits yang seolah-olah hanya membolehkan pegadaian pada saat perjalanan saja, maka para ulama menjelaskan, bahwa ayat tersebut hanyalah menjelaskan kebiasaan masyarakat pada zaman dahulu. Pada zaman dahulu, biasanya, tidaklah ada orang yang menggambil barang gadaian, melainkan ketika tidak mendapatkan cara lain untuk menjamin haknya, yaitu pada saat tidak ada juru tulis atau saksi yang terpercaya. Keadaan ini biasanya sering terjadi ketika sedang dalam perjalanan. Penjabaran ini akan tampak dengan sangat jelas, bila kita mengaitkan surat al-Baqarah: 283 di atas, dengan ayat sebelumnya (yaitu, ayat 282). [3]