Ada ungkapan bahwa pernikahan tidak hanya menyatukan sepasang suami istri semata, lebih dari itu dua keluarga. “Jika kamu menikah kelak, kamu tidak hanya menikah dengan suamimu, tapi juga dengan keluarganya, bapak dan ibunya.” Ungkapan ini ada benarnya, karena bagaimana pun keluarga suami atau istri merupakan akar di mana suami atau istri berasal darinya, tidak mungkin seseorang lepas dari akar yang menumbuhkannya selama ini begitu saja.

Sebenarnya hubungan menantu dengan mertua sama dengan hubungan-hubungan lainnya, antara seorang muslim dengan muslim lainnya, atau seorang muslimah dengan muslimah lainnya, lebihnya dalam hubungan ini adalah adanya jalinan mushaharah yang merupakan akibat dari ikatan pernikahan yang terjadi antara Anda dengan anaknya. Maka aturan main yang berlaku dalam hubungan di antara sesama muslim juga berlaku dalam hubungan antara menantu dengan mertua. Saling mengasihi, menyintai, bersikap tulus, menasihati dengan cara yang ma’ruf, tidak menzhalimi, tidak mendustai, tidak menipu, tidak membicarakan aibnya dan adab-adab lain berlaku dalam hubungan antara sesama muslim.

Jika pernikahan mengambil jalan yang benar dan lurus, maka persoalan hubungan menantu dengan mertua bukan merupakan perkara yang perlu dirisaukan atau dikhawatirkan, ia akan berjalan lancar, mencair, pure layaknya hubungan sesama muslim yang tulus dengan muslim yang lain di mana sebelum keduanya terikat oleh jalinan mushaharah, keduanya telah terjalin oleh hubungan persaudaraan karena Allah, kalaupun ada sedikit intrik maka wajar dan lumrah, bukan merupakan batu sandungan yang berarti.

Di antara faktor pemicu disharmonis hubungan menantu dengan mertua:

1- Pernikahan berlangsung sementara mertua tidak merestui, artinya laki-laki atau wanita yang menjadi pasangan hidup anaknya bukan orang yang diharapkan dengan berbagai alasan yang ada pada diri mertua, bisa karena menantu dianggap kurang baik sehingga dia tidak pantas menjadi menantunya atau mertua sebelumnya sudah mempunyai pilihan sendiri tetapi anaknya ngotot dengan pilihannya sendiri sehingga ibu atau bapak terpaksa mengalah dan selanjutnya tetap tidak lego-lilo (bahasa jawa yang artinya menerima dengan hati yang lapang) atau alasan-alasan lain yang menurut pandangan mertua adalah sebuah prinsip kebenaran yang wajib dipegang.

Faktor ini bisa di atasi dengan mengadakan dialog atau musyawarah dari anak yang akan menikah dengan bapak atau ibunya, dalam musyawarah ini anak memposisikan diri sebagai anak, menghargai bapak ibu dengan jasa mereka yang besar selama ini, mendengar kata-kata dan nasihat keduanya dengan baik, jika memang harus menjawab atau menaggapi, maka anak menanggapi dengan kata-kata dan bahasa santun, lembut yang mengisyaratkan rasa hormat dan sayang kepada keduanya, jika titik temu belum juga didapat maka anak hendaknya bersabar atau mencoba mempertimbangkan pendapat orang tua sekali pun ia tidak disukainya, ingat terkadang kebaikan tersimpan di balik apa yang justru kita benci.

2- Perbedaan zaman di antara keduanya yang diikuti dengan perbedaan cara pandang dan kebiasaan di antara keduanya. Mertua adalah generasi di zamannya, sedangkan menantu adalah generasi di zamannya, sudah barang tentu zaman keduanya dengan segala hal dan faktor yang mengiringinya tidaklah sama, perbedaan itu pasti ada. Bisa jadi mertua cenderung memegang agat kebiasaan turun temurun terkait dengan rumah tangga, harus begini atau harus begitu dan seterusnya, tidak demikian halnya dengan menantu, dia mungkin cenderung lepas dari semua itu, kalau tidak memiliki dasar dari agama, mengapa harus demikian, begitu pikir menantu. Atau bisa jadi mertua mempunyai kebiasaan tertentu dan menantu mempunyai kebiasaan lain yang berbeda, hal ini juga bisa memicu konflik antara keduanya.

Solusinya adalah mengenali masing-masing, pahami apa yang menjadi kebiasaannya dan kemauannya, selanjutnya –selama ia masih dalam standar kebolehan- menantu sesekali mengalah karena dia yang lebih muda demi kebaikan bersama. Di sini diperlukan pengertian dan pemahaman dan bijak.

3- Dua cinta, maksud penulis menantu dengan mertua menyintai orang yang sama, sekali pun model cinta keduanya berbeda, mertua menyintanya sebagai anak, sedangkan istri atau suami menyintainya sebagai pasangan hidup dan ibu atau bapak bagi anak-anaknya, tetapi sasaran dan obyek cinta kedua adalah satu, ini yang sering memicu persaingan, kedua belah pihak memperebutkan pepesan yang yang sama, sehingga acapkali muncul intrik persinggungan dan tarik ulur kepentingan yang jika tidak disikapi dengan bijak bisa membesar perosalannya. Mertua melihat kepada anak sebagai anaknya yang selama ini dia besarkan dan dia didik, mertua berpandangan dirinya masih berhak untuk ini dan itu terhadap anaknya, sebagai wujud cintanya kepada anak. Sementara istri atau suami berpandangan bahwa anak ini adalah pasangan hidupnya, dia telah berumah tangga dengan dirinya dan hal ini secara otomatis menjadikan statusnya sebagai suami atau istri lebih dekat daripada sebagai anak.

Apa pun pandangan mertua dengan menantu dalam hal ini, kenyataan membuktikan bahwa orang yang menjadi obyek cinta mereka berdua berada dalam dua ikatan tarik ulur yang mesti dia seimbangkan, orang tua dan istri atau suami, dia tidak bisa melepaskan salah satu dari keduanya, dari sini yang diperlukan adalah pengertian dari kedua belah pihak yang menyintai orang yang sama tersebut, mengetahui batas-batas wilayah cinta masing-masing sehingga satu wilayah tidak mengekspansi wilayah orang lain, karena pemilik wilayah yang diekspansi akan marah dalam kondisi ini. Mertua menyadari bahwa anaknya saat inia dalam suami atau istri bagi menantunya atau ayah atau ibu bagi anak-anaknya. Menantu menyadari bahwa pasangannya, bagaimana pun juga, merupakan seorang anak yang mempunyai ibu dan ayah sebelum dia menikah dan sesudah dia menikah dengan dirinya. Jika kesadaran ini diterapkan maka hubungan baik antara menantu dengan mertua sangat berpeluang membaik dan menjadi harmonis.

4- Dua kekhawatiran, mertua khawatir menantu akan mendominasi dan menguasai anaknya, menantu khawatir mertuanya akan mendominasi dan menguasai pasangan hidupnya, mertua khawatir anaknya akan melupakannya karena pengaruh pasangannya, menantu khawatir suami lebih condong kepada orang tuanya dan melupakan dirinya, mertua khawatir anaknya meninggalkannya karena telah mendapatkan kesenangan baru, menantu khawatir pasangannya tidak bisa terlepas dari orang tuanya, masih anak mami. Dua kekhawatiran dari dua pihak yang berada di dua seberang di mana tengah-tengahnya adalah suami atau istri. Dua kekhawatiran yang saling tarik ulur, berebut kepentingan dan terfokus kepada satu sasaran.

Bukan masalah yang berarti jika ia hanya sebatas kekhawatiran, wajar jika seseorang khawatir terhadap sesuatu selama ia hanya bukan sesuatu yang mengada-ada, solusinya adalah tahu diri, mertua tidak perlu khawatir berlebih, menantu tidak perlu khawatir berlebih, karena faktanya mereka berdua memang sama-sama memiliki barang yang satu dengan kepemilikan yang tidak seratus persen, kepemilikan di mana di dalamnya terdapat kepemilikan orang lain, maka berbagi, toleransi, tenggang rasa, menahan diri, mengenal batas dan itsar sangat membantu dalam hal ini sehingga terjalin hubungan yang baik lagi mulia. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)