Apakah rakaat pertama makmum masbuq dihukumi sebagai rakaat pertama dengan mempertimbangkan dirinya sebagai makmum masbuq ataukah rakaat tersebut dihukumi sebagai rakaat dengan mempertimbangkan rakaat imam?

Misalnya, masbuq tertinggal dua rakaat dalam shalat Maghrib, berarti dia masuk pada rakaat ketiga, ketiga bagi imam dan jamaah lainnya yang bukan masbuq, apakah rakaat ketiga bagi imam ini adalah rakaat ketiga juga bagi masbuq ataukah itu rakaat pertama baginya karena pada rakaat itulah dia mulai shalat?

Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa rakaat pertama yang didapatkan masbuq adalah rakaat pertama baginya dengan tidak mempertimbangkan rakaat imam, dalam misal di atas rakaat ketiga bagi imam tersebut adalah rakaat pertama bagi masbuq menurut Imam asy-Syafi’i.
Tiga Imam, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat bahwa rakaat pertama yang didapatkan masbuq bukan rakaat pertama baginya, akan tetapi rakaat tersebut adalah rakaat imam, dalam misal di atas rakaat ketiga bagi imam tersebut sekaligus ketiga bagi masbuq.

Perbedaan ini bermula dari dari perbedaan lafazh hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلاَةَ فَلاَ تَأْتُوْهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ وَأْتُوْهَا وَعَلَيْكُمْ السَّكِيْنَة فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا وَفِي لَفْظٍ فَاقْضُوا

Jika shalat telah didirikan maka janganlah kamu mendatanginya dengan tergopoh-gopoh, akan tetapi datangilah dengan berjalan tenang. Shalatlah apa yang kamu dapatkan dan sempurnakanlah apa yang tertinggal.” Dalam sebagian lafazh, “Dan qadha`lah apa yang tertinggal.”

Imam asy-Syafi’i mengambil lafazh فَأَتِمُّوا maka sempurnakanlah…, sedangkan tiga imam mengambil lafazh فَاقْضُوا maka qadha`lah…

Menyempurnakan berarti bahwa rakaat pertama yang didapatkan masbuq adalah pertama, ini yang dipahami oleh Imam asy-Syafi’i.

Mengqadha` berarti bahwa rakaat pertama yang didapatkan masbuq bukan rakaat pertama, tetapi rakaat dia adalah rakaat imamnya. Ini yang dipahami oleh Imam yang tiga.

Faidah Khilaf

Perbedaan di antara Imam asy-Syafi’i dengan Imam yang tiga dalam masalah ini terlihat dampaknya pada shalat makmum.

Dalam misal di atas di mana makmum masbuq tertinggal dua rakaat dalam shalat Maghrib, maka menurut Imam asy-Syafi’i:

1- Pada rakaat tersebut masbuq membaca doa iftitah, ta’awwudz dan al-Fatihah plus surat, karena ini adalah rakaat pertama baginya.

2- Pada rakaat tersebut duduk makmum masbuq pada saat imam duduk tahiyat akhir adalah iftirasy bukan tawaruk, karena rakaatnya adalah rakaatnya yakni pertama bukan rakaat imam.

3- Setelah imam salam maka makmum masbuq berdiri, pada rakaat ini masbuq membaca al-Fatihah plus surat plus anjuran jahr dalam membacanya dan duduk tahiyat dengan iftirasy karena ini adalah rakaat kedua.

4- Pada rakaat berikutnya masbuq membaca al-Fatihah saja dengan sir (pelan) dan duduk tahiyat dengan tawaruk karena ini adalah rakaat ketiga baginya.

Dalam misal yang sama menurut pendapat Imam yang tiga:

1- Pada rakaat tersebut masbuq cukup membaca al-Fatihah saja, karena ini adalah rakaat ketiga.

2- Pada rakaat tersebut duduk masbuq adalah tawaruk mengikuti imam karena ini adalah rakaat ketiga.

3- Setelah imam salam maka makmum masbuq berdiri, pada rakaat ini masbuq membaca al-Fatihah plus surat plus anjuran jahr dalam membacanya tetapi tanpa duduk tahiyat karena ini adalah rakaat pertama baginya atau dengan duduk tahiyat jika dianggap sebagai rakaat kedua.

4- Pada rakaat berikutnya masbuq membaca al-Fatihah plus surat plus anjuran jahr dan duduk tahiyat untuk salam dengan iftirasy karena ini adalah rakaat kedua baginya atau duduk tawaruk karena setelahnya salam. Wallahu a’lam.

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i karena:

1- Mayoritas riwayat hadits dalam hal ini dengan lafazh فَأَتِمُّوا.
2- Kita menafsirkan lafazh فَاقْضُوا maka qadha`lah dengan makna laksanakanlah, karena kata قضاء bisa bermakna أداء, melaksanakan sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, فإذا قضيتم مناسككم “Apabila kami telah menyelesaikan (melaksanakan) ibadah hajimu.” (Al-Baqarah: 200). Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)