Keyakinan aneh orang-orang sufi

Di antara mereka ada yang meyakini bahwa seorang sufi yang telah mencapai derajat wali terbebas dari beban taklif syariat, yakni yang bersangkutan tidak lagi wajib beribadah dengan alasan bahwa dia telah mencapai derajat di mana dia tidak lagi memerlukan ibadah, jika dia tetap beribadah dan menjalankan syariat maka dia tidak bisa menjaga batinnya. Maka tidak heran kalau seorang wali sufi tidak shalat, tidak puasa dan tidak menjalankan kewajiban-kewajiban agama lainnya dan dia sama sekali tidak merasa berdosa.

Di antara mereka ada yang tidak lagi mempedulikan larangan-larangan agama, bagi mereka yang halal adalah sama dengan yang haram, alasannya sama dengan yang sebelumnya, larangan-larangan ini hanya untuk orang-orang awam, adapun mereka maka ia tidak berlaku atas mereka, bagi mereka perbuatan anggota badan tidak berarti, yang berarti adalah hatinya, kata mereka, hati kami sibuk dengan Allah dan terhubung denganNya, jadi kalau kami melakukan yang haram maka ia tidak berdampak buruk terhadap kami, karena ia hanyalah perbuatan lahir, tidak berarti, hati kami selalu bersama Allah. Dari sini maka tidak heran jika seorang wali sufi melanggar batasan-batasan agama dengan alasan di atas.

Di antara mereka terdapat quburiyin, para pengagung dan pemuja kuburan, mereka mendirikan bangunan-bangunan megah di atas kubur orang-orang yang mereka anggap wali, memberinya penerangan, mengusap kubur dalam rangka ngalap berkah, mengunjunginya dalam waktu-waktu tertentu dengan amalan-amalan tertentu, bermalam dan beri’tikaf di sana dan perbuatan-perbuatan lainnya yang tergolong syirik dan bid’ah.

Dzikir atau wirid atau hizib adalah amalan utama orang-orang sufi, dizkir terafdhal mereka adalah ‘la ilaha illallah’, lalu disingkat menjadi ‘Allah’ saja lalu disingkat lagi tinggal ‘huwa’ dengan kata ganti, selain itu mereka memiliki dzikir-dzikir tertentu yang biasanya bukan dzikir yang ma`tsur dari Nabi saw akan tetapi dari syaikh, syaikh memberinya dzikir-dzikir tertentu untuk dibaca dan diamalkan dalam waktu-waktu tertentu dalam jumlah tertentu. Ada satu ciri khas orang-orang sufi dalam perkara dzikir yaitu menggeleng-gelengkan kepala, menggoyang badan ke kanan dan ke kiri bahkan ada yang berdiri berputar-putar.

Di antara mereka ada yang melakukan perkara-perkara di luar kebiasaan, seperti makan beling, berjalan di atas bara api, menusukkan benda tajam ke tubuh dan sebagainya, mereka memperlihatkan hal ini agar dikira sebagai karomah dari Allah karena mereka adalah wali-waliNya. Akibatnya tidak sedikit orang-orang yang tertipu dan terkecoh dengan hanya melihat kepada perkara-perkara tersebut tanpa melongok kepada perbuatan mereka yang tidak sejalan dengan tuntunan Rasulullah saw, mereka bisa melakukan itu karena bantuan setan yang sudah menjadi khadam bagi mereka.

Orang-orang sufi sangat mengagungkan syaikh-syaikh mereka sampai pada batas yang berlebih-lebihan, dampak dari pengagungan ini adalah bahwa mereka tidak berani menyelisihi syaikh dalam segala kata-kata dan tindakan, apa yang dikatakan syaikh adalah kebenaran yang tidak terbantahkan, mereka menghadap kepada syaikh dengan membawa dosa-dosa seolah-olah dialah yang mengampuninya, mereka memiliki keyakinan seperti ini karena syaikh mereka mananamkannya pada diri mereka, siapa yang membantah atau menyangkal syaikh maka dia terlaknat, terusir dan tidak akan memperoleh derajat wali dan masih banyak lagi ancaman kepada murid yang berani menyangkal syaikh. Pada saat syaikh sudah wafat maka mereka menjadikannya sebagai perantara, tempat ngalap berkah dan tempat meminta dan berdoa.

Inilah sufi yang menyimpang yang telah membuka pintu yang sangat lebar sebagai gerbang masuknya banyak keburukan kepada Islam, syirik, bid’ah, akidah rusak, amalan palsu dan sebagainya.

Dari al-Mausu’ah al-Muyassarah, isyraf Dr. Mani’ al-Juhani.