Rumah tangga, dalam kondisi apa pun, menyelamatkannya masih jauh lebih baik daripada membubarkannya, karena banyak orang yang terselamatkan jika rumah tangga selamat, suami, istri dan anak-anak yang menjadi penumpang rumah tangga bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat, namun jika kapal rumah tangga karam, gagal diselamatkan maka orang-orangnya pun ikut tenggelam dan harus berenang dengan susah payah untuk bisa sampai ke seberang yang menjadi tujuan, ya kalau bisa berenang, kalau tidak sementara penolong belum tentu ada, lalu apa nasibnya?

Ini adalah kisah singkat bagaimana seorang suami berusaha semampunya mempertahankan rumah tangganya yang sedang oleng dengan memanggil salah seorang rekan karibnya yang buta agar yang bersangkutan menjadi penengah di antara dirinya dan istrinya, siapa sangka kata-katanya ibarat lem yang merekatkan kembali rumah tangga yang hampir retak, dia berhasil menjalankan misi mendamaikan sekalipun dengan kata-kata yang sepintas ala kadarnya, tetapi begitulah manakala semangat suami istri tetap berkobar untuk mempertahankan, maka Allah akan membantu keduanya dan rumah tangga pun terselematkan.

Dalam kitab Makarim al-Akhlak karya Ali Shalih al-Hazza’ disebutkan bahwa Abu Muawiyah ad-Dharir berkata, Maemun bin Mihran yang dikenal dengan al-A’masy berkata kepadaku, “Abu Muawiyah, aku mengajakmu ke rumahku.”
Aku berkata, “Ada apa di rumahmu?”
Dia menjawab, “Istriku marah. Hubunganku dengannya memburuk. Aku takut dia menjauhiku maka aku memintamu menjadi juru damai antara aku dan dia.”
Aku bertanya, “Mengapa dia marah.”
Dia menjawab, “Wanita jangan ditanya mengapa marah. Yang sering kemarahan itu adalah adalah respon dari tabiatnya. Misalnya dia sedang duduk dan ingin berdiri maka dia berdiri. Dia sedang berdiri dan ingin berjalan lalu dia berjalan.”
Aku berkata, “Abu Muhammad. Ini sudah kali keempat istrimu marah besar seperti orang minta cerai. Mengapa kamu masih menahannya padahal wanita selain dia masih banyak?”
Dia menjawab, “Celaka dirimu, apakah aku ini penjual wanita? Apakah kamu tahu bahwa suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan dharurat seperti orang yang menjualnya kepada orang yang tidak diketahui bagaimana istri itu dengannya dan orang itu dengan istri? Umur istri bila diumpamakan dengan sebuah kubah yang dibelah dengan pedang tajam maka pedang itu tidak lain adalah talak. Bukankah istri yang ditalak hanya bisa hidup di hari-hari yang mati? Siapa lagi pembunuh hari-harinya kalau bukan orang yang mentalaknya?”
Abu Muawiyah berkata, lalu kami berjalan ke rumahnya. Sambil berjalan akalku bekerja mencari cara mendamaikan suami istri ini. sampai di rumah aku minta izin kepadanya dan dia mengizinkan. Aku masuk dan berkata, “Semoga Allah memberimu nikmat di sore ini wahai Ummu Muhammad.”
Dia menjawab, “Semoga engkau pun demikian.”
Lalu Abu Muhammad masuk. Dia duduk di sampingku. Dia menepuk punggungku sebagai isyarat agar aku segera menjalan tugas. Maka aku berkata, “Wahai Ummu Muhammad. Suamimu ini dalam wara’-nya dan zuhudnya dia sudah merasa kenyang dengan apa yang membuat burung hud-hud kenyang. Dia minum apa yang diminum oleh burung kecil. Walaupun dia itu berpenampilam ala kadarnya, akan tetapi dia adalah gunung ilmu. Jangan melihat matanya yang rabun dan kakinya yang kecil, dia itu seorang imam yang mempunyai martabat besar.”
Suaminya, al-A’masy, berteriak kepadaku, “Pergi kamu. Semoga Allah menghinakan dirimu. Kamu di sini hanya menghitung aibku di depan istriku.”
Abu Muawiyah berkata, “Aku tidak berdiri. Justru yang berdiri adalah istrinya. Dia mencium tangan suaminya.”

Pelajaran

1- Perselisihan dalam rumah tangga merupakan perkara lumrah, biasa dan pasti terjadi. Bukan masalah kalau rumah tangga Anda sesekali diwarnai dengan saling diam, kemarahan dan kekesalan kepada pasangan, setelah itu upayakan untuk islah atau damai.

2- Mencari orang ketiga yang dipercaya untuk menjadi penengah, karena orang ketiga ini pada umunya tidak memihak, suami jelas memihak dirinya, istri juga sama, akan berimbang manakala ada pihak ketiga yang tidak memihak, lebih baik lagi jika perselisihannya sudah berat untuk menghadirkan pihak ketiga yang terdiri dari dua orang dua orang, satu dari keluarga suami dan satu dari pihak istri, hal ini sesuai dengan ajaran al-Qur`an dan lebih cepat menyudahi peperangan.

3- Jangan pernah berpikir untuk cerai bagaimanan pun perselisihan dengan pasangan, karena antara cerai dengan tidak cerai, yang kedua masih lebih baik. Cerai hanya akan membuat wanita hidup dalam kungkungan kegelapan hidup, lebih-lebih jika yang bersangkutan beranak, sulit baginya mencari pasangan baru. Kasihan kan?

4- Kata-kata jujur, tidak mengada-ada, tidak berlebih-lebihan, tanpa dipaksakan, sekali pun kadang terdengar bersahaja, polos dan cukup pedas di telinga mempunyai pengaruh. Lihatlah bagaimana istri al-A’masy berdiri menciup tangan suaminya sebagai bukti islah di antara keduanya, padahal kata-kata Abu Muawiyah sepintas hanya kata-kata ala kadarnya, tetapi itulah kejujuran dan kebersahajaan. (Izzudin Karimi)